Selasa, 17 Februari 2009

Brown Haired Boy

Di suatu siang di stasiun yang ramai, aku baru saja keluar dari kereta subway. Aku berjalan ditemani suhu udara yang panas, karena itulah aku menuju mesin penjual minuman.
Ada dua belas jenis minuman kaleng yang bisa aku beli. Terkadang aku sulit dalam memilih ketika aku dihadapkan oleh banyak pilihan walau aku ingat apa yang sering aku minum.
Ketika aku masih dalam keadaan bingung dengan pilihan-pilihan itu, ehembus angin lewat di belakangku. Itu berarti ada orang yang baru saja lewat dekat punggungku. Ya, memang ada. Seorang laki-laki berambut coklat dengan tubuh yang agak kurus baru saja berjalan melewatiku lalu ke mesin penjual minuman yang kedua yang bersebelahan denganku.
Pada awalnya aku tak peduli hingga satu kaleng yang ia pilih dengan cepat keluar dari mesin. Ia membukanya, lalu meminumnya. Dan tanpa sengaja mata kami bertemu.
Sebagai perempuan, aku merasa mata coklat itu sanga menarik.
Aku mengedipkan sebelah mataku sebagai ucapan ‘hai’, tapi ia malah menoleh ke belakang karena mengira aku mengedip ke orang selain dia. Wajah lugunya menandakan bahwa ia tidak bisa berkata apa-apa.
Setelah menekan tombol untuk memilih satu jenis minuman kaleng aku menggerakkan jariku untuk menyuruhnya mendekatiku. Ia hanya tersenyum aneh sambil benar-benar berjalan mendekatiku, dengan langkah yang agak kaku.
Aku tidak mengerti mengapa aku melakukan ini. Ada sesuatu yang menarik pada dirinya. Aku pun tahu ia juga menginginkanku.
Sepanjang hari hingga malam aku bersamanya. Aku tahu ia meluangkan waktu untukku seperti yang aku lakukan untuknya. Dan selama itu pula ia masih bertingkah malu-malu seolah aku adalah seniornya dan aku seperti tante genit yang menggoda remaja. Tapi aku yakin bahwa ia lebih muda dariku.
Tapi perpisahan harus selalu ada mengiringi suatu pertemuan, dan tidak aku sangka akan secepat ini.
“Aku harus pergi sekarang. Sesuatu telah terjadi,” katanya setelah menerima telepon.
“Tapi kita bisa bertemu lagi kan?”
Ia diam. Aku berharap ia mengatakan sesuatu.
“Aku mengetti,” kataku. Lalu aku memberikannya ciuman yang lembut di bibirnya. Ia tidak menampakkan ekspresi apapun selain suatu ekspresi yang menunjukkan bahwa itu adalah ciuman pertamanya. “Dengan begini kita memiliki ikatan.”
Lalu tiba saatnya ia benar-benar pergi. Tapi sebelum pergi, ia mencium tanganku dengan lembut. “Ia sudah belajar banyak dariku,” bisikku dalam hati. Ia sudah agak berubah dari laki-laki lugu dan pemalu menjadi sesuatu yang lain. Tapi aku tetap menginginkannya.
Dan langkahnya mulai bergerak menjauhiku dengan begitu cepat. Aku tak ingin menyadari bahwa itu sedang terjadi.
Keesokan harinya aku ke stasiun subway seperti hari kemarin. Aku ingin menemuinya lagi. Lalu aku menuju mesin penjual minuman kaleng yang sama, tapi ia belum datang. Maka aku menunggunya sambil duduk di bangku panjang yang berada di depan mesin penjual minuman kaleng dan menenggak satu kaleng minuman yang aku beli dari mesin itu. Aku meminumnya perlahan-lahan.
Satu jam aku telah menungggu. Setiap orang yang lewat di depanku. Setiap orang yang lewat di depanku, setiap laki-laki yang membeli minuman di mesin itu aku perhatikan terus karena mungkin itu adalah dia.
Dua jam berlalu, tapi dia belum muncul. Betapa bodohnya aku, tidak menanyakan alamat rumah atau nomor teleponnya, atau apapun yang bisa membuatku bisa bertemu dengannya lagi. Aku terlalu yakin ia dan aku akan bertemu lagi.
Tanpa aku sadari aku telah melepaskan air mata. Seharusnya sih tidak. Aku merasa tidak punya alasan untuk itu. Entahlah, aku tidak tahu.
Aku meninggalkan tempat itu dengan segera meski masih ada keinginan untuk menunggunya. Aku merasa telah melakukan hal yang sia-sia.
Tiga tahun kemudian aku sedang menunggu kereta yang menuju ke tempat kerjaku. Aku berdiri menghadap rel karena lima menit lagi keretaku akan datang jika sesuai jadwal.
Tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang dan mencium bahuku yang terbuka. Lalu ia membisikkan namaku dengan lembut, dan aku segera mengetahui siapa itu. Pria berambut coklat itu, yang sudah tiga tahun ak tunggu.
Aku berbalik dan menciumnya sebagai balasan. Tapi lebih lama karena aku telah menunggunya sangat lama. “Ada banyak hal yang harus kita bicarakan,” kataku.
“Ya,” jawabnya.

This Is For The Lonely

“This is for the lonely,” itulah tulisan yang tertempel di meja yang menemani dua bangku di kantin sekolahku. Sudah jelas itu untuk siapa. Untukku, satu-satunya orang yang sedang sendiri di kantin. Yang lain tidak sendiri, sudah berpasang-pasangan.
Akupun membuka bungkusan burger dari paket bernama “This is for the lonely.” Ya, ada banyak ejekan untuk mereka yang sendiri, padahal rasanya sama saja. Tidak hanya tertempel di meja kantin dan bungkusan burger, tapi juga minuman tetrapack. Yang tidak berlabel tulisan menyebalkan itu memiliki dua lubang dan dua sedotan. Sudah jelas apa maksudnya.
Lagipula, ada enaknya juga sendirian. Tak perlu membagi minuman. Satu gelas untuk sendiri. Dan aku tak ingin mengaku tidak sendiri. Itu akan merusak harga diriku. Bukan berarti aku ingin sendiri, tapi sepertinya aku kaum adam terakhir yang single.
Kelas hari ini telah selesai. Aku meraih mobilku, di tempat parkir bertuliskan “This is for the lonely.” Tempat parkir paling sempit meski muat untuk beberapa mobil. Tapi itu tempat parkir paling sepi.
Mungkin sebentar lagi ada jalur khusus untuk the loneliers, pikirku ketika mengendarai mobil menuju rumah. Untungnya hanya sekolahku yang mendewa-dewakan cinta. Belum tersebar ke seluruh dunia. Belum.
“You can sop this.”
“Not with you.”
Pembicaraan itu selalu terjadi antara aku dengan Jenny, perempuan cantik yang menginginkanku. Padahal ia pun tak ingin menyandang status single dengan bersanding dengan pria yang tak diinginkannya. Sudah jelas mengapa aku tak menginginkannya. Aku tak ingin perempuan yang hanya menginginkan status bahkan bila dia sangat menyukaiku. Aku ingin perempuan yang memiliki harga diri.
Tapi satu hari yang membuat hidupku berbeda. Ketika aku memarkir mobilku di pagi hari, aku melihat ada mobil lain yang parkir di tempat aku biasa parkir. Aku tahu itu mobil perempuan, karena aku berpikir bahwa, pria macam apa yang mempunyai sedan berwarna pink candy?
Dan masalahnya, hampir mustahil ada perempuan bermobil berstatus lonely. Bahkan yang jelek sekalipun.
Aku berusaha membuang jauh segala spekulasi dan bergegas menuju kelas fisika. Setiap meja di setiap kelas ini dibuat untuk dua bangku, sehingga sudah jelas apa maksudnya. Tapi ada meja khusus untukku dengan stiker itu walau bangkunya tetap dua. Itu untuk menunjukkan bahwa aku benar-benar sendiri.
Lalu perempuan cantik dengan rambut sebahu, tubuh yang mungil, dan berpenampilan selayaknya siswi SMU mendekati mejaku. Lalu ia duduk di sampingku.
“Sorry, girl. Don’t you read this?” kataku sambil menunjuk stiker itu.
“I do.”
Setelah merapikan tas dan seragamnya, ia tersenyum kepadaku sambil berkata, “When you think you are lonely, actually you aren’t. Hi, I’m Clara. I’m a new student here. Nice to meet you.”
Aku tidak pernah berpikir bahwa aku tidak sendiri. Keberadaannya membuatku optimis. Kami masih jauh lebih baik dari pada mereka yang menyembunyikan perasaannya dan kenyataan.

Rabu, 07 Januari 2009

Say, Kamu Masih Hidup?

