Selasa, 27 Mei 2008

No Pain No Gain

Sudah dua hari aku menyendiri seperti ini. Dua tahun berpisah adalah waktu yang cukup lama. Dan sesungguhnya, cukup lama bagiku untuk melupakannya dan memulai yang baru.
Di taman hijau Square du Vert-Galant yang terletak di ujung barat Ile de la Cite di sungai Seine aku berdiri menatap angsa Inggris yang sedang menikmati jernihnya sungai Seine. Pemandangan yang indah itu bisa melupakan rasa bimbangku untuk sesaat hingga Julia hadir di sisiku.
“Kebiasaan lama, ya?” kata Julia. “Kamu selalu mencari taman seperti ini. Entah di Jakarta, di Paris.”
“Apa yang kamu inginkan?”
“Sudah kebiasaan kamu juga untuk bicara langsung tanpa basa-basi seperti ini. Karena kamu bertanya, akan aku jawab. Aku ke sini untuk mencari kamu, Alex.”
Tangannya mulai menggerayangi tanganku.
“Sudah lama kita tidak seperti ini, sejak, ...”
“Sejak Carlos,” selaku, sebelum ia mengatakan hal yang tidak benar.
“Benar,” akunya. “Tidak heran kamu masih mengingatnya. Aku tahu saat itu aku yang salah. Aku sangat menyesal. Dan aku tidak marah kalau kamu mencari pelarian, asalkan itu bisa membuatmu memaafkan aku. Dan aku tahu kamu melakukannya. Sekarang, maukah kamu memaafkan aku?”
“Kamu tahu bagaimana perasaanku ketika itu?”
“Dan apa kamu tahu apa yang aku rasakan saat ini? Selain sakit hati aku juga menangis dalam hati memohon maaf kamu.”
Aku mulai menghindari tubuhnya secepatnya. Dan aku harap dengan berpindah sejauh lima kaki aku bisa berhenti mendengar suaranya. Semua hal ini sangat membuatku merasa bersalah, di saat aku berharap sebaliknya.
“Aku ingin kamu tahu, aku masih mencintai kamu,” katanya. “Berikan aku petunjuk untuk mengetahui perasaanmu terhadapku.”
Aku berdiam sebentar setelah mendengar pengakuannya terhadapku. Aku berpikir sejenak memikirkan apa yang bisa aku katakan. Cinta? Sudah dua tahun aku tidak mengenali tanda-tandanya.
Tapi Julia secara fisik tidak berubah. Ia masih cantik dengan mata indah yang dulu selalu aku tatap. Rambut yang selalu diikat simpel sangat cocok untuknya. Gaya berpakaiannya juga demikian. Ia sangat suka rok pendek dan kaus lengan panjang atau tanpa lengan dan terkadang dengan headscarf yang selalu menggantung. Hanya sepatu yang berubah. Aku tak pernah melihatnya memakai sepatu bot di Jakarta. Wajar saja, karena ini musim gugur.
Tapi lebih dari fisik yang indah itu, ia tetap dengan semua hal yang aku sukai. Ia selalu bicara lebih banyak dari yang aku lakukan dan tidak pernah menyembunyikan isi hatinya, terutama kepadaku.
Dan aku ragu untuk menerimanya lagi. Sudah terlalu sakit hati ini dan aku meragukan kesetiannya. Karirnya sebagai presenter televisi internasional sangat menggoda setiap pria yang mengenalnya.
“Aku juga menginginkan kehidupan kita kembali seperti dulu,” kataku. Dan aku bisa melihat senyum sekilasnya itu.
“Sudah lama sekali. Sudah lama sekali kita tidak bersama. Dan aku sangat senang kamu mengatakan itu. Aku juga ingin kehidupan kita yang dulu kembali.”
“Walau itu menyakitkan?”
“Seberapapun menyakitkan hal itu, akan aku lalui demi bisa bersamamu lagi. Tanpamu, tak ada lagi yang lebih menyakitkan.”
Kata-katanya sangat berarti. Aku bisa melihat keseriusannya. Tapi masih ada yang membuatku ragu. Mungkin ini masalah subjektif, pelarianku masih berlanjut.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Aku harus pergi. Aku harus mengajar.”
“Apakah kamu akan kembali?”
“Ya.” Aku jawab demikian dengan keraguan.
“Aku akan menunggu hingga kamu datang.”
