Selasa, 17 Februari 2009

Brown Haired Boy

Di suatu siang di stasiun yang ramai, aku baru saja keluar dari kereta subway. Aku berjalan ditemani suhu udara yang panas, karena itulah aku menuju mesin penjual minuman.
Ada dua belas jenis minuman kaleng yang bisa aku beli. Terkadang aku sulit dalam memilih ketika aku dihadapkan oleh banyak pilihan walau aku ingat apa yang sering aku minum.
Ketika aku masih dalam keadaan bingung dengan pilihan-pilihan itu, ehembus angin lewat di belakangku. Itu berarti ada orang yang baru saja lewat dekat punggungku. Ya, memang ada. Seorang laki-laki berambut coklat dengan tubuh yang agak kurus baru saja berjalan melewatiku lalu ke mesin penjual minuman yang kedua yang bersebelahan denganku.
Pada awalnya aku tak peduli hingga satu kaleng yang ia pilih dengan cepat keluar dari mesin. Ia membukanya, lalu meminumnya. Dan tanpa sengaja mata kami bertemu.
Sebagai perempuan, aku merasa mata coklat itu sanga menarik.
Aku mengedipkan sebelah mataku sebagai ucapan ‘hai’, tapi ia malah menoleh ke belakang karena mengira aku mengedip ke orang selain dia. Wajah lugunya menandakan bahwa ia tidak bisa berkata apa-apa.
Setelah menekan tombol untuk memilih satu jenis minuman kaleng aku menggerakkan jariku untuk menyuruhnya mendekatiku. Ia hanya tersenyum aneh sambil benar-benar berjalan mendekatiku, dengan langkah yang agak kaku.
Aku tidak mengerti mengapa aku melakukan ini. Ada sesuatu yang menarik pada dirinya. Aku pun tahu ia juga menginginkanku.
Sepanjang hari hingga malam aku bersamanya. Aku tahu ia meluangkan waktu untukku seperti yang aku lakukan untuknya. Dan selama itu pula ia masih bertingkah malu-malu seolah aku adalah seniornya dan aku seperti tante genit yang menggoda remaja. Tapi aku yakin bahwa ia lebih muda dariku.
Tapi perpisahan harus selalu ada mengiringi suatu pertemuan, dan tidak aku sangka akan secepat ini.
“Aku harus pergi sekarang. Sesuatu telah terjadi,” katanya setelah menerima telepon.
“Tapi kita bisa bertemu lagi kan?”
Ia diam. Aku berharap ia mengatakan sesuatu.
“Aku mengetti,” kataku. Lalu aku memberikannya ciuman yang lembut di bibirnya. Ia tidak menampakkan ekspresi apapun selain suatu ekspresi yang menunjukkan bahwa itu adalah ciuman pertamanya. “Dengan begini kita memiliki ikatan.”
Lalu tiba saatnya ia benar-benar pergi. Tapi sebelum pergi, ia mencium tanganku dengan lembut. “Ia sudah belajar banyak dariku,” bisikku dalam hati. Ia sudah agak berubah dari laki-laki lugu dan pemalu menjadi sesuatu yang lain. Tapi aku tetap menginginkannya.
Dan langkahnya mulai bergerak menjauhiku dengan begitu cepat. Aku tak ingin menyadari bahwa itu sedang terjadi.
Keesokan harinya aku ke stasiun subway seperti hari kemarin. Aku ingin menemuinya lagi. Lalu aku menuju mesin penjual minuman kaleng yang sama, tapi ia belum datang. Maka aku menunggunya sambil duduk di bangku panjang yang berada di depan mesin penjual minuman kaleng dan menenggak satu kaleng minuman yang aku beli dari mesin itu. Aku meminumnya perlahan-lahan.
Satu jam aku telah menungggu. Setiap orang yang lewat di depanku. Setiap orang yang lewat di depanku, setiap laki-laki yang membeli minuman di mesin itu aku perhatikan terus karena mungkin itu adalah dia.
