Minggu, 28 September 2008

Love politic part II

Kelas matematika yang cukup mudah bagiku baru saja usai. Aku masih berdiam di ruang kelas menyaksikan mahasiswa yang lain melewatiku menuju pintu yang terbuka di belakangku. Aku masih belum menghilangkan kebiasaanku tuk duduk di tempat terjauh dari dosen, jika dosen itu tidak berjalan-jalan ketika mengajar. Aku belum tahu apa enaknya duduk di tempat terbelakang, aku hanya merasa nyaman saja. Dan juga itu yang kurasakan mengenai keluar kelas terakhir.
Tapi aku mungkin tidak keluar kelas teralhir kali ini, setidaknya tidak sendiri. Indri menghampiriku ketika ruang kelas hampir sepi. Ia mengingatkanku pada satu hal: kemarin adalah hari seleksi menjadi enggota Dewan Perwakilan Mahasiswa. Apakah ia ingin membicarakan hal itu?
”Hai, Dick. Bagaimana wawancaranya?”
Bagaimana? Setelah mengenai siksaan mental dan fisik setelah mengalami ospek lagi, aku tak bisa mengatakan bahwa wawancara itu menyenangkan. Tentu saja, segala siksaan dunia itu untuk meyakinkan semua peserta bahwa menjadi anggota DPM adalah kerja keras sekaligus juga mengeliminasi yang mentalnya lemah. Terhitung ada tiga belas orang yang mengundurkan diri pasca diberitahukan kerugiannya menjadi anggota DPM yang diantaranya tidak lulus mata kuliah, melewatkan praktikum, bahkan ke-DO karena masalah akademis yang tidak mencukupi. Kesimpulan yang bisa aku katakan untuk Indri: “Menyenangkan.” Sebenarnya interview oleh anggota DPM itu hanya lima belas menit dari acara keseluruhan yang berlangsung selama tiga jam yang sebagian besar diisi oleh siksaan mental dan fisik itu. Oh ya, dan juga suntikan doktrin dari mereka, yang sebenarnya juga bagian dari siksaan mental.
“Lucu juga sih loe.”
Entah sejak kapan ia menjadi ramah. Bahkan sikapnya jauh dari yang seperti ini sebelum persaingan menjadi anggota DPM dimulai. Mungkin setelahnya, setelah ia sadar bahkan setelah tahu ia tidak bisa menjegalku selama masa pengumpulan berkas persyaratan itu. Atau setelah wawancara itu, yang aku tahu perempuan mendapatkan siksaan leabih ringan. Atau setelah pikirannya tercemar doktrin anggota DPM. Atau setelah ia tahu bahwa kecil kemungkinannya aku akan mencintainya meski ia sangat cantik, kaya, dan berbakat. Aku tidak tahu.
“Esok adalah pengumumannya. Loe siap?” katanya.
“Diterima atau tidak, gw tahu apa yang harus gw lakukan.”
“Sepertinya loe calon terbaik untuk menjadi anggota DPM. See you.”
Setelah ia pergi, aku masih belum mengerti apa arti dari perkataannya. Apakah anggota DPM itu adalah mahasiswa yang selalu duduk di belakang di setiap mata kuliah dan tidur di setiap mata kuliah yang dianggapnya tidak ada hubungannya dengan jurusan yang ditekuninya? Apakah anggota DPM itu mahasiswa yang tidak bisa merapihkan kamarnya sendiri dan jarang mandi sore? Apa tujuannya memujiku setinggi langit?
Bahkan menurutku, jabatan anggota DPM itu lebih pantas disandang oleh mereka yang selalu datang ke kelas lebih awal dan merebut kursi terdepan, rajin bertanya pada dosen, serta bisa merapihkan kamarnya sendiri. Aku yakin itu adalah Indri.
Dan aku semakin lagi setelah apa yang kulihat setelah kelas kimia pangan. Aku meihat Indri sedang di meja koridor gedung, sibuk dengan laptopnya. Tiba-tiba ada seorang mahasiswa membuang puntung rokok di dekatnya. Indri mengambil inisiatif dengan menginjak puntung rokok itu sampai baranya mati lalu membuangnya ke tempat sampah. Tidak lupa ia juga menutup hidung dan mulutnya ketika melakukan semua itu. Perempuan yang cerdas.