Jam sembilan malam aku masih sibuk dengan laptopku di rumah pribadiku, membuat rancangan bangunan irigasi. Sudah sekitar satu jam mataku terpaku hingga cahaya ponselku yang deringnya aku matikan mengembalikanku ke dunia nyata. ‘3 New Messages’ tampak pada layar. Aku tidak menyadari sudah tiga pesan menungguku.
Ketiga pesan itu berasal dari nomor yang aku beri nick name ‘MyLuv’. Dia adalah kekasihku yang sangat cantik yang begitu mudah aku dapatkan. Itu karena ia perempuan yang aneh, yang setelah lima menit kenalan langsung mengajak makan siang. Mungkin juga aku terlalu hebat dalam mendekati perempuan. Lalu ia menyadari kebiasaan buruknya itu keluar, tapi aku langsung mengiyakan sebelum ia berubah pikiran.
Memang begitu mudah. Ia hanyalah mantan pramugari yang yang sulit menjalin hubungan karena terlalu sering terbang keliling dunia melintasi perbedaan waktu yang mengganggu jam tidurnya. Aku pun kencan dengannya ketika ia masih bekerja. Meski terlalu mudah aku mendapatkannya, aku tidak begitu saja melepaskannya. Aku menemukan sesuatu dalam dirinya yang mengindikasikan bahwa ia memang ada hanya untukku.
By the way, dari tiga pesan yang baru aku sadari ada itu yang paling pertama berisi ‘Say,kmu lg ngap ni?bls y’, sebuah pesan yang pasti dikirimnya ketika ia ingat kepadaku atau ketika ia sedang bosan. Tapi aku tidak pernah bosan selama ia menempatkan kata ’Say’ di awal.
Pesan kedua berisi ‘Say,kmu msh hdup kn?kq ga dbls?’ yang juga selalu dikirimnya ketika dalam waktu 10 menit SMS sebelumnya belum dibalas.
Pesan ketiga berisi ‘Say,aq makin khwtr ni.Ksh kbr dunk klo kmu msh hdup’ yang jarang aku lihat karena biasanya langsung aku balas keika SMS kedua datang.
Bukan membalasnya tapi aku justru menelponnya.
“Tom!” serunya. Padahal aku menelponya untuk mendengar suara merdunya sembari aku istirahat dari pekerjaanku. Dan aku juga ingin menanyakan sesuatu.
“Ya, ini aku. Sorry ya aku tidak sempat membalas. Aku sibuk, dan aku tidak tahu ada SMS dari kamu.”
“Tidak apa-apa. Yang penting kamu masih hidup.” Suaranya mulai merdu, tapi aku tidak lupa apa yang ingin aku tanyakan meski aku sedang menikmati suara merdunya.
“Say, aku boleh nanya sesuatu?”
“Tanya apa?”
“Kenapa kamu selalu bertanya ‘Say, kamu masih hidup’ ketika aku belum membalas SMS kamu?”
“Apakah salah kalau aku bertanya seperti itu? Aku hanya khawatir.”
Jawabannya tidak memuaskanku.
“Jadi, kamu sedang apa nih?”
“Aku sedang menyelesaikan rancangan bangunan irigasi yang baru. Pasti kamu ngga akan mengerti.”
Dan pembicaraan kami berlanjut hingga ia merasa lelah dan mulai mengantuk dan aku bisa menyelesaikan rancanganku hingga tengah malam. Sejak ia berhenti menjadi pramugari ia menjadi mudah tidur.
Di suatu pagi yang cerah, embun pagi terasa begitu tebal dan dingin karena semalam hujan lebat sekali. Terdengar banyak sekali kicauan burung dari atas pohon yang tinggi dan lebat di samping rumahku karena musim kawin sudah lewat dan telur-telur sudah menetas. Setiap tahun aku menikmati momen itu.
Entah kenapa aku tiba-tiba teringat Catherine. Semalam selepas pulang dari seminggu kerja di area pembangunan irigasi di antah berantah aku berkunjung ke apartemennya dan mengajaknya jalan-jalan. Ia sangat senang karena akhirnya bisa melepas rindunya.
Aku mengirim pesan yang berisi ‘Say, smlm aq bhgia bgt.Aq tahu kmu mkn syg.Klo kmu puny wktu temani aq y’. Tanpa memperdulikan apakah pesan itu terbalas atau tidak aku kembali membuka laptopku untuk bekerja lagi.
Jam sebelas siang denah plus rancangan tiga dimensi bagian irigasi yang aku kerjakan itu selesai juga. Heran, aku bisa bekerja di hari libur tanpa sedikitpun gangguan dari Catherine. Hal itu hampir tidak pernah terjadi. Aku memeriksa ponsel untuk memastikan kebenaran itu, tapi tidak ada pesan baru ataupun missed call. Apakah aku harus mengirim pesan ‘Say, kamumasih hidup?’ seperti yang biasa dilakukannya? Aku rasa tidak.
Tapi aku sungguh khawatir, seperti ketika ia menunggu SMS dariku.
Maka aku tidak mengirim pesan kedua. Aku lebih memilih menunggu balasan darinya sambil makan siang.
Kadang aku menyesal memiliki rumah yang halamannya luas dan terpencil letaknya. Aku kesulitan mencari makan siang. Tapi itu semua karena aku ingin memenuhi hasrat engineer dalam diriku. Itu pula sebabnya aku tinggal sendiri meski aku tahu restoran fast food terdekat berjarak satu setengah kilometer jauhnya.
Dengan menggunakan electric car yang sumber energinya dipasok oleh solar panel yang terinstal di atap dan kap mobil aku menjangkau makan siangku, burger isi fillet ikan dengan ekstra sayuran seperti biasanya.
“Are you Tom?” sepecah suara menyapaku. Suaranya memang bisa membuat kaca pecah. Itu adalah suara perempuan yang menjadi terbiasa berbahasa inggris akibat pekerjaannya. Itulah Anne, perempuan cerewet yang merupakan sahabat Catherine dan masih bekerja sebagai pramugari.
“Hai Anne, long time no see.”
“Six months.”
“What are you doing here?”
“Having lunch.”
“I can see that, but you don’t live around here.”
“I just want to have lunch.”
Keberadaan Anne memang sering tidak jelas apa alasannya kecuali jika ia sedang berada di luar negeri karena bertugas. Tapi kebetulan aku memang membutuhkannya. Aku langsung mengajaknya duduk semeja.
“I need to ask you something.” Aku tidak sadar menjadi ikut-ikutan ber-English ria.
“What?” tanyanya dengan mulut penuh kentang goreng dan potongan burger.
“Why does she keep asking me like this?” tanyaku sambil menunjukkan SMS berisi pesan ‘Say, kamu masih hidup?’ dari Catherine.
“Who is ‘MyLuv’? Do you have girlfriend? Congratulations! Finally, after long time, ...”
“It’s Catherine, idiot.”
“Oh, Catherine.”
Tiba-tiba wajahnya menjadi serius. Tapi entah apakah itu ekspresinya ketika bengong atau bukan. Sepertinya ia sedang mengingat hal-hal yang berhubungan dengan itu. Aku harap ia segera mendongengkannya sebelum makan siangku habis.
“Once upon a time after the flight 217, her twelfth flight, she met a handsome and busy businessman. The guy was helping her picking her fallen purse.”
“How do you know itu so detail?”
“She told me.”
Ya, seharusnya aku tidak heran. Ia memang selalu menceritakan apapun. “Keep going.”
“They talked to each other after the ‘thank you scene’. And probably five minutes later she asked for a dinner.”
Itu kebiasaannya. Bahkan ia masih melakukannya pada pria lain dan aku maklum saja.
“She had six months beautiful affair, but it wasn’t as beautiful as her nine months with you. The guy, loved to go around the world for his business, abandoning her. You know, money makes everyone so egoistic and selfish. And also she had flights. Having once a week to hug each other had made her a luckiest woman ever.”
“Then, what was going on?’
“One day, she sent a message. It wasn’t replied. She sent more, but for a whole day he didn’t reply all of her messages.”
“What was going on?”
“He had an aircrash in the morning, but his cellphone remained active for a whole day. The location of the crash was unknown. When she watched the news about it she ran to the police department and told that they could detect his cellphone signal through her cellphone. And because of her the body of the plane was found, but no one suvived.”
“So that’s why she likes to send me the message like this.”
“She doesn’t want it happens to you. The plane crashed by the failure of navigation system, and perhaps the cellphone causing it. It’s the lesson for us to turn off the cellphone when on the flight.”
“But why she hasn’t replied my message since morning. She has no flight today.”
“Look.”
Tangannya menunjuk ke televisi restoran itu yang menayangkan peringatan satu tahun kecelakaan pesawat yang tragis itu.
“The day was exact one year ago.”
“I can see that.”
Anne segera mengajakku ke pemakaman tempat Catherine mungkin berada. Jaraknya memang cukup jauh, dan dipastikan Catherine bisa di sana seharian mengingat emosinya yang labil. Aku cukup tahu tentangnya. Itulah sebabnya begitu mudah bagiku untuk membuatnya bahagia.
Pemakaman yang sangat luas dan hijau itu sangat memukau, terhias oleh banyak batu nisan yang artistik dan pohon-pohon besar.
“There she is.”
Aku segera mengerem dan mundur sedikit untuk menyembunyikan mobil ini dari pandangan Catherine. Aku tak ingin Catherine tahu aku berada di dekatnya. Alasannya ditanyakan oleh Anne tapi aku malas menjawabnya.
Lalu aku segera mengeluarkan ponselku dan menulis pesan untuknya. Isinya, ‘Say, klo kmu msh hdup ksh kbr dunk. Aq khwtr ni’. Pesan terkirim dan aku segera melihatnya dari kejauhan diam-diam untuk melihat reaksinya.
Dengan ekspresi datar ia meraih ponsel yang telah menyadarkannya entah dengan dering atau getar. Tas tangannya dibuka, ponselnya diangkat, dan ia seharusnya mulai girang jika tahu itu SMS dariku. Tapi yang aku lihat justru ekspresi terkejut. Ia juga menangis sedikit. Pasti itu bagian setelah ia membaca pesanku.
Ia langsung menghubungiku.
“Hai sayang,” sapaku.
“Hai. Sorry ya aku belum membalas. Aku sedang banyak masalah.”
“Ingin bicara?”
“He-eh.’
“Aku tunggu di rumahku.”
Catherine segera meninggalkan batu nisan itu dengan terburu-buru. Aku juga harus meninggalkan tempat itu segera sebelum ia melihatku.
“Sorry Anne, we’re end here,” kataku kepada Anne setelah sampai di persimpangan.
“You want to leave me in front of graveyard?”
“At least I don’t leave you inside. Sorry, I’m in a rush.”
Anne keluar dari mobilku sambil berkata “Thank you,” dengan nada sedikit marah.
“I got to prepare my house for the presence of Catherine.”
Aku langsung melajukan mobil elektrikku yang low noise ini. Aku masih bisa mendengar Anne berseru “Good luck,” meski sudah cukup jauh.
Begitu sampai di rumah, aku sadar aku tak tahu apa yang harus kupersiapkan. Rumahku sudah cukup rapi. Mungkin perlku diberi sedikit aroma harum agar Catherine betah. Tapi aku tahu ia betah hanya karena aku.
Catherine tiba. Aku langsung melihat senyumnya dan merasakan pelukannya segera setelah melihatku. Tapi setelah itu aku melihat dua butir air mata.
“Aku masih hidup, sayang.”
“Ya, aku tahu.”