Dua jam berlalu, tapi dia belum muncul. Betapa bodohnya aku, tidak menanyakan alamat rumah atau nomor teleponnya, atau apapun yang bisa membuatku bisa bertemu dengannya lagi. Aku terlalu yakin ia dan aku akan bertemu lagi.
Tanpa aku sadari aku telah melepaskan air mata. Seharusnya sih tidak. Aku merasa tidak punya alasan untuk itu. Entahlah, aku tidak tahu.
Aku meninggalkan tempat itu dengan segera meski masih ada keinginan untuk menunggunya. Aku merasa telah melakukan hal yang sia-sia.
Tiga tahun kemudian aku sedang menunggu kereta yang menuju ke tempat kerjaku. Aku berdiri menghadap rel karena lima menit lagi keretaku akan datang jika sesuai jadwal.
Tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang dan mencium bahuku yang terbuka. Lalu ia membisikkan namaku dengan lembut, dan aku segera mengetahui siapa itu. Pria berambut coklat itu, yang sudah tiga tahun ak tunggu.
Aku berbalik dan menciumnya sebagai balasan. Tapi lebih lama karena aku telah menunggunya sangat lama. “Ada banyak hal yang harus kita bicarakan,” kataku.
“Ya,” jawabnya.

This Is For The Lonely

“This is for the lonely,” itulah tulisan yang tertempel di meja yang menemani dua bangku di kantin sekolahku. Sudah jelas itu untuk siapa. Untukku, satu-satunya orang yang sedang sendiri di kantin. Yang lain tidak sendiri, sudah berpasang-pasangan.
Akupun membuka bungkusan burger dari paket bernama “This is for the lonely.” Ya, ada banyak ejekan untuk mereka yang sendiri, padahal rasanya sama saja. Tidak hanya tertempel di meja kantin dan bungkusan burger, tapi juga minuman tetrapack. Yang tidak berlabel tulisan menyebalkan itu memiliki dua lubang dan dua sedotan. Sudah jelas apa maksudnya.
Lagipula, ada enaknya juga sendirian. Tak perlu membagi minuman. Satu gelas untuk sendiri. Dan aku tak ingin mengaku tidak sendiri. Itu akan merusak harga diriku. Bukan berarti aku ingin sendiri, tapi sepertinya aku kaum adam terakhir yang single.
Kelas hari ini telah selesai. Aku meraih mobilku, di tempat parkir bertuliskan “This is for the lonely.” Tempat parkir paling sempit meski muat untuk beberapa mobil. Tapi itu tempat parkir paling sepi.
Mungkin sebentar lagi ada jalur khusus untuk the loneliers, pikirku ketika mengendarai mobil menuju rumah. Untungnya hanya sekolahku yang mendewa-dewakan cinta. Belum tersebar ke seluruh dunia. Belum.
“You can sop this.”
“Not with you.”
Pembicaraan itu selalu terjadi antara aku dengan Jenny, perempuan cantik yang menginginkanku. Padahal ia pun tak ingin menyandang status single dengan bersanding dengan pria yang tak diinginkannya. Sudah jelas mengapa aku tak menginginkannya. Aku tak ingin perempuan yang hanya menginginkan status bahkan bila dia sangat menyukaiku. Aku ingin perempuan yang memiliki harga diri.
Tapi satu hari yang membuat hidupku berbeda. Ketika aku memarkir mobilku di pagi hari, aku melihat ada mobil lain yang parkir di tempat aku biasa parkir. Aku tahu itu mobil perempuan, karena aku berpikir bahwa, pria macam apa yang mempunyai sedan berwarna pink candy?
Dan masalahnya, hampir mustahil ada perempuan bermobil berstatus lonely. Bahkan yang jelek sekalipun.