Dua minggu yang lalu ia hadir di depan mukaku dalam sebuah acara diskusi yang dipandunya dan diselenggarakan oleh sebuah stasiun TV internasional Prancis tempatnya bekerja. Karirnya begitu cemerlang hingga mereka merekrutnya jauh-jauh dari Indonesia.
Sedangkan aku? Sudah dua tahun aku menjadi pengajar di Paris University. Sebagai doktor di bidang Biologi aku sangat ingin menurunkan ilmuku. Dan aku selalu mengatakan “No Pain No Gain” kepada seluruh muridku untuk menggambarkan seluruh kerja keras yang aku lakukan bahkan hingga saat ini.
Dan menjadi dosen di kota ini memang benar-benar membuatku lupa sesaat kepada Julia. Apalagi selama di Paris aku menjalin hubungan dengan dosen yang lebih “junior”. Sebagai dosen pindahan, sebelum di Paris aku telah mengajar tujuh tahun sembari meraih gelar doktorku.
Dan perempuan Paris itu bernama Katherine. Rambut panjang lurus, senyum menawan, dan sikapnya sangat anggun. Ia sering dikira mahasiswa karena selain dari gaya berpakaiannya, ia terlihat sepuluh tahun lebih muda dari usianya yang telah menginjak dua puluh delapan tahun. Aku saja terkejut setelah mengetahui ia hanya tujuh tahun lebih muda dari pada aku.
Dan aku senang hari ini Katherine mengajar. Aku tidak ingat ia mengajar mata kuliah apa. Ia dosen di fakultas Engineering jurusan Environment Engineering. Gedung yang bersebelahan memungkinkan kami untuk bertemu setiap saat. Dan setidaknya seminggu sekali kami secara tidak sengaja hanya berdua saja di lift dalam gedung rektorat, seolah sudah ditakdirkan demikian.
Tapi kali ini kami bertemu di kafetaria.
“Hi Katherine,” sapaku.
Ia tidak menjawab sapaanku. Ia perlu membawa nampannya ke meja yang sudah dikuasai teman-temanya. Ia sedang marah. Ia tahu mantan kekasihku datang dan menginterupsi kehidupannya. Mereka sudah beberapa kali bertemu di kampus ini dan di tempat lain secara tidak sengaja, tapi perkenalannya di kampus ini. Hubungan kami sangat harmonis sebelum Julia datang. Mungkin akan tetap demikian seandainya aku menjawab pertanyaannya itu, pertanyaan bahwa apakah aku masih mencintai Julai atau tidak. Hingga kini aku tidak pernah menjawabnya.
Dan aku tidak bisa duduk bersamanya. Teman-temannya jelas-jelas tidak menyukai hubungan ini sebelumnya. Dan ketika hubungan ini menjadi seperti ini, mereka tetap menatapku seperti itu, karena aku telah menyakiti Katherine. Apapun yang terjadi pada hubungan ini mereka akan tetap seperti ini.
Hubungan antara dosen “senior” dan “junior” seperti ini seolah dilarang karena dapat menyebabkan kolusi dalam pembagian riset. Dan faktanya, Biologi dan Environment memang saling terkait.
Tapi faktanya lagi, aku baru bekerja sama dengannya dalam dua riset yang keduanya mengenai peran bioteknologi dalam lingkungan. Dan aku memilihnya karena aku tidak bisa mencari yang lebih baik mengenai lingkungan selain ia memiliki mahasiswa terbaik, meski, ya, itu terjadi setelah aku memulai hubungan itu.
Aku tidak bisa berdiri selamanya seperti ini tanpa tanggapan apapun dari Katherine. Sepertinya ia tidak akan menatapku seperti yang selalu ia lakukan padaku dulu.
Tapi itu menjadi tidak benar setelah aku mendengar teriakan Mrs. Bell, rekan kerjaku di fakultas yang sama, di gedung rektorat sesaat sebelum aku naik lift. Terlihat tidak ada hubungannya karena ia selalu meneriakkan kebenciannya terhadap kerja kerasku meski tetap sebagai teman, tapi benar itu terjadi setelah ia berseru “Go home, you research digester!” Itu cukup beralasan karena aku sering kali mengambil riset yang masih lowong hingga hampir tidak ada kesempatan untuk yang lain.
“I’m already in love with Paris!” balasku. Dan fakta bahwa hampir tak ada dosen yang bekerja pada jam tiga sore membuat apapun yang aku lakukan terlihat aneh.