I'm Late

“Oh my God, I’m late!” seruku.
“Shiv, loe mau ke mana?” kekasihku menyeru dari belakang sambil mengejarku.
“Teman gw sudah menunggu.”
Di depan ruang kuliah, dengan memakai pakaian serba hitam, MP3 player tersambung dengan earphone di telinganya, dan game portable di tangannya, ia tidak akan bosan menunggu teman yang ngaret, bahkan aku yang sudah sering ngaret ini.
“Lex, sorry gw telat lagi.”
Sahutanku menyadarkannya dan langsung melepas earphone di telinga kanannya. Lalu ia melihat jam dan berkata “Baru sepuluh menit telat.” Ia berkata demikian karena mayoritas teman-temannya ngaret lebih lama dari itu.
“Shiv, siapa nih?”
Aku lalu mengenalkan Kevin, kekasihku, kepada Alex. Tapi entah mengapa Kevi dengan segera memproklamirkan diri sebagai kekasihku di depan Alex. Hal itu memang benar, tapi itu terkesan sombong. Aku benci sekali ketika ia mulai menyombongkan diri, seolah ia adalah yang terbaik.
Aku harap musik yang sedang didengar Alex cukup keras sehingga ia tidak mendengar Kevin menyombongkan diri.
Alex adalah manusia yang paling sedikit menunjukkan ekspresinya, apapun yang terjadi.
Aku pernah berkhayal Alex menyukaiku. Itu terjadi bukan tanpa alasan.
Seminggu yang lalu Alex mengantarku pulang. Aku yang merupakan perempuan yang sangat biasa saja diantar pulang oleh Alex yang terkenal di kelas karena sikapnya yang dingin tetapi sangat cerdas. Ketika itu ia tak tahu Kevin ada dan memilikiku. Sikapnya yang ditunjukkan kepadaku adalah sikap yang cukup hangat, seolah aku lupa bahwa ia adalah orang yang biasa bersikap dingin.
Tak heran ketika itu aku merasa ia menyukaiku. Tapi kali ini ia kembali dingin dan sedikit ekspresi.
“Jadi, mau belajar apa?”
Suara berat Alex mengagetkanku ketika aku, Kevin, dan dia berjalan ke koridor fakultas untuk mencari tempat yang tepat untuk belajar. Ya, ia akan mengajariku karena ujian sudah dekat. Aku memintanya ketika ia mengantarku pulang minggu lalu.
“Mekanika Fluida ya? Gw ngga biasa main air sih.” Aku berusaha melucu agar Alex menjadi sedikit ‘hangat’, tapi sia-sia. Mungkin karena itu semua perhatian yang diberikan Kevin kepadaku sepanjang jalan terasa hambar.
Pantaskah aku berpikir Alex sedang cemburu? Untuk perempuan yang sangat biasa saja, beruntung sekali jika aku bisa disukai dua pria yang luar biasa. Kevin merupakan anak orang kaya, banyak temanku iri karena ia memilikiku.
Tapi Kevin memang pria yang brengsek. Hingga penjelasan prinsip Bernoulli oleh Alex selesai Kevin terus menggangguku dengan alasan sedang butuh perhatian. Tentu saja ia tidak mengerti apa-apa tentang prinsip Bernoulli, ia hanya mahasiswa ilmu komputer.
Dua jam kemudian, aku sudah merasa jenuh dengan semua rumus Mekanika Fluida ini.
“Lex, thanks ya. Loe pasti kesel banget karena gw ngga fokus,” gara-gara Kevin.
“Ada yang lebih buruk dari loe.”
Berarti aku bukan murid pertamanya. Aku tidak heran, ia memang pria yang sangat cerdas. Dan kabarnya ia juga mengajar di bimbel SMA.
Alex pergi duluan meninggalkan aku dan Kevin. Ia terlihat terburu-buru. Kini aku dan Kevin punya sesuatu untuk dibicarakan.
“Kevin! Gw ngga suka!”
“Apa?”
“Kenapa ketika gw sedang belajar loe mengganggu gw?”
“Lalu kenapa? Sepertinya itu berhasil?”
“Hah?”
“Dia terlihat jealous.”
“Maksud loe apa?”
“Jangan menghindar lagi. Gw tahu seminggu yang lalu ia yang mengantar loe pulang.”
Aku terdiam sebentar memahami arti kata-katanya. Aku boleh mengatakan bahwa ia mengada-ada. Tapi sesungguhnya ia hanya merasa terancam dengan keberadaannya. Jika aku menjadi berubah haluan, itu karena aku tahu siapa yang lebih pantas untuk dicintai. Dan sebenarnya sikapnya itu menunjukkan kelemahan terbesarnya.
“Jadi selama ini gw salah menilai loe.”
“Maksud loe apa, Shiv?”
“Loe lebih tahu siapa diri loe sebenarnya, dan loe merasa terancam dengan keberadaannya? Gw jadi sadar siapa kini yang lebih pantas dicintai.”
“Mungkin gw harus menyegarkan kembali ingatan kecil loe bahwa gw yang membiayai kuliah loe di sini, gw yang menyumbang di banyak panti asuhan tiap bulan atas nama loe, dan rumah yang loe tempati adalah atas nama keluarga gw. Seharusnya loe berpikir sebelum berbicara seperti itu.”
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi jika mengenai hal itu. Harusnya aku sadar, mencintai seseorang secara berlebihan memang salah, apalagi aku telah mengorbankan banyak hal untuk mencintainya.
“You won me for now, Kevin.” Aku mengalah, dan ia menguasaiku lagi.
Ia telah berubah. Aku tak peduli ke arah mana aku pergi saat ini. Memikirkan itu malah membuatku sadar aku telah terkurung di dalam penjara yang mengapung.
Seminggu kemudian aku dan Kevin terjebak di depan mini market oleh hujan deras dan tanpa payung. Aku dan Kevin sedang berbelanja untuk keperluan malam tahun baru. Kami tidak akan terjebak seperti ini jika Kevin tidak menunjukkan egonya dengan membaw motor balap kebanggaannya dan tidak membawa mobilnya.
Dan sudah dua jam kami terjebak oleh hujan, tapi Kevin malah asik dengan handphonenya, membicarakan bagaimana cara membuang uang yang cepat di weekend ini. Sebenarnya bukan itu topiknya, tapi di telingaku terdengar seperti itu.
Dan aku kedinginan. Kevin yang sedang memakai jaket motornya tidak sadar bahwa aku sedang memakai kaus yang tipis dan itu karena permintaannya.
Tiba-tiba Alex lewat di hadapan kami, membawa payung dan sweater hitam. Meski hujan deras, angin tidak kencang sehingga masih memungkinkan bagi manusia untuk berjalan-jalan dengan sebuah payung.
Alex berhenti di depan kami dan menawarkan payungnya.
“Tapi loe sendiri bagaimana?”
“Sebentar lagi teman gw datang.”
Karena aku tidak dengan segera merespon tawarannya, Alex memberikan payung itu kepada Kevin. Tanpa keraguan serta tanpa satupun kata terucap, ia mengambilnya.
“Shiv, ayo,” seru Kevin, memerintahkanku untuk segera pulang karena payung sudah tersedia.
“Thanks ya, Lex.”
“Tunggu, Shiv.”
Aku menahan langkahku. Alex melepas sweaternya dan memberikannya kepadaku. Betapa malunya aku menerima perhatian dari orang lain yang bukan kekasihku sendiri, tapi seharusnya Kevin lebih malu. Tapi tidak terlihat ekspresi apapun dari wajah Kevin yang kini terlihat lebih hina bagiku. Bahkan Alex rela berkorban demiku dengan hanya memakai kaus tanpa lengan berdiri di mini market meneduh karena hujan.
Malam ini aku tahu siapa yang lebih pantas untuk dicintai, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Kevin adalah makhluk yang paling hina yang aku tahu, tapi aku tak memikirkan itu saat ini. Aku sedang meratapi nasibku yang tak bisa merasakan cinta yang aku inginkan.
Jam sembilan malam aku akhirnya bisa sendirian di rumah. Kevin menjagaku hingga jam tidurku, tapi aku tak ingin tidur hingga hal yang seharusnya aku lakukan terlaksana. Setelah Kevin pergi aku bisa melakukannya.
Aku harus menghubungi Alex, yang tak bisa aku lakukan jika Kevin berada di dekatku.
“Halo, Lex. Gw mengganggu ga?”
“Ngga tuh. Gw belum tidur. Kenapa?”
“Loe lagi ngapain?”
“Menyelesaikan sketsa saluran air.”
“Tuh, kan. Gw mengganggu.”
“Malam masih panjang. To the point aja, ada apa?”
“Gw mau berterima kasih atas kebaikan loe kemarin. Dan gw mau minta maaf atas sikap Kevin yang tidak tahu malu itu.”
“Dia punya malu, tapi ia mencintai loe.”
“Maksud loe?”
“Dia sebenarnya punya malu. Tapi karena ia mencintai loe, dia tidak peduli dengan itu. Dia tidak ingin menahan loe lebih lama karena hujan.”
“Tapi, ia enggan menyerahkan jaketnya.”
“Ia sedang membaw laptop, iya kan? Ia tidak ingin laptopnya rusak karena hujan. Bukankah di laptop itu berisi kenangan kalian berdua?”
Aku merasa ia hanya mengada-ada. Kenapa setiap laki-laki suka mengada-ada? Tapi entah mengapa hal ini membuatku meneteskan air mata. Entah karena sikap rendah diri Alex atau karena aku tak bisa memilikinya?
“Seandainya kita bertemu dua tahun lebih awal, apakah ada kesempatan bagi loe untuk menyukai gw?”
“Gw yakin itu tidak, karena sejak tiga tahun lalu gw sudah memiliki seseorang yang sangat pantas untuk dicintai.”
Dalam sekejap aku merasakan sakit, dan mungkin akan permanen. Ini adalah rasa sakit yang sesungguhnya. Ternyata selama iniaku salah sangka. Tapi aku sudah terlanjur merasakan sakit.
Seandainya ketika itu ia tidak mengantarku pulang. Semua hal yang serba indah selalu aku awali dengan seandainya bila itu belum terlaksana. Semakin dirasakan tidak mungkin jika aku mengawalinya dengan pengertian lampau.
“Ok kalau begitu. Sorry sudah mengganggu.”
Aku diam sebentar. Malam ini akan menjadi sangat panjang bagiku. Mungkin ini adalah hukuman karena aku terlambat.