Aku berusaha membuang jauh segala spekulasi dan bergegas menuju kelas fisika. Setiap meja di setiap kelas ini dibuat untuk dua bangku, sehingga sudah jelas apa maksudnya. Tapi ada meja khusus untukku dengan stiker itu walau bangkunya tetap dua. Itu untuk menunjukkan bahwa aku benar-benar sendiri.
Lalu perempuan cantik dengan rambut sebahu, tubuh yang mungil, dan berpenampilan selayaknya siswi SMU mendekati mejaku. Lalu ia duduk di sampingku.
“Sorry, girl. Don’t you read this?” kataku sambil menunjuk stiker itu.
“I do.”
Setelah merapikan tas dan seragamnya, ia tersenyum kepadaku sambil berkata, “When you think you are lonely, actually you aren’t. Hi, I’m Clara. I’m a new student here. Nice to meet you.”
Aku tidak pernah berpikir bahwa aku tidak sendiri. Keberadaannya membuatku optimis. Kami masih jauh lebih baik dari pada mereka yang menyembunyikan perasaannya dan kenyataan.

Rabu, 07 Januari 2009

Say, Kamu Masih Hidup?

Jam sembilan malam aku masih sibuk dengan laptopku di rumah pribadiku, membuat rancangan bangunan irigasi. Sudah sekitar satu jam mataku terpaku hingga cahaya ponselku yang deringnya aku matikan mengembalikanku ke dunia nyata. ‘3 New Messages’ tampak pada layar. Aku tidak menyadari sudah tiga pesan menungguku.
Ketiga pesan itu berasal dari nomor yang aku beri nick name ‘MyLuv’. Dia adalah kekasihku yang sangat cantik yang begitu mudah aku dapatkan. Itu karena ia perempuan yang aneh, yang setelah lima menit kenalan langsung mengajak makan siang. Mungkin juga aku terlalu hebat dalam mendekati perempuan. Lalu ia menyadari kebiasaan buruknya itu keluar, tapi aku langsung mengiyakan sebelum ia berubah pikiran.
Memang begitu mudah. Ia hanyalah mantan pramugari yang yang sulit menjalin hubungan karena terlalu sering terbang keliling dunia melintasi perbedaan waktu yang mengganggu jam tidurnya. Aku pun kencan dengannya ketika ia masih bekerja. Meski terlalu mudah aku mendapatkannya, aku tidak begitu saja melepaskannya. Aku menemukan sesuatu dalam dirinya yang mengindikasikan bahwa ia memang ada hanya untukku.
By the way, dari tiga pesan yang baru aku sadari ada itu yang paling pertama berisi ‘Say,kmu lg ngap ni?bls y’, sebuah pesan yang pasti dikirimnya ketika ia ingat kepadaku atau ketika ia sedang bosan. Tapi aku tidak pernah bosan selama ia menempatkan kata ’Say’ di awal.
Pesan kedua berisi ‘Say,kmu msh hdup kn?kq ga dbls?’ yang juga selalu dikirimnya ketika dalam waktu 10 menit SMS sebelumnya belum dibalas.
Pesan ketiga berisi ‘Say,aq makin khwtr ni.Ksh kbr dunk klo kmu msh hdup’ yang jarang aku lihat karena biasanya langsung aku balas keika SMS kedua datang.
Bukan membalasnya tapi aku justru menelponnya.
“Tom!” serunya. Padahal aku menelponya untuk mendengar suara merdunya sembari aku istirahat dari pekerjaanku. Dan aku juga ingin menanyakan sesuatu.
“Ya, ini aku. Sorry ya aku tidak sempat membalas. Aku sibuk, dan aku tidak tahu ada SMS dari kamu.”
“Tidak apa-apa. Yang penting kamu masih hidup.” Suaranya mulai merdu, tapi aku tidak lupa apa yang ingin aku tanyakan meski aku sedang menikmati suara merdunya.
“Say, aku boleh nanya sesuatu?”
“Tanya apa?”