Ia mengingatkanku pada seseorang di masa laluku. Seseorang yang tanpa sepengetahuannya telah menjadi acuan kesuksesan banyak orang, yang tidak pernah terlewati. Yang tanpa sepengetahuannya telah menjadi pujian bagi sekolahnya. Yang tanpa sepengetahuannya telah aku cintai hingga ia tahu karena aku mengungkapkannya.
Terlepas dari berbagai kemungkinan yang mungkin aku rasakan terhadapnya, ia adalah kandidat terbaik untuk menjadi anggota DPM. Mengalahkannya, ataupun dikalahkan olehnya akan sama membanggakannya.
Dan hari pengumumannya tiba. Pengumumannya segera setelah dosen Biodigesti mengakhiri kelasnya dan seorang anggota DPM maju ke ruang kelas. Sudah jelas ia akan mengumumkannya.
“Saya tidak ingin membuang waktu. Kalian tahu tujuan saya di sini,” katanya. Seperti biasa, anggota DPM selalu serius. Mungkin akumulasi dari efek buruk kesibukan selama masa baktinya.
Aku sedikit harap-harap cemas menunggunya, dan entah apa yang dirasakan Indri. Mungkin seperti alunan musik tango, biasanya semerdu itulah detak jantung orang baik. By the way, mengapa aku harap-harap cemas? Aku bahkan tidak tahu motivasiku mencalonkan diri. Seingatku, aku hanya menjawab tantangannya Indri.
“Ada sedikit masalah. Ada kelas yang tidak menghadirkan calonnya dalam seleksi, dan juga proses penilaian bagi calon yang mengikuti seleksi agak sulit dilakukan karena memang sangat kompetitif. Dan akhirnya kami putuskan, ...”
Tiga detik, lima detik, sepuluh detik suasana sepi seolah mengundang teror bagi seisi kelas. Katanya tidak mau membuang waktu?
“Antara Indri dan Dicky, kami memutuskan bahwa kalian berdua lulus.”
What? Bagaimana bisa? Bukankah dalam satu kelas hanya ada satu wakil? Itu ketentuan pokoknya.
Terlepas dari masalah itu, ternyata cukup membanggakan juga tidak mengalahkan maupun dikalahkan oleh Indri. Aku dianggap sejajar dengan perempuan berbakat itu.
Tapi bagaimana mungkin dalam satu kelas terdapat dua wakil? Syukurlah Indri menanyakan itu sesegera mungkin.
“Ketentuan pokok masih berlaku,” jawabnya. “Untuk itu, kami mengharapkan kerelaannya bagi salah satu dari kalian untuk pindah ke kelas yang tidak menghadirkan wakilnya dalam seleksi. Ada yang bersedia?”
Dengan segera aku mengangkat tangan, menunjukkan bahwa aku bersedia. Aku sudah berpikir, di jeda tiga detik sebelum aku mengangkat tangan itu.
Lalu akupun maju ke mimbar kelas, sekedar untuk memberi salam terakhir mungkin.
“Kalian tahu siapa gw, mahasiswa aneh yang selalu memilih tempat duduk yang terbelakang. Mungkin beberapa dari kalian terkejut gw terpilih, tapi itu menunjukkan bahwa gw ngga main-main dalam menjadi anggota DPM. Tidak ada yang spesial dari apa yang gw miliki, selain keinginan gw untuk menjadi seperti Indri, mahasiswi yang kalian tahu sangat berbakat. Meski saat ini gw sudah disejajarkan oleh Indri, gw belum selesai.
“Kelas ini menyenangkan. Kalian bisa membayangkan bagaimana rasanya pindah dari kelas yang menyenangkan ini. Itulah yang gw rasakan, meski gw terlihat seperti mahasiswa yang akan di-DO.
“Alasan gw mengajukan diri untuk pindah kelas adalah karena gw ngga ingin perempuan mengalami kesulitan yang lebih berat. Ya, gw ngga ingin Indri mengalami kesulitan dengan masalah pindah kelas ini.”