Minggu, 14 Desember 2008

Best Wishes

“Neva Luminosa!!” that was the sound of a headmaster of university, calling her name as the best graduated student. In a proud, she stood up from her chair and reached the podium.
While tearing some tears, she climbed every step to reach her best achievement of her life. In every step she started to remember her journey of this life.
First step, still too far from podium. Yes, it was. In her step of her life, she sit up on the chair near by the teacher. Her mother always told her to sit near by the teacher as close as her heart to the God. And because of that, she became the cleverest student in the elementary school.
Second step, her awakening. She realized she had to make every person around her happy, especially her parents. But it wasn’t always about her achievement in school. She later realized, her family is not wealthy enough to fund her to study as long as she wanted. While saying, I’m sorry mom, dad,” she seeked up the money from everywhere. She begged to the church, national institutions, NGO, and her school. Everywhere., but mostly brought failure and the funding that she needed still far away from what she got. And she was grateful still, for that less money. Her mother taught her so.
Then God appreciated her gratitude. One old man showed up to her life, like an angel coming from heaven in disguising. He carelessly walked to cross the street. She saved him from a massive and speedy pick up.
“Thank you, young lady. Tell me, what’s your name.”
“I’m Neva.”
“How old are you, Neva?”
“I’m fourteen, and I’m first year high school student,” she said an additional information while hoping that he wouldn’t ask more. She was in hurry.
“I would price my life. Tell me what you want and I will grant it.”
Just like a star fell from heaven, she really needed something. But it seemed very easy for her. She needed money for her study. Would she ask for it? It wasn’t her typical. So she said, “I need a job. Half time job actually. I’m still studying and, ...”
“You need money for your study? I can see that. Why don’t you ask for some money? Don’t answer that, your mother taught that, didn’t she?”
She was just smiling and saying yes in her heart, proud of her mother and everything she taught.
“I own a fast food restaurant,” he said while giving the address of his restaurant. “I want you to come there in Saturday morning. See Mr. Shears and say your name.”
“Yes sir.” She was very happy with that.
“Now, can you help me crossing the street?”
“I would take you to everywhere you want.”
“No, just across the street.”
That was the moment when she got the funding for her study, from her own sweat. No longer from charity and neighborhood kindness. And she felt very proud of that. Even that she was working, it wouldn’t be a reason for her to get bad marks. Her marks had never been forgotten. She was still number one.
Third step, she could see her parents, her friend and working partner Andien, and her beloved one Ryan. Those were persons who made her felt complete and very happy.
At first day of her job she worked careless enough to make her lost her first week salary. But then Andien came and helped her. She gave knowledge to her who never worked as hard as like this. She brought spirit to her who had to work while studying.
But, her and her family happiness, who just had been living like normal family, just lasted for a month. Her father suddenly deprived from his job with less financial support and pension. A dream of living happily had gone in a blink of eyes, because they have to rearrange their life with much less money while her father was seeking for another job.
Then Ryan came. He was a new manager of the fast food restaurant where she worked in. he was also an engineering student at famous university who interested also in management. Less of his employees knew that he was a grandson of he old man that Neva had saved.
And it had been a long time his interesting to a very talented girl like Neva fulfilled his mind and lust. He never knew it yet, until she got the twelfth appreciation as the best employees of the month. She was really a very rare girl, that was his thought. A very diligent employee and a very clever student. What kind of combination that would be better than it?
In appearance, she was good looking enough. Her smile made every customer wanted to come again and again. She was just not good in front of mirror like every girl in her school, with a dozen of make up. She just had one lip gloss.
It was a true brave and struggle just to win her heart, and he did. He got her heart. It wasn’t easy, he had to know first what she wanted. Ya, it was a very complicated things about what she wanted. Less people wanted to know this unusual thing from this unusual girl.
She wanted to be normal, just that. And the existence of Ryan made her felt like that. She was 16, and every 16 years old girl wanted a boyfriend. Seemed easy, but he had to make her sure he loved her. She was a very low profile girl who never felt sure that she had been loved.
A few short time after that, Ryan knew that she loved poorly. Secretly, he sent a few of money every month to her family. He never told her about this, he was afraid he would pay it back later.
Fourth step. It was her high school graduation day. Graduated as the best student had made her family proud, and t seemed she always did. And moreover, she paid all of her studying fee by herself, putting all of her friends in jealousy.
She chose Physics for her subject at university. By an aid of a foundation, she could study in peace without worrying about her studying fee. But she still worked at that fast food restaurant to help her family.
While working, she could keep her study being the best among all the students. She had a great passion. She wanted to make her family in happiness. Just like it wasn’t ever enough what she did to her family.
One day, Ryan spoke to her in a kitchen of restaurant. It was about her future.
“I want to ask you something,” Ryan said, while trying to get hug from Neva.
“What?” Neva who was making a black coffee felt disturbed of what he did.
“Stop working.”
Neva shocked a little bit. “Are you asking me to quit from your grandfather’s restaurant?”
“Ya.”
“Are you crazy? What’s in your mind?” While starring at his eyes, Neva was making a conclusion. “Stop offering a help,” she said.
“Ya, stop working. Let me pay all of your bills. I will, …”
“Listen to me. I don’t like to be helped so far.”
“That makes me love you more.”
“Ryan, this is my working place. I just want to be professional. If you want a hug, you can wait till my shift ends.”
“Then you have to go home and learning. You almost have no time for me. But if, …”
“Don’t cut my time table.”
“OK.”
That was true; Neva almost had no time for Ryan. And that made him loved her more.
Last step of that short stairs. It felt high for her. But at that last step, her bachelor degree with cum laude title was in the tip of her finger. She had made her family so proud and happy, but she said it wasn’t enough. While keeping her great intending, she kept something bad.
She reached the podium and started to speak.
“To be graduated as the best students, I had no feeling about it before. It’s too good to be true. I’m really blessed by God, thank you. Under his protection and his love, I’m finally standing here as a person who makes my parents so proud, I, …”
Suddenly, Neva felt dizzy which in a second turned into a great headache. She lost her balance, and fell into the carpet. Paramedics came from behind stage, checking her vital signs then carrying her to ambulance so fast.
Audience felt worried, especially her parents, Ryan, and Andien. They flew to behind stage but they could just watch an ambulance carrying Neva in a rush to the nearby hospital. It looked like very urgent.
“What’s wrong with my daughter?” her mother asked about her conditions to one of paramedics.
“I’m sorry, we must bring your daughter to Emergency Unit as soon as possible. We detected signs of aneurism. There’s an internal bleeding in her brain. She’s critical.”
The statement of the paramedic made her mother in a great shock. Her mother calmed her down. Which mother wouldn’t feel that?
“We can chase the ambulance with my car,” Ryan said. “Where are they going?”
“White Grace Hospital,” paramedic said.
Then, they chase the ambulance with a great hope that she would be better soon.
Emergency Unit. Neva’s mother flew soon after getting out from car. She carried the most worries than any other people around her.
Chamber number 16. They could see her in outside through the very thick and clear glass. They could see her very clearly that she had electrocardiogram, electroencephalogram, and any other device of censor to detect vital signs of her life. She also had an oxygen tube to let her had a better breath, and infuse.
“Excuse me, sir. Are you her parents?” a paramedic asked to Neva’s father.
“Yes, I am.”
“I need your signs very immediately to legislate to her surgery. Very immediately.”
“Right.”
Her father ran with paramedic to the office.
Then, a neurologist came approaching her mother. He was explaining her condition, and it wasn’t really different than what the previous paramedic said.
“She has been checked with MRI to locate her aneurism. For a moment, she’s very critical and has less chance to survive. But we will do our best.” Everything what he said just to convince them, especially the worrying mother, that she could be saved. But he didn’t want to lie.
“May I see her?”
“She needs you.”
Her mother and neurologist entered the chamber, while Ryan and Andien waiting at the outside.
“She’s half conscious, but perhaps she can hear you,” the neurologist said.
“Neva, can you hear me? It’s me, your mother.” She didn’t realize she poured some tears. “We are so proud of your achievement in your life. You are the best girl I’ve ever known.”
“Thank you, mom,” Neva suddenly spoke and opened her eyes slowly. It was hard for her.
“Neva, don’t speak. You may need a rest.”
Neva closed her eyes again, but still moving. She felt bad still. Who would feel better after having great headache?
“How long you hid this?” the neurologist asked her.
“Eight months. It would be a high cost treatment.”
“God must love you so much so you were given eight months.”
“Why didn’t you tell us?” her mom said.
“I don’t want to make you worry about me. Mom, listen to me. If something happens to me, I want you to open purple box inside of my cabinet. I, …” Neva started to feel a great headache again.
“We have to carry her to an Operating Room. We will initiate the surgery as soon as possible,” neurologist said after watching EEG monitor. Something changed.
A group of nurses and one intern unattached some devices from her body except the EEG and ECG. Then, they moved her bed to the operating room. Ryan, Andien, and her family felt worry about this. She would be in surgery.
They had been waiting for three hours in front of OR. They felt really worry about her conditions. They didn’t want to loose the best girl in the world. The girl who made them happy and proud.
The light upon the door of OR had turned off. The surgery had been finished. And her family felt a bad feeling.
The neurologist and his intern came out with the surgery team, but they went out to tell the result of the surgery. But their expressions resulted the tears from the eyes of Neva’s mother.
“We’ve failed. We couldn’t save her,” the intern said.
Hearing this, world should cry and not only her parents, Andien, and Ryan. World had lost the best girl in the world. Her parents had lost her, the only daughter they had ever had. Andien had lost her best friends, who always had been in a joy with bright smiles to the customers of the restaurant. And Ryan, had lost his love. He wouldn’t get the same feeling like this.
After the funeral, Neva’s mother called Ryan and Andien to her room. They was searching for her traces. They still couldn’t believe that she had passed away. In her quietly tidy room, they could see some sweet things which really represented her.
Neva’s mother was searching for a purple box like she had said. The purple box coated by plastics and some cute ribbons. But in inside, there was only some papers. Three sheets of paper, written by her own hands. One sheet for Andien, one for Ryan, and the last one was for her parents. She had prepared it for a long time, after knowing that she had chance of aneurism.
“I can’t believe this,” Ryan said. He even hadn’t read the paper. “Didn’t she use the money that I’ve been giving to her every month?”
“She didn’t. She kept it. We didn’t know that it’s from you. She promised would give it back after knowing the sender of it,” Neva’s mother said.
Then, she showed him a small white envelope. There he could find his money that he gave to Neva’s family every month. It was not so big, it was just a half of Neva’s monthly salary.
“I can’t believe this.”
“She didn’t like to be helped like this.”
Ryan had a silent a little bit, trying to understand what she had done. Then he said, “Please, keep the money for you and your husband. You will need it.”
Then, he ran away from her house to his car. He ignited it and went away. He couldn’t hide his tears. He felt regret of everything.
“Neva, you are stupid!!” he said. He thought that her self esteem had killed herself.
But he couldn’t hold himself to read the paper from Neva, which was still in grab of his hand. He stopped his car in the corner of the street.
This is what was written at that letter:
“My dear, Ryan. I don’t know when and where do you read this, but I hope you’re always fine in complete without any single thing les of you.”
He hadn’t finished reading that, but the tears that he swept seemed unstoppable. He was absolutely less one thing, and seemed like he lost everything.
He read it again: “This way of love has been carried by me as far as I can go now. Thanks for giving me a gift to be yours. You can face it alone, I know it. You’re brave, you’re unstoppable. Just remember our sweet things that we have made together, but don’t be afraid to make new things out there. I love you.”
Ryan couldn’t hold his cry. He cried like a girl. His feeling is unexplainable, and he never felt it before. He loved her so much, but she had gone.
Three minute crying, he started to ride again. Slowly, he didn’t want to hit everyone. His mind now was as same as drunken man, but he could think rationally still.
He got into his house, finding blue balloon of his little brother. He took it to his room. For a moment he started to remember Neva, her favorite color was blue.
In his room, he sit on his chair and started to write something. Another letter. He wrote it for Neva. He knew it wouldn’t be read by anybody. His mind wasn’t in irrational, he was just hoping.
“Hi, Neva. Wherever you are now, I want you to know that I love you so much. It feels like I said it everyday, thousand times each day. But it wasn’t ever enough. I don’t care even that your behave seems annoying for me, those things actually make me feel love you more. You’re special. There will not be another one like you, even someone better than you. It’s a pity you left me so soon. But I should say thank you for all of sweet things that you have given to me. I love you.”
Then, he tied the letter with balloon and let it flew to the sky, while hoping that she would read it.