Pintu lift akhirnya terbuka. Kosong. Aku masuk, tapi segera menghentika pintu lift begitu tahu akan ada yang masuk. Katherine. Ia cukup ragu untuk masuk karena keberadaanku, tapi aku pun ragu ia akan menggunakan tangga.
“I can use stairs if you mind,” kataku. Tapi ia terlihat tidak keberatan satu lift denganku.
Di kota Paris ini, lift gedung rektorat adalah yang paling lambat. Bahkan lift khusus pasien di Paris Central Hospital masih lebih cepat. Tapi aku tidak peduli. Aku bisa lebih lama bersamanya, dan aku bersyukur untuk itu.
“I’m going to 8th. You?” kataku di second floor.
“Listen to me,” katanya tiba-tiba. “I’m tired. My energy seems gone away! My student has drugs problem, another just had an abortion, and another again has extreme scores degradation. But hating you is the most tiring thing in my life!”
Ia lalu terisak di hadapanku, ketika lift menyentuh lantai tiga. Lambat sekali. Dan aku tak bisa berkata apa-apa hingga lantai empat, hingga ia menciumku. Ciuman itu bertahan satu lantai, tapi terasa seperti selamanya karena aku bisa merasakan penderitaannya dan rasa sakit hatinya.
“Don’t leave me,” pintanya dalam pelukanku. Tapi sepertinya akan ada banyak kata-katanya yang tak bisa aku balas atau aku jawab.
“I’m going to seventh, file room,” katanya sambil menekan angka tujuh di lift pad.
Tak ada lagi kata-kata hingga ia keluar dari lift.
Ternyata urusanku di lantai delapan tidak lama. Hanya melihat progres para dosen dan aku masih di urutan pertama dalam beberapa hal dan secara keseluruhan. Aku lupa apa urusanku yang sebenarnya di lantai ini, tapi sepertinya tidak penting. Aku segera turun lewat tangga menuju lantai tujuh, menemui Katherine. File room terletak di sebelah tangga.
Setelah melewati izin karyawan yang selalu berdiam di ruang itu dengan mencantumkan nama, jabatan, dan tanda tangan, aku bisa masuk. Dan aku temukan Katherine sedang berada di depan komputer.
Aku menyapa dan dia balas menyapa. Rasanya seperti pertama kali. Dan dia bilang sebentar lagi ia usai. Ia juga bertanya mengapa aku berada di file room.
“I’m here for you,” jawabku.
Ketika itu kami seperti kembali seperti dulu. Bisa aku lihat dari senyumnya, perasaannya terhadapku telah kembali tanpa aku melakukan sesuatu terhadapnya selain menyapa dan menerima ciumannya. Aku tidak menghitung kehadiranku di file room ini demi dirinya.
Setelah itu kami berdua turun dari gedung rektorat bersama-sama. Bahkan kenyataannya ia mengundangku ke kediamannya. Dan aku setuju di tempat.
Kami sampai tepat ketika hujan turun. Rumahnya sangat besar dan ia tinggal sendiri di tempat itu. Kedua orang tuanya sudah meninggal sebelum ia menjadi pengajar dan itu adalah rumah warisan orang tuanya.
Hari tidak berakhir secepat itu. Ia memasak karena tahu aku orang yang cepat lapar. Meski sering mengaku ia bukan orang yang jago memasak aku selalu dengan senang hati memakan apapun yang dimasaknya. Ia tahu aku sangat menyukai apapun yang terbuat dari sayuran dan hewan air.
“Sandwich with smoked salmon, fried onion ring, dan veggies, your favorite!” serunya sambil menyajikan. Pasti akan sangat menyenangkan jika aku bisa tinggal bersamanya selamanya.
“How’s the sandwich?”
“Great, as usual.”
Ia menerima pujianku dengan senyuman yang sangat aku sukai itu.
Dan hingga sandwich itu habis, kami hanya membicarakan riset, mahasiswa, dan segala kehidupan di kampus. Hingga ia beranjak menuju ke dapur setelah merapikan meja makan. Sambil menunggunya aku berdiri di balkon dan melihat halaman luas yang hampir tidak terurus itu. Katherine hanya sempat menyingkirkan sampah-sampah. Hujan masih turun meski tidak sederas sebelumnya.
“Alex, would you live with me?” tanyanya ketika hadir di sisiku.
Pertanyaan yang lagi-lagi sangat sulit untuk aku jawab.