“Kenapa kamu selalu bertanya ‘Say, kamu masih hidup’ ketika aku belum membalas SMS kamu?”
“Apakah salah kalau aku bertanya seperti itu? Aku hanya khawatir.”
Jawabannya tidak memuaskanku.
“Jadi, kamu sedang apa nih?”
“Aku sedang menyelesaikan rancangan bangunan irigasi yang baru. Pasti kamu ngga akan mengerti.”
Dan pembicaraan kami berlanjut hingga ia merasa lelah dan mulai mengantuk dan aku bisa menyelesaikan rancanganku hingga tengah malam. Sejak ia berhenti menjadi pramugari ia menjadi mudah tidur.
Di suatu pagi yang cerah, embun pagi terasa begitu tebal dan dingin karena semalam hujan lebat sekali. Terdengar banyak sekali kicauan burung dari atas pohon yang tinggi dan lebat di samping rumahku karena musim kawin sudah lewat dan telur-telur sudah menetas. Setiap tahun aku menikmati momen itu.
Entah kenapa aku tiba-tiba teringat Catherine. Semalam selepas pulang dari seminggu kerja di area pembangunan irigasi di antah berantah aku berkunjung ke apartemennya dan mengajaknya jalan-jalan. Ia sangat senang karena akhirnya bisa melepas rindunya.
Aku mengirim pesan yang berisi ‘Say, smlm aq bhgia bgt.Aq tahu kmu mkn syg.Klo kmu puny wktu temani aq y’. Tanpa memperdulikan apakah pesan itu terbalas atau tidak aku kembali membuka laptopku untuk bekerja lagi.
Jam sebelas siang denah plus rancangan tiga dimensi bagian irigasi yang aku kerjakan itu selesai juga. Heran, aku bisa bekerja di hari libur tanpa sedikitpun gangguan dari Catherine. Hal itu hampir tidak pernah terjadi. Aku memeriksa ponsel untuk memastikan kebenaran itu, tapi tidak ada pesan baru ataupun missed call. Apakah aku harus mengirim pesan ‘Say, kamumasih hidup?’ seperti yang biasa dilakukannya? Aku rasa tidak.
Tapi aku sungguh khawatir, seperti ketika ia menunggu SMS dariku.
Maka aku tidak mengirim pesan kedua. Aku lebih memilih menunggu balasan darinya sambil makan siang.
Kadang aku menyesal memiliki rumah yang halamannya luas dan terpencil letaknya. Aku kesulitan mencari makan siang. Tapi itu semua karena aku ingin memenuhi hasrat engineer dalam diriku. Itu pula sebabnya aku tinggal sendiri meski aku tahu restoran fast food terdekat berjarak satu setengah kilometer jauhnya.
Dengan menggunakan electric car yang sumber energinya dipasok oleh solar panel yang terinstal di atap dan kap mobil aku menjangkau makan siangku, burger isi fillet ikan dengan ekstra sayuran seperti biasanya.
“Are you Tom?” sepecah suara menyapaku. Suaranya memang bisa membuat kaca pecah. Itu adalah suara perempuan yang menjadi terbiasa berbahasa inggris akibat pekerjaannya. Itulah Anne, perempuan cerewet yang merupakan sahabat Catherine dan masih bekerja sebagai pramugari.
“Hai Anne, long time no see.”
“Six months.”
“What are you doing here?”
“Having lunch.”
“I can see that, but you don’t live around here.”
“I just want to have lunch.”
Keberadaan Anne memang sering tidak jelas apa alasannya kecuali jika ia sedang berada di luar negeri karena bertugas. Tapi kebetulan aku memang membutuhkannya. Aku langsung mengajaknya duduk semeja.
“I need to ask you something.” Aku tidak sadar menjadi ikut-ikutan ber-English ria.
“What?” tanyanya dengan mulut penuh kentang goreng dan potongan burger.
“Why does she keep asking me like this?” tanyaku sambil menunjukkan SMS berisi pesan ‘Say, kamu masih hidup?’ dari Catherine.