A Cross Road

Tidak ada yang lebih menyenangkan selain hanya berduaan saja dengan orang yang dicintai. Rasanya sangat indah hingga tak ingin berpisah walau hanya satu menit.
Tapi dengan lima menit perpisahan adalah lima kali lebih sakit dari pada semenit perpisahan. Dan ia tidak pernah menyadari bahwa lima menit itu yang sepele itu mungkin akan mengubah hidupku dan hidupnya.
“Cuma lima menit,” kata kekasihku, tanpa mempedulikan perasaanku. Tapi tentu saja aku tidak pernah mengatakan tentang khayalanku mengenai perpisahan itu. Ia akan mengira aku paranoid atau posesif. Tapi yang aku takutkan sebenarnya adalah jika aku kehilangan rasa posesifku. Atau mungkin juga tidak.
Dan aku tidak akan pernah melupakan lima menit yang sepele ini: aku disuruh menunggu di luar bank di siang hari di bulan oktober di saat matahari sedang kejam-kejamnya bersinar sedangkan ia masuk ke dalam ruangan yang ber-AC kencang. Tapi bukan karena temperatur udara yang tidak bersahabat, melainkan karena khayalanku terjadi.
Selama lima menit itu berjalan, aku melihat perempuan cantik yang sedang berjalan menuju ATM. Butuh waktu cepat baginya untuk mengambil sejumlah uang lalu menjauhi ATM. Dan ketka itulah mataku bertemu dengan matanya.
Tapi karena sikap terburu-burunya itu, ia menjatuhkan sesuatu di depan mesin ATM. Sesuatu yang jatuh dari bindernya adalah kertas berbentuk persegi panjang yang dilipat dua dan berwarna ungu cerah. Ingin aku memanggilnya, tapi ia sudah meraih bus. Aku terlalu asik memperhatikannya.
Aku ambil kertas itu, dan jika penting dan ada alamat atau nomor yang bisa dihubungi, akan aku kembalikan. Tidak ada nomor telepon, tapi ada alamat, yang jaraknya enam puluh kilometer jauhnya. Dan itu bukan kertas biasa, itu kertas undangan pesta ulang tahun. Pestanya empat tahun lagi.
“Sayang!! Sini!” kekasihku memanggilku. Urusannya di ruang sejuk itu sudah selesai. Aku tidak marah, karena perempuan itu sudah membuatku lupa pada energi kalor yang terus merasuki tubuhku ini. Aku lebh mengkhawatirkan kecurigaan kekasihku yang melihatku memasukkan kertas ungu itu ke dalam saku. “Apa itu? Yang kamu sembunyikan.”
“Orang buang sampah sembarangan. Aku hanya memungutnya untuk menjaga kebersihan,” jawabku bohong.
“Ih, kamu baik hati banget sih,” katanya sambil mencubit pipiku. Rasanya selalu sakit setiap kali ia melakukan itu.
Aku hanya bersyukur ia tidak curiga karena selain bank itu punya petugas kebersihan sendiri, sesungguhnya ada banyak sekali sampah yang berserakan di sekitarku, dari kertas kecil pembungkus makanan hingga baterei yang mengandung mercury.
Viani Rivera, itulah nama perempuan itu berdasarkan kertas undangan itu. Mungkin saja ia memiliki setengah darah Spanyol atau Latin. Pantas saja ia begitu cantik. Tapi, apakah itu suatu kebetulan? Karena aku, Andre Shiyazov, memiliki setengah darah Rusia, dan kekasihku, Courtney Cyrill memiliki ayah asal Australia.
Aku memang cukup penasaran dengan perempuan itu. Kata-kata yang tertulis dalam undangan itu cukup persuasif, bahkan mampu membuat orang yang tidak mengenalnya seperti aku, ingin hadir ke pestanya.
Dan aku putuskan akan menghadirinya, walau tempatnya sangat jauh. Dan bukan berarti aku langsung memutuskan demikian segera setelah menemukannya. Sikap Courtney kepadaku di hari-hari menjelang hari ulang tahun perempuan itu membantu mendorong niatku itu. Seperti yang terjadi pada hari kamis, ketika aku sedang praktikum di lab aerodinamika.
Ketika aku harus mengukur perubahan arah angin setiap tiga puluh detik selama setengah jam, ponselku berbunyi di detik 445. Aku mengambil ponselku dan melihat nama Courtney. Ponselnya sedang tersambung dengan ponselku. Aku meng-cancel-nya, dan stopwatchku sudah menyentuh detik 463. Karena hal itulah aku harus mengulang percobaannya.
“Aku kira kamu sedang tidak di lab,” jawabnya simpel ketika aku menemuinya di apartemennya. Padahal aku sudah memberikan jadwal lengkapku dalam satu semester itu.
Hal itu bukan satu-satunya yang terjadi selama tiga hari ini. Ketika kuliah Mekanika Mesin II, ponselku berdering karena dia. Sang dosen yang tak ingin kegiatan mengajarnya terganggu menyuruhku untuk menerima ponsel yang berbunyi itu di luar kelas. Aku tidak melakukannya dan mentup ponselku lalu mematikannya.
“Maaf deh, kalau kamu marah. Tapi kamu ngga biasanya seperti ini, kan?”
Aku memang menyadari hal itu. Tapi sekarang adalah waktunya untuk mengubah hal ini.
Aku berdiri, memandanginya dengan wajah amarah dan mulai memarahinya. “Dengar! Aku adalah mahasiswa teknik dirgantara yang akan lulus Cum Laude. Aku menjadi asisten dosen sejak semester tiga. Aku lulusan olimpiade sains nasional bidang fisika. Sedangkan kamu? Kamu mahasiswi manajemen yang malas, yang jarang mask kelas, yang tidak lulus banyak mata kuliah. Kamu tidak pernah memasak, ataupun mencuci baju. Kamu adalah sumber kekacauan. Tapi, ...” aku diam sejenak, berusaha memahami arti tatapan yang dikeluarkan Courtney yang tidka kumengerti, hingga aku mengakhiri pidatoku. “Tapi aku mencintaimu.”
“Ok,” jawabnya simpel.
“Lalu apa yang membuatmu tidak bisa memberikan aku ruang dalam satu hari saja?”
“Apa kamu bisa hidup tanpaku dalam satu hari saja? Aku tidak bisa, karena aku sangat mencintai kamu.”
Aku juga pernah mengatakan itu, tapi sudah saatnya menghilangkan efek surga dunia itu dan kembali ke dunia nyata, karena hidup tidak bisa begitu mudha mendatangkan surga. “Dengar! Kita harus istirahat sejenak. Aku tidak bisa seperti ini selamanya. Kamu harus menghormati ruang yang aku punya. Besok, dalam 24 jam aku tak ingin mendengar suaramu. Aku ingin kamu berusaha untuk tidak bergantung kepadaku.” Lalu aku menuju pintu, hendak pergi dari unit apartemennya.
“Besok kan hari Sabtu. Apakah kamu berusaha untuk meninggalkan aku?” itu adalah kata terakhir yang aku dengar sebelum aku menutup pintu.
Berusaha meninggalkannya? Aku tak pernah memikirkan itu. Tapi, memang ad alasannya aku menjauhinya dalam 24 jam itu. Aku ingin tahu rasanya tidak diganggu olehnya selama 24 jam, dan aku ingin menghadiri pestanya Viani Rivera. Meski terdengar seperti aku akan meninggalkannya, aku tak pernah berniat demikian.
Hari Sabtu, jam empat sore. Aku siap berangkat ke kediaman Viani Rivera yang jauh itu. Pestanya dimulai jam tujuh malam. Aku percaya perjalananku akan lancar karena jalur macet di sore hari hanya terjadi ke arah sebaliknya.
Dan seharian ini aku tidak mendengar suara Courtney. Ia berkali-kali menghubungiku, tapi aku selalu menolak untuk mengangkatnya dnalangsng meng-cancel-nya. Aku harap ia tidak menggangguku selama pestanya Viani Rivera berlangsung.
Aku sampai tepat waktu. Agak sulit mencarinya, karena terletak di pedalaman. Ya, rumahnya memang jauh dari peradaban. Tetapi untuk masuk ke rumahnya aku harus menghadapi gerbang besar.
Ya, rumahnya memang sangat besar. Segala landscape yang aku lihat sepanjang jalan menuju rumahnya, yang hanya dipagari oleh pagar bambu sederhana, adalah halaman rumahnya. Dan istana yang terdang benderang dalam malam itu adalah rumahnya. Akupun takjub melihat air mancurnya, belum bagian dalam rumah itu. Inikah keajaiban yang biasa ada ketika engkau jauh dari peradaban?
Security officer menambutku dan mobilku dengan ucapan “Bienvenido,” suatu salam dari bahasa Spanyol yang tidak aku mengerti artinya, padahal ia bertampang melayu.
Tempat parkir yang luas dan tertib itu akan memanjakan mobilku, sekaligus membuatnya iri karena banyak mobil yang lebih mewah dari volvo s180 milikku.
Dan pintu besar layaknya pintu surga karena keindahannya terbuka. Mereka dibukakan oleh dua penjaga pintu yang stand by selalu. Dan lagi, salam berbahasa spanyol yang sama diucapkan kepadaku, mengiringi langkahku. Aku hanya tersenyum karena tidak tahu artinya dan tidak tahu bagaimana membalasnya.
Seseorang berjas hitam selayaknya tuksedo menghampiriku. Dengan bahasa Spanyol ia mengatakan suatu kalimat yang tidak aku mengerti. Tapi tanpa sempat berkedip ia langsung mengatakan terjemahannya “Boleh saya minta kadonya? Akan saya letakkan di meja kado.”
Aku langsung menyerahkan kadoku yang berbentuk balok, terbungkus kado warna putih dengan pita merah muda. Isinya adalah kotak kaca berisi voucher belanja di toko boneka dekat kampusku. Meski sederhana, pengemasannya aku buat indah. Tapi aku yakin ini tak seberapa jika dibandingkan dengan kado lainnya yang mungkin berisi tiket Crusing Through Pacific, boneka Teddy Bear ukuran manusia, kunci mobil, atau berlian yang menempel di cincin.
Yang terakhir mungkin hanya diberikan oleh orang yang sangat spesial baginya, jadi aku buang jauh-jauh bayangan itu.
Ketika aku sedang menyesap sirup anggur asal prancis, aku mendengar seorang pria mengajak seorang pria mengajak seorang perempuan untuk berdansa, dalam bahasa Spanyol. Terdengar begitu lembut dan halus. Dengan cepat aku melatih lidahku untuk mengucapkannya karena mungkin saja aku akan memiliki kesempatan bertemu dengan perempuanb itu.