“I’m still not really sure with my own feeling,” kataku. Aku sudah membuatnya sedikit bimbang dengan kata-kata itu.
“I saw you this morning. When I was in Ponts des Arts, I saw you and Julia in Square du Vert-Galant. Do you still love her?”
Lagi-lagi aku teringat dengan Julia, yang justru menambah keraguanku terhadap Katherine.
“Listen to me, Katherine. We can’t make it. I don’t think we can. I like you, you have to know that. But I still doubt my own feeling. I never doubt how much you love me. You are the best thing in my life, and you are too good for me. Don’t be mine, I’m a faith-ass guy.”
Aku segera meninggalkan Katherine dan pergi ke suatu tempat. Sudah jam enam sore dan matahari sudah tak terlihat. Dan hujan turun makin deras.
Di tengah jalan aku membeli payung. Aku terus jalan menuju Square du Vert-Galant. Selama di jalan aku teringat dengan Julia dan kata-katanya tadi pagi. Ia sangat mengharapkanku. Dulu aku pernah berjanji akan menepati semua janjiku terhadapnya. Di Paris aku tak pernah membuat janji apapun, terutama dengan Katherine.
Aku masih melihat Julia di taman di sungai Seine itu. Ia masih menungguku hingga basah kuyup dan tanpa menangis. Aku baru pertama kali melihatnya sekuat ini. Hujan masih turun dan ia masih menatapku seperti itu, tidak berubah, masih dengan rasa cinta.
“Aku pernah bilan aku kaan terus menunggumu hingga kamu datang,” katanya setelah aku menghampirinya.
Aku duduk di sampingnya untuk melindunginya dari tetesan hujan sambil berkata “Walau menyakitkan?”
“Ya. Dan seharusnya kita sudah puas saling menyakiti satu sama lain.”
Aku memberinya pelukan hangat. Tangisnya mulai terdengar dan sangat menyayat hatiku. Seharusnya aku juga menangis.
Lampu taman mulai menyala. Hingga hujan berhenti aku merenungkan diriku sendiri. Akulah yang paling bersalah dalam hal ini. Aku sangat keterlaluan. Ia hanya menyakitiku satu kali, tapi aku selain menyakitinya dengan menjalin hubungan dengan Katherine, ia juga memohon kepadaku untuk kembali kepadanya. Dan kini, ia tidak keberatan disakiti lagi hingga aku bisa memaafkannya.
Aku tak bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik. Akan sangat keterlaluan bila aku tidak menerima Julia sekali lagi.

Senin, 12 Mei 2008

Cinta, Akankah Aku Berubah?

Aku tak mengerti apa yang terjadi padaku. Sesuatu datang, hendak merasuki dan meracuniku. Tapi aku tak bisa menolaknya. Ini seperti candu.
Tahu apa aku soal candu? Aku bukan anak kedokteran, hanya perempuan tomboy 19 tahun yang kuliah di teknik mesin. Dan yang merasukiku adalah cinta, hal yang tak bisa kujelaskan tapi bisa kurasakan. Seharusnya aku masuk psikologi.
Adalah Alex, laki-laki tampan bertubuh kekar berusia 20 tahun yang juga orang teknik mesin. Dua hari yang lalu ia mengajakku jalan dengannya. Dan sudah hampir jam delapan malam, atau sepuluh menit lagi ia akan datang. Aku butuh waktu! Dua hari terlalu cepat. Aku harap dia tidak datang tepat waktu.
Biasanya aku santai dikejar deadline bertenggat dua jam sekalipun. Tapi kali ini beda. Alex, terlalu tampan untukku. Aku harus berubah untuknya, menjadi lebih feminim. Dan dua hari terlalu cepat untukku karena aku tak tahu caranya menjadi perempuan!
“Vi, kita mau lihat hasilnya,” kata temanku, Fina, sambil mengetuk pintu kamar kostku.
Aku harap Fina, Zen, Alisha, Frida, dan Yeni tidak tertawa melihatku. Tapi aku juga tak mengharapkan pandangan aneh yang telah mereka lakukan saat melihatku.
“Apa yang salah, ya Zen?” tanya Fina.
“Ngga tahu deh. Make up nya sudah bener.”
“Gw tahu yang salah, yaitu semua make up ini dan keinginan loe untuk berubah,” kata Alisha.