“Who is ‘MyLuv’? Do you have girlfriend? Congratulations! Finally, after long time, ...”
“It’s Catherine, idiot.”
“Oh, Catherine.”
Tiba-tiba wajahnya menjadi serius. Tapi entah apakah itu ekspresinya ketika bengong atau bukan. Sepertinya ia sedang mengingat hal-hal yang berhubungan dengan itu. Aku harap ia segera mendongengkannya sebelum makan siangku habis.
“Once upon a time after the flight 217, her twelfth flight, she met a handsome and busy businessman. The guy was helping her picking her fallen purse.”
“How do you know itu so detail?”
“She told me.”
Ya, seharusnya aku tidak heran. Ia memang selalu menceritakan apapun. “Keep going.”
“They talked to each other after the ‘thank you scene’. And probably five minutes later she asked for a dinner.”
Itu kebiasaannya. Bahkan ia masih melakukannya pada pria lain dan aku maklum saja.
“She had six months beautiful affair, but it wasn’t as beautiful as her nine months with you. The guy, loved to go around the world for his business, abandoning her. You know, money makes everyone so egoistic and selfish. And also she had flights. Having once a week to hug each other had made her a luckiest woman ever.”
“Then, what was going on?’
“One day, she sent a message. It wasn’t replied. She sent more, but for a whole day he didn’t reply all of her messages.”
“What was going on?”
“He had an aircrash in the morning, but his cellphone remained active for a whole day. The location of the crash was unknown. When she watched the news about it she ran to the police department and told that they could detect his cellphone signal through her cellphone. And because of her the body of the plane was found, but no one suvived.”
“So that’s why she likes to send me the message like this.”
“She doesn’t want it happens to you. The plane crashed by the failure of navigation system, and perhaps the cellphone causing it. It’s the lesson for us to turn off the cellphone when on the flight.”
“But why she hasn’t replied my message since morning. She has no flight today.”
“Look.”
Tangannya menunjuk ke televisi restoran itu yang menayangkan peringatan satu tahun kecelakaan pesawat yang tragis itu.
“The day was exact one year ago.”
“I can see that.”
Anne segera mengajakku ke pemakaman tempat Catherine mungkin berada. Jaraknya memang cukup jauh, dan dipastikan Catherine bisa di sana seharian mengingat emosinya yang labil. Aku cukup tahu tentangnya. Itulah sebabnya begitu mudah bagiku untuk membuatnya bahagia.
Pemakaman yang sangat luas dan hijau itu sangat memukau, terhias oleh banyak batu nisan yang artistik dan pohon-pohon besar.
“There she is.”
Aku segera mengerem dan mundur sedikit untuk menyembunyikan mobil ini dari pandangan Catherine. Aku tak ingin Catherine tahu aku berada di dekatnya. Alasannya ditanyakan oleh Anne tapi aku malas menjawabnya.
Lalu aku segera mengeluarkan ponselku dan menulis pesan untuknya. Isinya, ‘Say, klo kmu msh hdup ksh kbr dunk. Aq khwtr ni’. Pesan terkirim dan aku segera melihatnya dari kejauhan diam-diam untuk melihat reaksinya.
Dengan ekspresi datar ia meraih ponsel yang telah menyadarkannya entah dengan dering atau getar. Tas tangannya dibuka, ponselnya diangkat, dan ia seharusnya mulai girang jika tahu itu SMS dariku. Tapi yang aku lihat justru ekspresi terkejut. Ia juga menangis sedikit. Pasti itu bagian setelah ia membaca pesanku.
Ia langsung menghubungiku.
“Hai sayang,” sapaku.
“Hai. Sorry ya aku belum membalas. Aku sedang banyak masalah.”
“Ingin bicara?”
“He-eh.’
“Aku tunggu di rumahku.”
Catherine segera meninggalkan batu nisan itu dengan terburu-buru. Aku juga harus meninggalkan tempat itu segera sebelum ia melihatku.