Dan kutemukan perempuan itu. Ia sedang sendir, tatapannya kosong memandang ke arah keramaian di sekelilingnya. Sesekali ia menjawab “Gracias,” ketika ada orang yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Banner besar bertuliskan “Felis Cumpleanos, Viana!” terbentang tinggi di belakangnya.
Tiga puluh detik mataku terpaku padanya dan penampilannya yang luar biasa dengan gaun putih berkilau motif kebaya tapi berkontur dan bersiluet gaun malam, hingga mataku dan matanya bertemu. Aku tak menyangka aku masih hidup setelah ditatap olehnya.
Ia menghampiriku. Dan aku mulai nervous.
“Bienvenida,” sapanya. Agak mirip dengan salam penjaga pintu dan security itu.
Setelah mengucapkan Hepi Bday-nya orang Spanyol, aku langsung mengucapkan kalimat ajakan berdansa itu. “Puede balio con usted?” kataku, dan aku agak ragu-ragu. Mungkin aku salah dalam mengucapkannya, atau salah kata-kata.
Dan mungkin itu juga yang membuat ia tertawa setelah mendengar kalimat ajakan itu. “You’re not Spaniard. Aku mengenal semua orang yang ada di sini, kecuali kamu. So, tell me. Como se llama usted? Siapa nama anda?” ketika bertanya itu, sikapnya agak formal.
“Andrei Shiyazov.”
“Ya, aku tak mengenal kamu. Seingatku aku tak pernah mengundang satupun orang Rusia. Kamu membawa kartu undangannya?”
Aku menunjukkan kartu undangan itu, kartu undangan berwarna ungu cerah. Ia terlihat agak shock ketika melihat itu. “Di mana kamu menemukan itu?”
“Di depan ATM dekat kampusku. Kenapa?”
“Oh.Pantas aku pernah melihat kamu.” Ia lalu menunjukkan sebuah kartu lain berwarna oranye seperti jeruk. “Ini kartu undangan yang aku kirim ke semua yang ada di sini. Yang kamu pegang itu adalah blue print dari desain undangan sebelumnya, yang hilang sebelum dicetak.”
“Oh, gitu. OK,” kataku. Sikapku seperti orang yang siap diusir oleh bodyguard-nya.
Tapi ia bukan memanggil body guardnya, melainkan mengambil kertas undangan berwarna ungu cerah itu dari tanganku. “Tapi kamu tetap sebagai tamuku. VIP, karena kamu telah mengembalikan desain yang aku buat dengan susah payah. Kartu oranye ini didesain percetakan, aku tidak suka.”
Lalu ia mengajakku ke balkon yang menghadap ke danau. Aku seperti berada di atas kastil Eropa yang berdiri di atas sungai atau di sebuah rumah di Venezia. Hebat sekali pemandangan di sini. Ia mengajakku karena ia mengerti aku datang tanpa teman dan bermodal nekat. Seolah aku menjadi lupa apa tujuanku pada mulanya, karena keberadaannya di sampingku.
Aku berbicara banyak dengannya, hingga aku tahu bahwa ia adalah mahasiswi seni rupa tahun pertama. Pantas saja ia sangat menyayangi desain kartu undangan buatannya itu. Selain itu, aku juga menjadi tahu bahwa ayahnya adalah pengusaha perkebunan anggur dan jeruk asal Spanyol dan ibunya adalah sarjana pertanian yang mengelola perkebunan itu. Itulah ceritanya hingga ia lahir ke dunia dengan paras jelita.
“Andrei, bagaimana menurut kamu mengenai pesta ini?” tanyanya kepadaku.
“Mewah, meriah, dan luar biasa,” kataku.
“Oh ya? Kalau bisa, aku justru ingin keluar dari pesta ini dan tidak mengalaminya lagi.”
“Mengapa?”
“Apa gunanya jika hanya membuang-buang uang. Memang aku menyukai dekorasi yang dilakukan perusahaan party maker, sangat kreatif. Tapi secara keseluruhan, membosankan.”
Alasan pertamanya yang disebut, membuang-buang uang, bukanlah alasan utamanya. Aku tahu itu. Ia hanya ingin menyebut sebanyak mungkin alasan agar aku percaya ia tidak menyukau pesta ini. Aku memang tidak mengerti mengapa ia tidak menyukai pesta di mana ia mungkin bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan tanpa perlu memanggil peri.
Aku pernah dengar bahwa, mahasiswa-mahasiswi seni adalah orang yang tidak bisa sedikitpun berdiam diri di suatu tempat yang membuatnya bosan dan tidak mendatangkan inspirasi. Bila dijelaskan dari sisi itu, aku percaya.
Tak lama kemudian, datang seorang pelayan yang tadi meminta kado dariku, yang baru aku sadari ia berwajah Eropa, mungkin Spanyol. Dan mungkin ia seaorang kepala pelayan. Dengan bahasa Spanyol ia mengatakan sesuatu kepada Viani, dan sudah pasti aku tidak mengerti.
“Tamu ini, tamu istimewa. Lakukan apapun yang ia minta, ya?” kata Viani.
“Si, seniorita,” jawab si pelayan.
“Andrei, aku ke dalam dulu ya,” katanya sebelum pergi dari hadapanku.
“Ya,” jawabku.
Lalu ia masuk ke dalam dengan wajah yang tidak seceria ketika ia bersamaku. Aku yakin itu, hingga aku penasaran apa yang ia lakukan di dalam sana.
“Aku sarankan anda tidak mengintip ke dalam dulu,” kata sang pelayan.
“Mengapa?” tanyaku. Padahal aku baru berjalan sedikit menghadap ke dalam ballroom yang mewah itu.
“Aku yakin anda tidak ingin melihatnya, karena aku tahu anda menyukai nona Viani.”
Aku tetap melangkah menerobos tirai putih. Dan di dalam aku melihat Viani sedang dicium pipinya oleh seorang laki-laki bertampang Spanyol. Itu agak membuatku jealous, tapi mungkin itu adalah kakaknya. Tapi kemudian, sekotak cincin berlian muncul dari tangan pria itu, menerbitkan ekspresi shock di wajah Viani. Itu memang yang tidak ingin aku lihat.
“Aku sudah memperingatkan anda. Itu adalah tunangan nona Viani.”
“Tunangan?”
“Ya.”
Sangat mengherankan sekali untuk seseorang perempuan yang tidak cukup cantik tetapi sudah mempunyai tunangan. Tidak cukup cantik? Aku sangat munafik sekali jika aku mengatakan itu, bahkan jika itu terjadi di dalam hatiku.
Setelah melihat kejadian itu, aku segera beranjak meninggalkan ballroom. Sudah cukup apa yang telah aku lihat. Ternyata untuk perempuan yang baru aku kenal bisa membuat hati sakit. Mungkin itu untuk membayar suatu rasa yang aku alami terhadapnya, yang sebenarnya tidak boleh ada.
Sang pelayan menghalangiku dengan halus. Ia tahu aku akan beranjak pergi dari ballroom itu. “Saya ingin nomor yang bisa dihubungi, karena saya yakin nona Viani belum memintanya dari anda.”
“Untuk apa?” tanyaku. Aku sempat berspekulasi bahwa pelayan ini sudah menghadapi banyak pria sepertiku, yang mengalami perasaan ini terhadap Viani.
“Mungkin ia menginginkannya.”
Aku memandang Viani sesaat setelah, mungkin menjadi yang terakhir kalinya sebelum aku menjawab permintaannya. “Tidak perlu, dia bisa mencarinya sendiri. katakan saja, Andre Shiyazov, mahasiswa semester enam teknik dirgantara,” karena aku dan dia satu kampus. Tapi aku tak yakin ia akan mencariku.
Aku sudah meraih mobilku dan melaju menjauhi rumah itu. Munkin aku akan melewatkan bagian yang paling meriah dari pesta itu, tapi sudah cukup. Aku tak sanggup berada di tempat itu lebih lama, dengan Viani dan tunangannya.
Jam sepuluh malam, aku sampai di kota tempatku tinggal. Cahaya masih terlihat di mana-mana seolah lebih terang dari cahaya matahari di siang hari. Cahaya-cahaya itu membuatku silau, tapi berhasil membuatku fokus pada statusku sebagai pengendara mobil di saat bayangan Viani memenuhi kepalaku.
Apartemennya Courtney sudah terlihat di depan mataku, sama terangnya dengan kondisi di sekitarnya. Sempat berpikir untuk mampir, mungkin ia belum tidur. Aku ingin mengucapkan maaf, karena mungkin ia marah.
Kamar 707. Unit apartemen dua lantai yang sangat disukainya. Ia pernah berkata bahwa ia butuh tiga minggu untuk menemukan tempat tinggal yang sesuai seleranya.
Tapi apa yang aku temukan sungguh sangat mengejutkan aku. Tidak jauh berbeda dengan apa yang aku lihat di istana Viani. Courtney sedang berciuman dengan pria lain di balkon apartemennya.
Courtney kaget melihat kedatanganku dan langsung melepaskan pria itu dari pelukannya. “Andrei!” serunya, dengan agak lirih dan penuh rasa menyesal.
Aku tak harus menjawabnya. Aku cukup meletakkan tanganku di saku jaket hoodie warna hitam yang sedang aku kenakan sambil memandang kosong ke arahnya. Aku biasa melakukannya jika aku merasa kesal terhadapnya. Dan aku memang sedang kesal.
“Drei, kamu ngga akan mengerti. Aku kesepian,” jawabnya. Ia harus berjuang untuk mengakui itu, aku bisa merasakannya, tapi apakah itu berguna?
“Akhirnya aku punya alasan untuk meninggalkan kamu,” kataku. Ya, akhirnya. Untuk perempuan yang sudah lama aku cintai, aneh sekali rasanya karena aku tidak merasakan sakit.
“Drei!” teriakan Courtney perlahan menghilang setelah aku menutup pintu dan menjauhi apartemennya.
Lima menit itu adalah waktu yang diberikan oleh kehidupanku untuk memilih jalan karena persimpangan menghadang. Tidak bisa lebih lama karena hidup pun tidak akan meminta usia lebih panjang. Manusialah yang memintanya. Hanya sementara, dan aku tidak ingin menyia-nyiakan lima menit itu. Aku bisa memilih jalan apapun, itu masih lebih baik dari pada diam sementara kehidupan masih ingin bergerak. Seberapa sulit jalan itu menentukan akan jadi apa aku nantinya.
Rasa sakit yang aku rasakan ketika melihat Viani dan kekasihnya hampir tak bisa aku terima. Ya, ini hanyalah persimpangan jalan. Seharusnya aku tetap lurus.