Aku bisa melihat Indri tersenyum terharu terhadap yang aku katakan. Itu semua aku lakukan sebagai laki-laki. Dan juga sebagai penghormatanku terhadap apa yang bisa ia lakukan terhadap kampus ini. Aku tidak terlalu yakin ada alasan lain.
Pindah kelas memang merepotkan. Jika DPM tidak memfasilitasi, aku harus melapor ke direktorat kemahasiswaan, ke berbagai lab yang terkait mata kuliahku, dan para asisten dosen. Mungkin akan memakan banyak waktu.
Indri masih menunjukkan senyum itu. Cantik sekali. Perempuan seperti dia memang pantas mendapatkan yang terbaik.
“Kalau kalian merindukan gw, gw belum berpikir untuk mengganti nomor ponsel dalam waktu dekat.”
Beberapa tertawa mendengar itu. Indri termasuk yang tertawa itu.
Aku telah mendapat instruksi untuk mempercepat proses perpindahan kelas itu paling lama tiga hari lagi dan segera memperkenalkan diri kepada kelas yang baru itu. Juga kami diberitahu kapan rapat perdana akan diberlangsungkan. Lalu seisi kelas diijinkan bubar. Tapi Indri masih menungguku. Ia ingin mengucapkan sesuatu.
“Tidak salah kalau gw ingin loe menyukai gw. Atau dengan kata lain, ...”
“Ya, gw tahu.”
“Ketika mengetahui itu tidak mungkin, rasanya memang menyebalkan. Andai ada kemungkinan hal itu bisa berubah.”
Aku berpikir sebentar, lebih lama dari jeda tiga detik itu. Lalu aku menjawab, “Mungkin bisa.”
“Benar?”
“Loe tahu apa yang gw inginkan, yang gw sukai.”
Entah apa yang aku katakan benar, aku sendiri tidak yakin. Yang aku yakini adalah Indri pasti mengetahui maksud dari perkataanku. Tapi satu hal yang aku tahu, itu bisa memotivasi dirinya untuk menjadi seseorang yang jauh lebih baik dariku. Dan aku tentu saja tidak akan membiarkan itu terjadi, ia telah menjadi acuan kesuksesanku. Aku akan bersaing, dengan cara yang sehat, hingga ia menyerah.
Setelah aku yakin Indri cukup jauh dariku, aku melihat ke layar ponselku. Aku memandang foto seseorang yang mirip Indri. Bukan mirip secara fisik, tapi secara sikap, perilaku, bakat, dan kecerdasan.
“Thy, do you see me?” itulah yang selalu kukatakan pada Tiara. Dan kini aku berhadap ia benar-benar melihatku.

Selasa, 09 September 2008

Love Politic

Kelas pengantar kewarganegaraan.
Aku menguap terus-menerus di kuris paling belakang ruang kelas. Sejak SMP ku memang membenci pelajaran sosial. Sangat tidak penting. Rasa tidak sukaku kepada pelajaran ini sangat terlihat jelas bahkan oleh dosen.
“Kepada mahasiswa berkemeja hitam di belakang, jawab pertanyaan saja, mengapa Montesquieu mengemukakan teori Trias Politica?”
Aku menjawab, “Karena ia tidak mendapatkan kursi kekuasaan di monarki.”
Seisi kelas tertawa. Tapi aku belum selesai menjawab. “Di era monarki prancis, raja berkuasa secara absolut. Ia yang membuat peraturan, ia yang menjalankan pemerintahan, dan ia pula yang menjatuhkan hukuman bagi yang dianggapnya ersalah. Trias Politica mengenai pembagian kekuasaan menjadi Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif yang mencegah absolutisme pemerintahan. Keinginan manusia bisa ditebak, ingin memperoleh kekuasaan. Jika tidak bisa absolut, Montesquieu berharap masih bisa mencicipi sedikit kekuasaan melalui Trias Politica-nya. Dan jika teorinya diaplikasikan di jamannya, tentu saja ia menginginkan bisa menduduki salah satu dari tiga dewan itu.”
Kali ini aku mendapatkan tepuk tangan dari seluruh kelas.
“Bukan itu jawaban yang saya inginkan,” kata dosen.