Alisha, adalah perempuan tercantik di kost putri ini. Dia kuliah Sastra Jepang di universitas berbeda. Meski begitu dia adalah mantannya Alex. Aku berpikir ia mengatakan ini karena aku adalah alasan Alex putus dengannya.
“Loe ngga ngomong begini untuk menjatuhkan gw, kan?” tanyaku.
“Vi, loe tahu ngga alasan ia memilih gw dulu? Karena gw di Sastra Jepang, yang menurutnya unik. Tapi kini gw sadar ada yang lebih unik, yaitu loe yang tomboy. Cewek satu-satunya di Teknik Mesin,” katanya sambil menghapus lipstik di bibirku.
“Gw setuju dengan Alisha. Selama ini perempuan sering mempercantik diri untuk mencari perhatian pria. Dan loe satu-satunya cewek yang gw kenal ngga berpikiran seperti itu,” kata Yeni memberi dukungan.
“Itu unik,” kata Frida.
“Loe semua salah. Laki-laki mengejar kecantikan. Begitu juga Alex.”
“Apa yang membuat loe lebih mengenal Alex dibanding Alisha yang sudah lima bulan bersamanya?” tanya Zen.
“Gw ngga peduli. Gw cuma mau lebih cantik dari sekarang! Kalo ngga ada yang mau bantuin gw, ngga apa-apa. Gw bisa sendiri.”
“Gw bantuin loe, meski sebenarnya gw setuju dengan Alisha. Gw hanya ngga mau loe lebih aneh dari sekarang,” kata Frida.
“Thanks Frid.”
Aku tak mau ingin kaca di hadapanku saat Frida merias diriku. Ini pertama kalinya seseorang meriasku. Bahkan pertama kalinya aku ingin dirias.
“Vi, mereka benar. Secantik apapun loe dirias, loe akan tetap terlihat aneh. Karena semua orang sudah terbiasa dengan loe yang dulu, tomboy. Image itu ngga akan bisa hilang,” komen Frida padaku.
Semakin lama mereka semakin mempengaruhiku. Kenapa mencintai saja bisa seperti ini?
“Vi, Alex datang?” kata Zen.
Aku semakin berdebar. Baru pertama kalinya aku seperti ini. Kenapa aku seperti ini?
“Frid, udah selesai kan?” tanyaku.
“Loe yakin ngga mau bercermin dulu?”
“Ngga sempet ah.”
Alasan aku menghindari cermin sebagian besar karena aku tidak sabar. Dan sebagian lagi karena aku tak ingin menjadi yang pertama melihat diriku. Nanti saja setelah mendapat dukungan dari yang lain.
Aku membuka pintu. Bisa kulihat Alex datang dengan gayanya yang seperti biasa: rambut berantakan, dagu yang perlu dicukur, kaus tanpa lengan, dan sedikit bau keringat. Dan ia sedang bicara dengan Alisha. Sepertinya sudah selesai. Aku hanya mendengar suara berbau maaf dari Alex.
“Hai Alex,” sapaku.
“Hai. Loe,.. agak berubah ya?”
Bahkan Alex pun berpandangan aneh padaku. Semakin aneh saat mendekatiku. Apa rok jeansnya yang salah?
“Lex, gw cantik kan sekarang?”
Alex malah tertawa aku bertanya seperti itu. Aku percaya tak ada yang salah dengan riasanku. Frida tak mungkin mempermainkanku. Ia sendiri sudah biasa mendandani Alisha.
“Vi Natasha. Loe aneh. Loe kira gw mau ngajak loe dinner? Bioskop? Ke taman? Ngga, Vi,”
“Ke mana?”
“Vi. Gw juga pernah seperti loe. Gw yang dulu terbiasa berantakan seperti sekarang pernah mencoba berubah karena mencintai seseorang cewek,” katanya sambil melirik Alisha. “Tapi itu sia-sia. Untuk apa berubah bila orang menjadi tidak mengenali kita?”
Barisan kalimat Alex mempengaruhiku sekali. Entah harus berkata apa lagi. Aku hanya bisa berkata “Terus, kita mau ke mana?”
“Ke laut. Sana ganti baju loe.”
Aku menurutinya. Aku ke kamarku untuk mengganti pakaianku. Pakaian yang biasa aku kenakan, jeans dan kaus, tanpa make up.
“Jadilah diri sendiri. Itu yang terbaik,” katanya saat menerima aku yang biasa terlihat di matanya. Kini matanya berbeda. Tampaknya aku tahu bagaimana pandangan seseorang yang mencintaiku.