Rabu, 08 Oktober 2008

Wishing To Get Closer

Aku turun dari bis kota dan melesak masuk ke dalam gedung suatu perusahaan yang tergolong mewah. Sambil melirik ke menara jam buatan perusahaanku, aku bisa memperlambat langkahku karena aku masih punya waktu. Bukan berarti aku akan telat karena kenyataannya aku datang setengah jam lebih awal dari biasanya.
Aku adalah seorang kepala bagian administrasi umum perusahaan ekspor impor yang berlokasi di Batam. Semua orang di kantorku selalu menyapaku dengan senyum setiap kali aku datang, dan bunyinya selalu sama: “Selamat pagi, Bu Putri,” seperti yang baru saja diucapkan bang jaja, security officer berbadan besar, ketika aku masuk gedung. Aku selalu merasa aneh dengan sapaan “Ibu” karena aku belum menikah.
“Pagi, Bang Jaja,” balasku.
Meski aku adalah kepala bagian, aku tidak memiliki mobil. Seseorang telah menginspirasiku untuk lebih peduli lingkungan dengan lebih mencintai kendaraan umum. Ia juga menganjurkanku untuk menghindari lift dan lebih banyak memijak tangga, tapi tak pernah kulakukankarena meja kerjaku terletak di lantai sembilan belas. Dan juga aku sedang terburu-buru.
Seseorang yang aku maksud itu menelponku, tepat ketika aku sedang menunggu pintu lift terbuka bersama belasan karyawan lain yang beberapa telah menyapaku, dengan sapaan “Ibu”. Aku jadi ingat, ia juga yang membangunkanku karena membuat ponselku berdering. Lalu ia membuatku semangat dengan suaranya yang maskulin. Di pagi hari adalah satu-satunya kesempatan bagiku dan baginya untuk bercakap-cakap, selain jam istirahat siang.
“Hai Say, kamu sibuk ngga?” tanyanya segera.
“Aku sedang menunggu pintu lift terbuka. Setelah aku sampai meja kerjaku, baru deh aku sibuk. Kamu ngga kuliah?”
“Masih jam delapan. Kelasku dimulai jam sembilan. Kamu ngga biasanya datang ke kantir sepagi ini.”
“Aku akan sibuk hari ini.” Lalu pintu lift terbuka. “Say, udahan dulu ya. Pintu liftnya sudah terbuka. Kalau sempat, aku akan SMS kamu.”
“Sebelumnya aku boleh tahu ngga? Apa sih warna favorit kamu? Mungkin kamu pernah menyebutkannya, tapi aku lupa. Jadi, ...”
Aku tersenyum sedikit. “Warna merah.”
“OK.” Lalu hubungan selular terputus.
Pintu lift sudah beberapa detik terbuka. Aku segera masuk dan menekan tombol nomor sembilan belas. Dan aku sedang sial, dari nomor dua hingga delapan belas lift akan berhenti hampir di setiap lantai itu. Kenapa yang menuju lantai dua dan tiga tidak menggunakan tangga saja!? Seandainya saja nasehat Andre tersiar ke seluruh kantor.
Oh ya, orang yang menelponku tadi adalan Andre, pria yang sedang mengejar gelar S2 di IPB. Aku menemukannya di internet, tepat ketika aku sedang hampa karena semua teman-temanku sudah memiliki pasangan. Andre, cukup humoris, perhatian, penyayang, dan cerdas meski aku belum pernah bertemu dengannya. Segala komunikasi dengannya selama dua tahun ini dilakukan dengan SMS, telepon, dan internet.
Entah sejak kapan panggilan ‘sayang’ itu dimulai, tapi aku memang menginginkannya. Sudah lama tidak dipanggil demikian.
Aku sudah sampai di lantaiku. Akhirnya. Tapi sekretarisku, Maya, belum datang. Padahal aku sangat membutuhkan bantuannya. Tidak apa-apa, memang aku yang terlalu cepat datang.
Aku langsung mencari tahu, mengingat alasan mengapa aku terburu-buru. Setelah tahu, aku membuat rencana kerja satu hari. Meminta data lengkap perusahaan rekanan baru yang sudah di-pending satu minggu lalu mengurusnya adalah yang paling awal. Lalu memasukkan data penjualan yang minggu lalu belum selesai. Aku bisa saja menyuruh bawahanku, tapi aku yakin mereka tidak bisa bekerja secepat aku yang sangat energik ini. Hehe. Lalu, jam satu ada rapat untuk menentukan sistem administrasi yang baru demi kemudahan akses informasi internal, sambil dengar pendapat perwakilan perusahaan-perusahaan rekanan.
“Maaf, mbak. Saya terlambat,” kata Maya seraya masuk ke ruanganku, menyerahkan data perusahaan rekanan yang akan melakukan dengar pendapat nanti, dan mengingatkanku akan rapat nanti siang. Aku melihat ke jam dinding, dan secara teknis ia belum terlambat. Akulah yang datang lebih cepat dari dirinya dan biasanya tidak demikian. Ia memang selalu merasa bersalah jika aku datang lebih cepat dari dirinya. Dan ia tidak ingin keluar dari ruangan sebelum menerima ‘hukuman’.
“Buatkan aku susu hangat,” perintahku.
“Baik, mbak.” Sepertinya hanya dia yang mengerti aku belum menikah.
Lalu dimulailah semua kesibukanku. Aku punya beberapa bawahan, tapi aku tak mau terlalu membebani mereka. Semua adalah tanggung jawabku, aku akan menyuruh mereka jika aku tidak sanggup mengerjakan semuanya. Ya, seringnya sih seperti itu. Perusahaan ini perusahaan besar, tapi pelit. Tidak ingin mempekerjakan lebih banyak orang demi efisiensi. Baiklah, aku menghargai efisiensi. Tapi kalau mengetahui bahwa Sarah, kepala bagian personalia, sedang tidak sibuk dan masih sempat mengajakku jalan-jalan, padahal belum jam istirahat, membuat aku merasa dunia tidak adil.
Dan aku hampir lupa makan siang karena tenggelam oleh kesibukanku. Andre mengingatkanku untuk melupakan sejenak pekerjaanku dan mengisi perut. Dan setengah jam lagi rapatnya dimulai!
“Maya, kau sudah makan siang?” tanyaku lewat telepn genggam seraya aku bergegas menuju lift.
“Sudah, mbak. Aku sedang di lift, menuju ke ruanganku.”