“Ini pelajaran non eksak, jawabannya tidak ada yang pasti. Dua dosen di bidang non eksak yang sama pun bisa berbeda jawabannya, apalagi lebih dari dua. Bapak bertanya mengapa, berarti bapak menanyakan alasan. Ini hanya perkiraan saya saja, saya tahu jawaban yang bapak maksud ada di dalam buku yang bahkan belum saya buka sama sekali. Dan jawaban di dalam buku itu, entah apa itu jawaban yang sebenarnya atau hanya pandangan penulis, kritikus, ahli filsafat, ataupun pembuat teori. Sekali lagi, ini pelajaran non eksak. Pertanyaan seperti itu tidak memiliki jawaban yang pasti.”
Kembali riuhan tepuk tangan menghujaniku. Dan pak dosen pun membubarkan kelas setelah merasa tidak ada yang perlu diajarkan lagi. Aku pasti akan di-blacklist olehnya. Siapa yang peduli? Aku belajar di jurusan Teknologi Pangan, bukan Komunikasi. Untuk apa pelajaran seperti itu?
Tapi kelas tidak langsung bubar. Ada seorang anggota Dewan Perwakilan mahasiswa. Ia mengajak dua orang dari mahasiswa kelas itu untuk menjadi anggota DPM. Seorang perempuan bernama Indri mengajukan diri. Dan setelah satu menit belum ada calon kedua hingga aku mengajukan diri. Sebenarnya tujuanku mengajukan diri agar kelas cepat bubar saja.
“Loe, jadi DPM? Ga salah? Menjawab pertanyaan dosen saja ga bisa,” kata Indri kepadaku setelah anggota DPM itu keluar kelas.
“Gw hanya ingin kelas cepat bubar. Gw ga berniat bersaing.”
“Bilang aja loe ga mampu, ga bisa melakukan hal semudah ini.”
“Memang benar, kok. Gw ga bisa.”
Setelah aku mengemukakan pendapatku tentang pencalonan itu aku menjauh dari depan kelas menuju pintu. Tapi seruan Indri menghentikan langkahku. “Dicky, loe bencong.”
“Gw ga pernah mengaku demikian.”
“Tapi sikap loe menunjukkan demikian. Berani berbuat harus berani tanggung jawab. Loe sudah mencalonkan diri, setidaknya melajulah hingga tahap seleksi.”
Setelah itu, Indri pergi keluar kelas lewat pintu yang berlawanan. Aku sudah dinasehati demikian keras oleh sainganku sendiri, dengan begitu keras. Ya, sebenarnya memang tidak sulit melaju hingga tahap seleksi saja. Aku tinggal melengkapi berkas yang baru saja diberikan, dan dilengkapi dengan berkas lain berupa daftar riwayat hidup, opini mengenai legislatif, dan tanda tangan tiga puluh orang teman sekelas.
Tapi kenyataannya tidak demikian.
Di hari pertama pasca pengajuan diri, aku mulai mengumpulkan tanda tangan. Ya, tidak mudah karena Indri sudah merebut tanda tangan mayoritas sahabat dekatku di kelas. Mereka yang sudah memberikan tanda tangannya tidak bisa memberikannya lagi. Di hari pertama, aku hanya dapat enam tanda tangan, empat dari sahabatku yang masih setia dan belum dihampiri Indri dan dua lagi dari mahasiswa yang bahkan tidak aku kenal. Ya, itulah politik, semua mengenai dukungan. Seharusnya tidak sulit mendapatkan tanda tangan 30 orang dari 102 orang di kelas.
Hari ketiga. Esok adalah batas akhir pengumpulan berkas termasuk daftar tanda tangan. Tapi jumlah tanda tangan yang aku dapatkan baru sembilan. Dan hari ketiga itu adalah masa yang tersulit.
“Apa maksudnya ga mau?” tanyaku pada seorang mahasiswi di kelas.
“Pokoknya ga mau aja.”
Ia bukan yang pertama mengatakan demikian.
Tak lama kemudian, Harris, sahabat baikku yang tanda tangannya berada di urutan teratas daftar tanda tangan yang harus aku penuhi, mendatangiku. Ia memberiku selembar kertas. Tulisan yang berada di kertas itulah yang mengejutkanku.