“Sorry Anne, we’re end here,” kataku kepada Anne setelah sampai di persimpangan.
“You want to leave me in front of graveyard?”
“At least I don’t leave you inside. Sorry, I’m in a rush.”
Anne keluar dari mobilku sambil berkata “Thank you,” dengan nada sedikit marah.
“I got to prepare my house for the presence of Catherine.”
Aku langsung melajukan mobil elektrikku yang low noise ini. Aku masih bisa mendengar Anne berseru “Good luck,” meski sudah cukup jauh.
Begitu sampai di rumah, aku sadar aku tak tahu apa yang harus kupersiapkan. Rumahku sudah cukup rapi. Mungkin perlku diberi sedikit aroma harum agar Catherine betah. Tapi aku tahu ia betah hanya karena aku.
Catherine tiba. Aku langsung melihat senyumnya dan merasakan pelukannya segera setelah melihatku. Tapi setelah itu aku melihat dua butir air mata.
“Aku masih hidup, sayang.”
“Ya, aku tahu.”

I'm Late

“Oh my God, I’m late!” seruku.
“Shiv, loe mau ke mana?” kekasihku menyeru dari belakang sambil mengejarku.
“Teman gw sudah menunggu.”
Di depan ruang kuliah, dengan memakai pakaian serba hitam, MP3 player tersambung dengan earphone di telinganya, dan game portable di tangannya, ia tidak akan bosan menunggu teman yang ngaret, bahkan aku yang sudah sering ngaret ini.
“Lex, sorry gw telat lagi.”
Sahutanku menyadarkannya dan langsung melepas earphone di telinga kanannya. Lalu ia melihat jam dan berkata “Baru sepuluh menit telat.” Ia berkata demikian karena mayoritas teman-temannya ngaret lebih lama dari itu.
“Shiv, siapa nih?”
Aku lalu mengenalkan Kevin, kekasihku, kepada Alex. Tapi entah mengapa Kevi dengan segera memproklamirkan diri sebagai kekasihku di depan Alex. Hal itu memang benar, tapi itu terkesan sombong. Aku benci sekali ketika ia mulai menyombongkan diri, seolah ia adalah yang terbaik.
Aku harap musik yang sedang didengar Alex cukup keras sehingga ia tidak mendengar Kevin menyombongkan diri.
Alex adalah manusia yang paling sedikit menunjukkan ekspresinya, apapun yang terjadi.
Aku pernah berkhayal Alex menyukaiku. Itu terjadi bukan tanpa alasan.
Seminggu yang lalu Alex mengantarku pulang. Aku yang merupakan perempuan yang sangat biasa saja diantar pulang oleh Alex yang terkenal di kelas karena sikapnya yang dingin tetapi sangat cerdas. Ketika itu ia tak tahu Kevin ada dan memilikiku. Sikapnya yang ditunjukkan kepadaku adalah sikap yang cukup hangat, seolah aku lupa bahwa ia adalah orang yang biasa bersikap dingin.
Tak heran ketika itu aku merasa ia menyukaiku. Tapi kali ini ia kembali dingin dan sedikit ekspresi.
“Jadi, mau belajar apa?”
Suara berat Alex mengagetkanku ketika aku, Kevin, dan dia berjalan ke koridor fakultas untuk mencari tempat yang tepat untuk belajar. Ya, ia akan mengajariku karena ujian sudah dekat. Aku memintanya ketika ia mengantarku pulang minggu lalu.
“Mekanika Fluida ya? Gw ngga biasa main air sih.” Aku berusaha melucu agar Alex menjadi sedikit ‘hangat’, tapi sia-sia. Mungkin karena itu semua perhatian yang diberikan Kevin kepadaku sepanjang jalan terasa hambar.
