Tiga tahun sudah aku berhubungan jarak jauh dengannya. Katharina, atau biasa aku panggil Kathy, adalah perempuan yang aku kenal dari situs komunitas. Kami terus mengadakan kontak selama tiga tahun itu tanpa putus, hingga akhirnya aku bisa menemuinya. Sangat kebetulan sekali aku mendapat beasiswa ke Jerman sehingga aku bisa memenuhi janjiku tahun lalu.
Eropa sedang musim dingin. Jam lima sore sudah seperti jam enam sore di Indonesia. Aku sedang duduk di atas bangku kayu pohon ek di bawah lampu taman yang baru saja menyala. Aku sedang mengenakan pakaian serba hitam, celana panjang, kaus, sweater, serta topi wool. dan aku sedang menjelajah internet lewat laptopku.
Di sekitarku sedang ramai orang-orang yang ingin memanfaatkan taman itu. Ada yang sedang saling membahagiakan bersama pasangannya, seorang ibu yang sedang berjalan-jalan bersama anaknya, dan seorang penyendiri lainnya seperti aku. Hanya saja kesendirianku tidak akan lama, aku akan bertemu Kathy.
Dua jam yang lalu aku mengadakan kontak dengan Kathy secara chatting. Ketikau itu ia masih berada di kantornya dan aku berjanji akan menemuinya di Loeweschwarz Park yang dekat dengan kantor tempatnya bekerja. Dan aku berkata akan mengenakan pakaian serba hitam dan membawa laptop. Ia yang akan mencariku.
Baru dua puluh menit berlalu, akhirnya ia menemukanku. Seorang perempuan dengan sepatu bot tinggi, rok mini, pakaian kerja standar tertutup jaket dengan wajah memerah karena cuaca dingin. Tapi dia memang cantik.
"Andre?" tanyanya kepadaku. Sesungguhnya, ia menyebut namaku.
"Kathy?" tanyaku balik, untuk memastikan saja. Lalu aku berdiri. Tak kusangka aku lebih tinggi.
Ia memang Kathy. aku tahu itu karena ia langsung memelukku segera setelah yakin bahwa akulah yang dicarinya.
'Oh my God, I can't believe this. We finally meet each other," katanya. Meski ia orang Jerman, bahasa Inggrisnya lumayan, terutama sejak ia mengadakan kontak denganku.
"I can't believe it either," jawabku.
Lalu ia duduk di sampingku dan kami mengobrol banyak hal. Tentu saja ada banyak hal untuk dibicarakan, tiga tahun saling mengetahui tapi baru kesempatan bertemu baru saja terwujud. Ya, kami baru saja bertemu, tapi dari sisi pria penyendiri yang sedang membaca buku yang berada tidak terlalu jauh dariku menganggap kami sama seperti pasangan lainnya. Aku memang menyukai Kathy, tapi aku tidak berharap sejauh itu terhadapnya.
Setelah satu jam ia mengajakku pergi ke tempat favoritnya, yaitu bar tempat ia biasa makan, minum, dan bersantai bersama teman-temannya. Aku juga diperkenalkan oleh mereka. Aku hanya bisa berbicara sedikit dialog Jerman seperti "Danke, gut," jika ditanya kabar. Selebihnya aku jawab dengan bahasa Inggris.
Setelah pua smengobrol bersama teman-temannya, Kathy mengajakku duduk di meja bar berdua saja untuk mengobrol bersama dengannya, lagi. Masih banyak hal yang ingin ia bicarakan bersamaku. Aku memesan kopi kental dan ia memesan Lemon Tea. Kopi buatan bar Jerman memang yang terbaik setelah Italia. Dan rasanya semakin enak melebih kopi manapun ketika aku mendengar suara Kathy.
"Andre, how was your feeling when you met me?"
"Actually, I was shocked. The real you is more beautiful than in the pictures."
"That was my feeling too. You look much better than in the pictures."
"Thanks. How's your job?"
"Fine, but still boring. When will you start your study?"
"I'll get studying next week."
Orbolan yang terjadi setelah itu adalah tentang pekerjaannya dan studiku, lalu berkembang menjadi hal-hal lainnya seperti cara hidup di Jerman, tempat wisata, dan lain-lain.