Di kertas itu tertulis pembandingan antara aku dan Indri yang sangat tidak seimbang. Indri disandingkan dengan kata cantik, berbakat, cerdas, dan peka terhadap masalah sosial. Sedangkan namaku berada di sebelah kata berantakan, pemalas, sering tidur di kelas, dan tidak peduli dengan masalah sosial. Semua fakta tentangku dan Indri yang tertulis itu memang tidak salah, tapi mengapa aku diceritakan sifat terburukku sementara Indri diceritakan sifat terbaiknya. Apalagi di bawah tertulis bbesar-besar, “Maukah kalian memiliki wakil seperti Dicky?”
“Semua yang ada di kelas ini menerima kertas itu, dari Indri,” kata Harris.
Tentu saja perasaanku sangat terpukul mengetahui itu. Tapi belum selesai persaingan, Indri menginginkan persaingan yang keras. Aku menyukai hal itu, tapi melawannya dengan cara yang kotor bukanlah caraku.
Masih ada sepuluh menit lagi hingga kelas dimulai. Aku ingin menjalani tantangan yang diberikan ini. Aku berdiri di hadapan para mahasiswa dan mulai berbicara ke seluruh penghuni kelas yang ada.
“Everyody, please. I need your attention. Kertas yang kalian dapatkan dari Indri tidaklah salah. Itu memang benar. Tapi kalian tidak mengetahui semuanya. Kertas itu tidak mewakili semua yang diketahui Indri dan semua yang perlu kalian ketahui. Sebenarnya memang mudah mengetahui keburukan orang lain, lebih mudah dari mengetahui kebaikannya, bahkan keburukan diri sendiri. Memang sebuah pertanyaan besar, apakah gw pantas mewakili kalian? Kalian yang paling tahu jawabannya, tapi saat ini gw membutuhkan dukungan dan tanda tangan kalian untuk melancarkan jalan gw menuju kursi legislatif. Gw ga akan mengecewakan kalian.”
Tepat setelah itu, puluhan mahasiswa mendatangi gw dan mengisi daftar nama dan tanda tangan yang gw sediakan. Tapi Indri yang sudah memenuhi berkas persyaratan termasuk kumpulan tanda tangan masih belum puas. Ia kini berdiri di sampingku dan mulai berbicara.
“Stop! Apa yang kalian lakukan? Apa kalian ingin menghancurkan kampus ini dengan mengirim Dicky menuju DPM?”
“Mungkin gw ngga begitu mengerti mata kuliah kewarganegaraan, tapi yang gw tahu negara ini negara demokrasi dan mendukung adalah salah satu hak azasi manusia. Pelarangan terhadap hak azasi berarti pelanggaran HAM berat. Pertanyaannya sekarang, maukah kalian memiliki wakil seperti Indri?”
Dukungan terhadapku semakin banyak, hingga melebihi syarat minimum pengumpulan tanda tangan. Dengan ini aku sudah melengkapi berkas persyaratan dan menuju ke tahap seleksi.
“Kenapa, Dri? Kenapa loe sangat ingin menang?”
“Tidak ada tujuan khusus. Gw cuma ingin memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dari pada loe.”
“Kenapa? Tidak ada yang istiewa dari gw.”
“Ada. Gw tahu loe sangat menyukai perempuan berkedudukan tinggi dan dihormati.”
Ya, benar. Tapi itu sudah lama sekali. Ketika SMA, seorang perempuan yang sangat cerdas dan menduduki posisi wakil OSIS telah memikat hatiku meski ia tidak terlalu cantik. Dan memang benar bahwa alasanku menyukainya adalah karena kedudukannya yang tinggi, cerdas, dan dihormati. Tapi itu sudah lama sekali.
“Gw berharap bisa memikat hati loe dengan kedudukan yang gw peroleh. Gw ingin loe menyukai gw dengan apa yang berhasil gw capai. Tapi setelah hari ini loe pasti tidak akan menyukai gw sedikitpun saja,” kata Indri.
Sejujurnya, aku sudah lama kehilangan selera terhadap perempuan berkedudukan tinggi. Entah dari mana ia mengetahui masa laluku. Dan juga entah apa yang istimewa dariku sehingga ia ingin aku menyukainya. Tapi cinta bukan lagi tujuan hidupku yang paling utama sejak aku kehilangan selera terhadap peremuan jenis demikian. Indri yang biasanya terlihat manis pun kini menjadi terlihat kusam karena sikapnya yang menginginkan kekuasaan, dan diriku.