Pantaskah aku berpikir Alex sedang cemburu? Untuk perempuan yang sangat biasa saja, beruntung sekali jika aku bisa disukai dua pria yang luar biasa. Kevin merupakan anak orang kaya, banyak temanku iri karena ia memilikiku.
Tapi Kevin memang pria yang brengsek. Hingga penjelasan prinsip Bernoulli oleh Alex selesai Kevin terus menggangguku dengan alasan sedang butuh perhatian. Tentu saja ia tidak mengerti apa-apa tentang prinsip Bernoulli, ia hanya mahasiswa ilmu komputer.
Dua jam kemudian, aku sudah merasa jenuh dengan semua rumus Mekanika Fluida ini.
“Lex, thanks ya. Loe pasti kesel banget karena gw ngga fokus,” gara-gara Kevin.
“Ada yang lebih buruk dari loe.”
Berarti aku bukan murid pertamanya. Aku tidak heran, ia memang pria yang sangat cerdas. Dan kabarnya ia juga mengajar di bimbel SMA.
Alex pergi duluan meninggalkan aku dan Kevin. Ia terlihat terburu-buru. Kini aku dan Kevin punya sesuatu untuk dibicarakan.
“Kevin! Gw ngga suka!”
“Apa?”
“Kenapa ketika gw sedang belajar loe mengganggu gw?”
“Lalu kenapa? Sepertinya itu berhasil?”
“Hah?”
“Dia terlihat jealous.”
“Maksud loe apa?”
“Jangan menghindar lagi. Gw tahu seminggu yang lalu ia yang mengantar loe pulang.”
Aku terdiam sebentar memahami arti kata-katanya. Aku boleh mengatakan bahwa ia mengada-ada. Tapi sesungguhnya ia hanya merasa terancam dengan keberadaannya. Jika aku menjadi berubah haluan, itu karena aku tahu siapa yang lebih pantas untuk dicintai. Dan sebenarnya sikapnya itu menunjukkan kelemahan terbesarnya.
“Jadi selama ini gw salah menilai loe.”
“Maksud loe apa, Shiv?”
“Loe lebih tahu siapa diri loe sebenarnya, dan loe merasa terancam dengan keberadaannya? Gw jadi sadar siapa kini yang lebih pantas dicintai.”
“Mungkin gw harus menyegarkan kembali ingatan kecil loe bahwa gw yang membiayai kuliah loe di sini, gw yang menyumbang di banyak panti asuhan tiap bulan atas nama loe, dan rumah yang loe tempati adalah atas nama keluarga gw. Seharusnya loe berpikir sebelum berbicara seperti itu.”
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi jika mengenai hal itu. Harusnya aku sadar, mencintai seseorang secara berlebihan memang salah, apalagi aku telah mengorbankan banyak hal untuk mencintainya.
“You won me for now, Kevin.” Aku mengalah, dan ia menguasaiku lagi.
Ia telah berubah. Aku tak peduli ke arah mana aku pergi saat ini. Memikirkan itu malah membuatku sadar aku telah terkurung di dalam penjara yang mengapung.
Seminggu kemudian aku dan Kevin terjebak di depan mini market oleh hujan deras dan tanpa payung. Aku dan Kevin sedang berbelanja untuk keperluan malam tahun baru. Kami tidak akan terjebak seperti ini jika Kevin tidak menunjukkan egonya dengan membaw motor balap kebanggaannya dan tidak membawa mobilnya.
Dan sudah dua jam kami terjebak oleh hujan, tapi Kevin malah asik dengan handphonenya, membicarakan bagaimana cara membuang uang yang cepat di weekend ini. Sebenarnya bukan itu topiknya, tapi di telingaku terdengar seperti itu.
Dan aku kedinginan. Kevin yang sedang memakai jaket motornya tidak sadar bahwa aku sedang memakai kaus yang tipis dan itu karena permintaannya.
Tiba-tiba Alex lewat di hadapan kami, membawa payung dan sweater hitam. Meski hujan deras, angin tidak kencang sehingga masih memungkinkan bagi manusia untuk berjalan-jalan dengan sebuah payung.