Lalu pintu lift terbuka, dan aku melihat Maya sedang membawa kantong plastik dan tangan kanannya masih menempelkan telepon genggam di telinganya. Ia tertawa saja mengetahui ternyata kami begitu dekat hingga harus memakai telepon genggam. Dan aku yakin bungkusan plastik itu untukku.
“Thanks, May,” kataku seraya menerima kantong plastik itu. Ternyata isinya burger isi fillet ikan dengan ekstra sayuran, kesukaanku. Aku memang beruntung memiliki sekretaris seperti dia.
Tapi dia tidak beruntung memiliki atasan kejam seperti aku. “Sekarang kamu suruh bagian IT untuk menyiapkan teleconference di ruang rapat. Lalu kamu hubungi masing-masing perwakilan perusahaan rekanan yang akan melakukan dengar pendapat. Suruh orang lain juga agar cepat selesai. Aku ingin istirahat dulu, mempersiapkan diri untuk rapat. Dan jangan lupa susu hangatnya ya, setelah kamu menyelesaikan semuanya,” perintahku segera setelah mengetahui isi bungkusan plastik itu.
“Yes, mam.”
Akhirnya, aku tak harus turun sembilan belas lantai untuk makan siang. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih pada Andre lewat SMS karena mengingatkanku untuk istirahat. Ia memang pengertian.
Waktunya tiba. Setelah menghabiskan segelas susu hangat dan membuka sebungkus pemen mint, aku menuju ke ruang rapat. Semua kepala bagian sudah berkumpul di ruang rapat yang aku adakan ini karena memang tentang wewenang dan tanggung jawabku. Dan para perwakilan perusahaan rekanan juga terlibat lewat teleconference.
Mungkin aku sedang berada di ruang rapat, tapi sisi kesadaranku yang lain, yang sedang dalam keadaan rindu yang amat sangat terhadap suara Andre, sedang berada di tempat lain, bingung bertanya-tanya di mana dan sedang apa Andre. Sisi kesadaranku yang itu selalu meninggalkanku di saat yang tepat, meski tidak selalu dalam keadaan 'full charge in love' di saat yang tepat. Itu terjadi agar tidak mengganggu pekerjaanku. Jika sisi pekerja kerasku mulai beristirahat, keduanya akan bersatu kembali dalam satu tubuh.
Jam tiga rapat selesai. Setelah semua peserta rapat meninggalkan ruangan, aku masih di dalam, duduk, dan mengistirahatkan mental dan fisik. Sebenarnya aku hampir tertidur di meja ruang rapat yang terbuat dari kayu pohon ek itu, hingga Maya membangunkanku.
“Mbak, ada paket kiriman,” katanya sambil membangunkanku.
Aku melek, dan melihat ada paket terbungkus kertas berlabel perusahaan pengiriman barang ternama dengan keterangan kiriman kilat. Aku membukanya, dan mengira akan menemukan paket kiriman dari perusahaan rekanan, hingga aku menemukan sebuah buku novel yang dibalut pita merah dengan indah. Judul novel itu, “A Note to Get Closer”, pengarangnya, Andre Scesia. Andre!?
Aku segera melihat halaman paling akhir buku yang berisi profil pengarang. Iya, itu benar-benar Andreku. Ia tidak pernah bilang ia seorang penulis.
Aku membuka halaman kedua, tertulis dengan indah kalimat “Untuk yang terindah, Putri Anggraini”. Kami belum pernah bertemu, tapi ia sudah segombal ini. Biasanya juga begitu sih.
Sebelum membuka halaman berikutnya, aku mengeluarkan ponselku dan mengetik pesan untuk Andre. Isinya: “Honey, thanks for the Novel. It’s so sweet. Aku ngga tahu kalau kamu bisa menulis. Saat ini hingga esok pagi aku ngga sibuk. Aku tunggu telpon dari kamu.” Sebelum menyentuh icon di touchscreen untuk merealisasikan terkirimnya pesan itu, aku tersenyum-senyum sendiri. Ada keinginan dalam diriku untuk menelponnya, tapi mungkin saja ia sedang sibuk.
Dan pesan itu terkirim. Seandainya yang terkirim tidak hanya pesan itu, tapi juga jiwa dan ragaku.
Di halaman prolog, Andre curhat tentang novel pertamanya. Ia juga menulis bahwa novel pertamanya itu terinspirasi dari dua tahun hubungannya denganku. He’s so sweet.
Pada dua puluh halaman pertama aku membacanya dengan sepenuh hati sambil memahami makna rahasia dari setiap kata yang Andre tulis. Mungkin ada yang ditujukan kepadaku. Lalu akupun berpikir realistis bahwa aku bukan penggemar novel yang bisa menafsir isi buku itu dengan baik sehingga sangat sulit bagiku untuk memahami selembar puisi pendekpun. Aku hanya mengikuti isi ceritanya. Lagipula, seisi novel itu pastinya tentang aku karena akulah inspirasinya.
Dan aku seperti membaca kisahku sendiri.
Lima halaman kemudian, ponselku berdering. Itu berasal dari Andre.
“Hai, sayang,” sapaku.
“Hai. Sorry, aku tadi di laboratorium lapangan. Kamu pasti ngga akan mengerti aku telah melakukan apa.”
Aku tersenyum kecil. Ia memang selalu menceritakan hal scientific sekecil apapun yang baru saja ia lakukan. Suara berdeham yang aku keluarkan mungkin akan menyadarkannya.
“Jadi, bagaimana novelnya?”
“Aku baru baca sedikit, tapi bagus, sih. Semuanya tentang aku banget.” Aku terus mengatakan kalimat yang terakhir itu, berulang-ulang dalam hati.
“Andai aku bisa mengirim lebih dari itu.”
Aku menghela napas. Ia selalu merasa tidak pernah cukup memberikan perhatian dan kasih sayangnya. Aku pun tidak pernah merasa cukup puas terhadap apa yang selalu diberikannya, tapi aku sangat menginginkannya. Dan aku tidak tahan ingin menyatakan hal itu. “Andaikan saja tidak hanya novel itu yang datang, tapi kamu juga.”
Aku tidak sadar telah menitikkan beberapa tetes air mata. Aku berdiri dari kursi, menatap matahari yang hampir terbenam dari ruang rapat untuk mengantisipasi air mata yang mungkin akan semakin deras. Aku memang sangat ingin bertemu dengannya. Segala hal tentangnya telah mengisi hatiku yang membosankan ini, dan aku berterima kasih selalu atas hal itu meski telah membuat hatiku lelah karena menunggu.