Ada suatu momen di mana teman-teman Kathy ingin bergabung, tapi dengan bahasa Jerman yang tak kumengerti Kathy sepertinya mengusir mereka. Dan ia mengaku demikian kepadaku setelahnya, "I just want to be only with you," katanya. Dan aku agak tersanjung mendengarnya.
Hari semakin malam, tidak terasa jalan di depan bar sudah semakin sepi. kathy juga menyadari itu, waktu menunjukkan hampir jam sepuluh dan esok masih hari kerja.
"Where do you live now?" tanyaku.
"I live in small apartment in Jasmin Street. You?"
"I live in small apartment n Berlin. But here, I stay in my friend's house. Where's Jasmin Street? Is it far from here?"
"No, it's just fifteen minutes walk."
"It's alread late. Let me take you home."
"Ok."
Di jalan, mungkin karena temperatur yang dingin, Kathy menggenggam tanganku dan terkadang memeluknya. Aku tidak keberatan karena atas hal itulah aku juga merasakan kehangatan. Tapi tidak pernah terbayangkan akan sedekat ini dengan perempuan Eropa, meski aku memang mnyukainya. Tapi hanya sebatas itu, tidak lebih.
“Here’s my apartment. So small, isn’t it?” serunya ketika kami sampai di depan suatu bangunan setinggi sekitar dua belas lantai, bertembok hijau muda, dan memang cukup kecil. Bisa dibilang bentuk bangunannya cukup kurus karena tiap lantai hanya terlihat tiga jendela.
Di elevator, kathy masih menggenggam tanganku erat-erat. Erat sekali hingga aku merasa aku adalah miliknya. Hanya satu orang yang pernah melakukan ini terhadapku, dan itu bukan dia. Tapi rasanya sama.
Nomor kamarnya adalah G3. bisa ditebak sistem penomoran yang sederhana itu karena bentuk apartemennya yang kurus ini. Setelah kami berdua sampai di depan kamar benomor G3 itu, ia tidak langsung masuk. Ia masih ingin bersamaku. Ia memegang kedua tanganku erat-erat dan tersenyum kepadaku.
“Would you stay a while with me, here? It’s already late, I’m not sure the buses still there.”
“I can’, my friend is waiting for me. And in the morning I have to get back to Berlin. I can walk to my friend’s house. It’s just thirty minutes walk.”
“It’s far. And I don’t want to say good bye, so...”
Ia lalu mencium bibirku dengan penuh perasaan. Akku bisa merasakannya, ia memang menyukaiku. Mungkin lebih dari itu. Baru lima jam yang lalu aku bertemu dengannya dan sekarang ia menciumku. Tapi secara teknis aku sudah mengenalnya selama tiga tahun, lewat hubungan jarak jauh.
“I’ve been waiting for you, for this day. Tell me that you’ve been waiting for me too,” kata Kathy.
“I’m sorry, Kathy. I can’t. Of course I’ve been waiting for you, but not like this. I’m sorry.”
“Why?”
“I have someone, my beyonce.”
Di wajahnya terlihat ekspresi terkejut. “Oh, it’s OK,” katanya, setelah beberapa detik berusaha untuk mencerna kenyataan itu.
Walaupun ia sudah mengatakan begitu, aku tetap merasa bahwa ia sangat-sangat sedih. Aku bisa melihat dari wajahnya, dan aku juga merasakan apa yang ia rasakan.
“I’m sorry, Kathy.”
“”It’s OK, I’m fine. I’m OK, I can undrstand. I’ve been trying to stand with this loneliness, I’ve been dreaming that some day I will be with you, standing right beside you. I think it will not be true.”
“I’m sorry.”
“It’s OK. Good night.”
Ia segera masuk ke kamarnya tanpa sedikitpun memandangku. Mungkin karena ia tidak ingin aku melihat wajahnya yang sudah terlihat telah dibasahi air mata. Sungguh rasanya sangat berat jika telah membuat seorang perempuan menangis.
Kathy, I love you too. But we suppose to be friends.
Selasa, 09 September 2008
Love from Europe
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar