Minggu, 13 Juli 2008

Hanya Ingin Bertemu

Baru sehari aku menginjakkan kaki di asrama kampus, aku sudah memikirkan si dia. Dia bukan kekasihku, hanya seseorang yang sangat aku impikan. Sudah enam tahun tidak bertemu. Ya, bisa ditebak bahwa terakhir kali aku bertemu dengannya adalah pada perpisahan kelulusan SD.
Tapi sekarang aku punya kesempatan untuk bertemu denganya, tapi aku belum tahu caranya. Aku melihat namanya di daftar mahasiswi yang masuk kampusku. Ia tinggal di asrama putri, sepuluh menit berjalan kaki dari asrama putra. Tapi putra tidak bisa begitu saja masuk ke asrama putri. Sambil terbaring di tempat tidurku di asrama, aku terus memikirkan hal itu.
Lalu aku teringat, aku memiliki teman perempuan di asrama putri. Aku hubungi saja dia.
“Jeng, apa kabar?”
“Langsung aja deh. Pasti ada maunya.”
“Iya. Gw mau minta tolong. Gw ingin loe berteman dengan perempuan yang bernama Neva. Setidaknya cari tahu nomor ponselnya deh.”
“Kenapa?”
“Dia cinta pertama gw. Pasti ngga sulit untuk orang yang agak ekstrovert seperi loe.”
“Ekstrovert? Apaan tuh?”
“Bukan apa-apa. Bisa, kan?”
Ajeng terdiam sebentar, lalu berkata “Gw ngerti. Gw dapet hadiah apa?”
“Nasi goreng, sampai delapan ribu rupiah.”
“Plus kentang goreng dan es krim.”
Dalam hati aku mengutuk Ajeng yang seenaknya saja menambah syaratnya. Tapi bertemu Neva lebih penting dari pada kehilangan lima belas ribu. “OK, tapi setelah gw bertemu dengannya.”
“Itu bisa diatur.”
Aku sangat mengandalkan Ajeng. Dia memang perempuan yang mudah mencari teman, walaupun agak gendut. Tapi dia sebenarnya enak untuk diajak bicara, dan orangnya fleksibel. Dia bisa beradaptasi dengan kondisi pertemanan apapun juga.
Satu hari berlalu, dan aku belum mendapat kabar dari Ajeng.
“Jeng, bagaimana?”
“Gw masih mencarinya. Orangnya pergi melulu, jarang berada di asrama.”
“Begitu ya.”
“By the way, dia itu seperti apa sih?”
“Yang gw tahu dan kemungkinan masih benar, dia orang yang sangat cantik, kaya raya, suka senyum, dan suaranya merdu. Selain itu, gw ngga tahu karena sudah enam tahun ngga bertemu.”
“Sejak SD dong? Cinta monyet tuh.”
“Bukan, gw yakin bukan.”
“Terserah loe deh. Bye.”
Benar, dia sangat cantik. Tapi terakhir kali bertemu dengannya, yang sangat aku ingat adalah ia perempuan yang sangat ceria, lugu, dan baik hati. Rasa ingin tahunya juga tinggi. Tapi manusia bisa berubah seiring waktu menempa. Aku harap ia tidak berubah, aku menyukai dirinya yang dulu.
Hari berikutnya.
“Bagaimana, Jeng?”
“Gw lagi jalan bareng dia,” jawabnya sambil bisik-bisik.
“Di mana?”
“Di pasar raya. Dia baik banget mau mentraktir semua temanya, termasuk gw.”
“Ya udah. Semoga sukses.”
Pasar Raya, adalah seperti festival yang berlangsung tujuh hari dua puluh empat jam. Ketika malam lebih ramai. Makanan di sana memang murah, tapi bagi penghuni asrama masih cukup mahal karena harus bertahan hidup dulu sampai kiriman orang tua yang selanjutnya datang. Bagi Neva tidak demikian. Dan ia memang cukup baik
Hari berikutnya, dua hari menjelang hari kuliah pertama. Dan aku semakin ingin bertemu dengannya.
“Jeng, ada celah ngga untuk bertemu dengannya?”
“Bisa. Jam enam besok pagi kita mau lari pagi. Loe stand by aja di depan asrama putri besok.”
“OK, tapi loe harus on time.”
“Belum tentu. Namanya perempuan pasti perlu dandan dulu, bahkan sebelum lari pagi.”
“Sialan.”
Dan sesuai instruksinya, aku stand by di depan asrama putri esok paginya. Mengenakan kaus tanpa lengan warna putih dan celana bela diri warna hitam, aku berusaha untuk terlihat mencolok. Thanks to teman sekamar yang mau meminjamkan celana panjangnya.
Sambil berpura-pura instirahat aku duduk di depan asrama putri. Agar tidak bosan menunggu aku mendengarkan musik lewat MP3 player. Aku tahu aku terlalu cepat, tapi lebih baik begitu dari pada terlambat.
Aku bisa melihatnya. Itu Neva! Astaga, dia semakin cantik, semakin dewasa. Benar-benar perempuan idaman seluruh pria. Dan ia masih menyukai warna merah cerah, seperti warna pakaian yang sedang dikenakannya. Model rambutnya tidak berubah, masih pendek seperti dulu.
Ajeng memberi aba-aba untuk mencegatnya
“Hai Neva,” sapaku.
“Hai.”
Aku seperti kesulitan bicara. Siapa yang tidak jika berhadapan dengannya?
“Kita pernah bertemu?” tanyanya.
“Ya. Masih inget kan?” aku tak mampu menjelaskan siapa diriku. Aku benar-benar grogi.
Neva masih berusaha mengingat siapa aku, tapi sepertinya tidak berhasil. “Berikan aku satu petunjuk.”
“Teman SD, jarang mengerjakan PR, sering terlambat, jahil, dekil, tidak disukai guru.”
“Itu bisa siapa saja.”
“Di lapangan sepak bola, ketika itu ada seseorang yang menyelamatkan loe dari bola yang mengarah ke loe, dan loe tetap menangis.”
“Dan ketika itu orang itu membelikan aku permen agar aku diam. Andre?”
“Iya.”
Tepat setelah itu seorang pria besar, lebih besar dariku, memeluk tubuh Neva yang mungil dari belakang, sambil menyapa “Hai sayang.”
“Hai,” balasnya dengan suara yang merdu sekali, yang aku harap untukku. Tapi bukan. Itu adalah kekasihnya, yang juga masuk kampus sama. Tubuhnya yang kecil seolah tertelan oleh pria besar itu.
“Dre, kalau ngga ada urusan yang penting, aku pergi dulu ya?”
“Ya.”
Ia dan kekasihnya lalu pergi berolah raga bersama, meninggalkan aku dan Ajeng. Mereka terlihat sangat bahagia. Aku sangat ingin berada di sisinya, aku bersumpah akan membahagiakannya dengan sepenuh hati melebihi siapapun. Tapi itu akan sangat sulit terwujud, aku tahu itu.
“Sabar ya, Dre.”
“Ya.”
“Traktirannya jadi, kan?”
“Ya. Gw hanya ingin bertemu dengannya saja kok.”