Love from Europe

Tiga tahun sudah aku berhubungan jarak jauh dengannya. Katharina, atau biasa aku panggil Kathy, adalah perempuan yang aku kenal dari situs komunitas. Kami terus mengadakan kontak selama tiga tahun itu tanpa putus, hingga akhirnya aku bisa menemuinya. Sangat kebetulan sekali aku mendapat beasiswa ke Jerman sehingga aku bisa memenuhi janjiku tahun lalu.
Eropa sedang musim dingin. Jam lima sore sudah seperti jam enam sore di Indonesia. Aku sedang duduk di atas bangku kayu pohon ek di bawah lampu taman yang baru saja menyala. Aku sedang mengenakan pakaian serba hitam, celana panjang, kaus, sweater, serta topi wool. dan aku sedang menjelajah internet lewat laptopku.
Di sekitarku sedang ramai orang-orang yang ingin memanfaatkan taman itu. Ada yang sedang saling membahagiakan bersama pasangannya, seorang ibu yang sedang berjalan-jalan bersama anaknya, dan seorang penyendiri lainnya seperti aku. Hanya saja kesendirianku tidak akan lama, aku akan bertemu Kathy.
Dua jam yang lalu aku mengadakan kontak dengan Kathy secara chatting. Ketikau itu ia masih berada di kantornya dan aku berjanji akan menemuinya di Loeweschwarz Park yang dekat dengan kantor tempatnya bekerja. Dan aku berkata akan mengenakan pakaian serba hitam dan membawa laptop. Ia yang akan mencariku.
Baru dua puluh menit berlalu, akhirnya ia menemukanku. Seorang perempuan dengan sepatu bot tinggi, rok mini, pakaian kerja standar tertutup jaket dengan wajah memerah karena cuaca dingin. Tapi dia memang cantik.
"Andre?" tanyanya kepadaku. Sesungguhnya, ia menyebut namaku.
"Kathy?" tanyaku balik, untuk memastikan saja. Lalu aku berdiri. Tak kusangka aku lebih tinggi.
Ia memang Kathy. aku tahu itu karena ia langsung memelukku segera setelah yakin bahwa akulah yang dicarinya.
'Oh my God, I can't believe this. We finally meet each other," katanya. Meski ia orang Jerman, bahasa Inggrisnya lumayan, terutama sejak ia mengadakan kontak denganku.
"I can't believe it either," jawabku.
Lalu ia duduk di sampingku dan kami mengobrol banyak hal. Tentu saja ada banyak hal untuk dibicarakan, tiga tahun saling mengetahui tapi baru kesempatan bertemu baru saja terwujud. Ya, kami baru saja bertemu, tapi dari sisi pria penyendiri yang sedang membaca buku yang berada tidak terlalu jauh dariku menganggap kami sama seperti pasangan lainnya. Aku memang menyukai Kathy, tapi aku tidak berharap sejauh itu terhadapnya.
Setelah satu jam ia mengajakku pergi ke tempat favoritnya, yaitu bar tempat ia biasa makan, minum, dan bersantai bersama teman-temannya. Aku juga diperkenalkan oleh mereka. Aku hanya bisa berbicara sedikit dialog Jerman seperti "Danke, gut," jika ditanya kabar. Selebihnya aku jawab dengan bahasa Inggris.
Setelah pua smengobrol bersama teman-temannya, Kathy mengajakku duduk di meja bar berdua saja untuk mengobrol bersama dengannya, lagi. Masih banyak hal yang ingin ia bicarakan bersamaku. Aku memesan kopi kental dan ia memesan Lemon Tea. Kopi buatan bar Jerman memang yang terbaik setelah Italia. Dan rasanya semakin enak melebih kopi manapun ketika aku mendengar suara Kathy.
"Andre, how was your feeling when you met me?"
"Actually, I was shocked. The real you is more beautiful than in the pictures."
"That was my feeling too. You look much better than in the pictures."
"Thanks. How's your job?"
"Fine, but still boring. When will you start your study?"
"I'll get studying next week."
Orbolan yang terjadi setelah itu adalah tentang pekerjaannya dan studiku, lalu berkembang menjadi hal-hal lainnya seperti cara hidup di Jerman, tempat wisata, dan lain-lain.
Ada suatu momen di mana teman-teman Kathy ingin bergabung, tapi dengan bahasa Jerman yang tak kumengerti Kathy sepertinya mengusir mereka. Dan ia mengaku demikian kepadaku setelahnya, "I just want to be only with you," katanya. Dan aku agak tersanjung mendengarnya.
Hari semakin malam, tidak terasa jalan di depan bar sudah semakin sepi. kathy juga menyadari itu, waktu menunjukkan hampir jam sepuluh dan esok masih hari kerja.
"Where do you live now?" tanyaku.
"I live in small apartment in Jasmin Street. You?"
"I live in small apartment n Berlin. But here, I stay in my friend's house. Where's Jasmin Street? Is it far from here?"
"No, it's just fifteen minutes walk."
"It's alread late. Let me take you home."
"Ok."
Di jalan, mungkin karena temperatur yang dingin, Kathy menggenggam tanganku dan terkadang memeluknya. Aku tidak keberatan karena atas hal itulah aku juga merasakan kehangatan. Tapi tidak pernah terbayangkan akan sedekat ini dengan perempuan Eropa, meski aku memang mnyukainya. Tapi hanya sebatas itu, tidak lebih.
“Here’s my apartment. So small, isn’t it?” serunya ketika kami sampai di depan suatu bangunan setinggi sekitar dua belas lantai, bertembok hijau muda, dan memang cukup kecil. Bisa dibilang bentuk bangunannya cukup kurus karena tiap lantai hanya terlihat tiga jendela.
Di elevator, kathy masih menggenggam tanganku erat-erat. Erat sekali hingga aku merasa aku adalah miliknya. Hanya satu orang yang pernah melakukan ini terhadapku, dan itu bukan dia. Tapi rasanya sama.
Nomor kamarnya adalah G3. bisa ditebak sistem penomoran yang sederhana itu karena bentuk apartemennya yang kurus ini. Setelah kami berdua sampai di depan kamar benomor G3 itu, ia tidak langsung masuk. Ia masih ingin bersamaku. Ia memegang kedua tanganku erat-erat dan tersenyum kepadaku.
“Would you stay a while with me, here? It’s already late, I’m not sure the buses still there.”
“I can’, my friend is waiting for me. And in the morning I have to get back to Berlin. I can walk to my friend’s house. It’s just thirty minutes walk.”
“It’s far. And I don’t want to say good bye, so...”
Ia lalu mencium bibirku dengan penuh perasaan. Akku bisa merasakannya, ia memang menyukaiku. Mungkin lebih dari itu. Baru lima jam yang lalu aku bertemu dengannya dan sekarang ia menciumku. Tapi secara teknis aku sudah mengenalnya selama tiga tahun, lewat hubungan jarak jauh.
“I’ve been waiting for you, for this day. Tell me that you’ve been waiting for me too,” kata Kathy.
“I’m sorry, Kathy. I can’t. Of course I’ve been waiting for you, but not like this. I’m sorry.”
“Why?”
“I have someone, my beyonce.”
Di wajahnya terlihat ekspresi terkejut. “Oh, it’s OK,” katanya, setelah beberapa detik berusaha untuk mencerna kenyataan itu.
Walaupun ia sudah mengatakan begitu, aku tetap merasa bahwa ia sangat-sangat sedih. Aku bisa melihat dari wajahnya, dan aku juga merasakan apa yang ia rasakan.
“I’m sorry, Kathy.”
“”It’s OK, I’m fine. I’m OK, I can undrstand. I’ve been trying to stand with this loneliness, I’ve been dreaming that some day I will be with you, standing right beside you. I think it will not be true.”
“I’m sorry.”
“It’s OK. Good night.”
Ia segera masuk ke kamarnya tanpa sedikitpun memandangku. Mungkin karena ia tidak ingin aku melihat wajahnya yang sudah terlihat telah dibasahi air mata. Sungguh rasanya sangat berat jika telah membuat seorang perempuan menangis.
Kathy, I love you too. But we suppose to be friends.