Alex berhenti di depan kami dan menawarkan payungnya.
“Tapi loe sendiri bagaimana?”
“Sebentar lagi teman gw datang.”
Karena aku tidak dengan segera merespon tawarannya, Alex memberikan payung itu kepada Kevin. Tanpa keraguan serta tanpa satupun kata terucap, ia mengambilnya.
“Shiv, ayo,” seru Kevin, memerintahkanku untuk segera pulang karena payung sudah tersedia.
“Thanks ya, Lex.”
“Tunggu, Shiv.”
Aku menahan langkahku. Alex melepas sweaternya dan memberikannya kepadaku. Betapa malunya aku menerima perhatian dari orang lain yang bukan kekasihku sendiri, tapi seharusnya Kevin lebih malu. Tapi tidak terlihat ekspresi apapun dari wajah Kevin yang kini terlihat lebih hina bagiku. Bahkan Alex rela berkorban demiku dengan hanya memakai kaus tanpa lengan berdiri di mini market meneduh karena hujan.
Malam ini aku tahu siapa yang lebih pantas untuk dicintai, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Kevin adalah makhluk yang paling hina yang aku tahu, tapi aku tak memikirkan itu saat ini. Aku sedang meratapi nasibku yang tak bisa merasakan cinta yang aku inginkan.
Jam sembilan malam aku akhirnya bisa sendirian di rumah. Kevin menjagaku hingga jam tidurku, tapi aku tak ingin tidur hingga hal yang seharusnya aku lakukan terlaksana. Setelah Kevin pergi aku bisa melakukannya.
Aku harus menghubungi Alex, yang tak bisa aku lakukan jika Kevin berada di dekatku.
“Halo, Lex. Gw mengganggu ga?”
“Ngga tuh. Gw belum tidur. Kenapa?”
“Loe lagi ngapain?”
“Menyelesaikan sketsa saluran air.”
“Tuh, kan. Gw mengganggu.”
“Malam masih panjang. To the point aja, ada apa?”
“Gw mau berterima kasih atas kebaikan loe kemarin. Dan gw mau minta maaf atas sikap Kevin yang tidak tahu malu itu.”
“Dia punya malu, tapi ia mencintai loe.”
“Maksud loe?”
“Dia sebenarnya punya malu. Tapi karena ia mencintai loe, dia tidak peduli dengan itu. Dia tidak ingin menahan loe lebih lama karena hujan.”
“Tapi, ia enggan menyerahkan jaketnya.”
“Ia sedang membaw laptop, iya kan? Ia tidak ingin laptopnya rusak karena hujan. Bukankah di laptop itu berisi kenangan kalian berdua?”
Aku merasa ia hanya mengada-ada. Kenapa setiap laki-laki suka mengada-ada? Tapi entah mengapa hal ini membuatku meneteskan air mata. Entah karena sikap rendah diri Alex atau karena aku tak bisa memilikinya?
“Seandainya kita bertemu dua tahun lebih awal, apakah ada kesempatan bagi loe untuk menyukai gw?”
“Gw yakin itu tidak, karena sejak tiga tahun lalu gw sudah memiliki seseorang yang sangat pantas untuk dicintai.”
Dalam sekejap aku merasakan sakit, dan mungkin akan permanen. Ini adalah rasa sakit yang sesungguhnya. Ternyata selama iniaku salah sangka. Tapi aku sudah terlanjur merasakan sakit.
Seandainya ketika itu ia tidak mengantarku pulang. Semua hal yang serba indah selalu aku awali dengan seandainya bila itu belum terlaksana. Semakin dirasakan tidak mungkin jika aku mengawalinya dengan pengertian lampau.
“Ok kalau begitu. Sorry sudah mengganggu.”
Aku diam sebentar. Malam ini akan menjadi sangat panjang bagiku. Mungkin ini adalah hukuman karena aku terlambat.