“This is for the lonely,” itulah tulisan yang tertempel di meja yang menemani dua bangku di kantin sekolahku. Sudah jelas itu untuk siapa. Untukku, satu-satunya orang yang sedang sendiri di kantin. Yang lain tidak sendiri, sudah berpasang-pasangan.
Akupun membuka bungkusan burger dari paket bernama “This is for the lonely.” Ya, ada banyak ejekan untuk mereka yang sendiri, padahal rasanya sama saja. Tidak hanya tertempel di meja kantin dan bungkusan burger, tapi juga minuman tetrapack. Yang tidak berlabel tulisan menyebalkan itu memiliki dua lubang dan dua sedotan. Sudah jelas apa maksudnya.
Lagipula, ada enaknya juga sendirian. Tak perlu membagi minuman. Satu gelas untuk sendiri. Dan aku tak ingin mengaku tidak sendiri. Itu akan merusak harga diriku. Bukan berarti aku ingin sendiri, tapi sepertinya aku kaum adam terakhir yang single.
Kelas hari ini telah selesai. Aku meraih mobilku, di tempat parkir bertuliskan “This is for the lonely.” Tempat parkir paling sempit meski muat untuk beberapa mobil. Tapi itu tempat parkir paling sepi.
Mungkin sebentar lagi ada jalur khusus untuk the loneliers, pikirku ketika mengendarai mobil menuju rumah. Untungnya hanya sekolahku yang mendewa-dewakan cinta. Belum tersebar ke seluruh dunia. Belum.
“You can sop this.”
“Not with you.”
Pembicaraan itu selalu terjadi antara aku dengan Jenny, perempuan cantik yang menginginkanku. Padahal ia pun tak ingin menyandang status single dengan bersanding dengan pria yang tak diinginkannya. Sudah jelas mengapa aku tak menginginkannya. Aku tak ingin perempuan yang hanya menginginkan status bahkan bila dia sangat menyukaiku. Aku ingin perempuan yang memiliki harga diri.
Tapi satu hari yang membuat hidupku berbeda. Ketika aku memarkir mobilku di pagi hari, aku melihat ada mobil lain yang parkir di tempat aku biasa parkir. Aku tahu itu mobil perempuan, karena aku berpikir bahwa, pria macam apa yang mempunyai sedan berwarna pink candy?
Dan masalahnya, hampir mustahil ada perempuan bermobil berstatus lonely. Bahkan yang jelek sekalipun.
Aku berusaha membuang jauh segala spekulasi dan bergegas menuju kelas fisika. Setiap meja di setiap kelas ini dibuat untuk dua bangku, sehingga sudah jelas apa maksudnya. Tapi ada meja khusus untukku dengan stiker itu walau bangkunya tetap dua. Itu untuk menunjukkan bahwa aku benar-benar sendiri.
Lalu perempuan cantik dengan rambut sebahu, tubuh yang mungil, dan berpenampilan selayaknya siswi SMU mendekati mejaku. Lalu ia duduk di sampingku.
“Sorry, girl. Don’t you read this?” kataku sambil menunjuk stiker itu.
“I do.”
Setelah merapikan tas dan seragamnya, ia tersenyum kepadaku sambil berkata, “When you think you are lonely, actually you aren’t. Hi, I’m Clara. I’m a new student here. Nice to meet you.”
Aku tidak pernah berpikir bahwa aku tidak sendiri. Keberadaannya membuatku optimis. Kami masih jauh lebih baik dari pada mereka yang menyembunyikan perasaannya dan kenyataan.
Akupun membuka bungkusan burger dari paket bernama “This is for the lonely.” Ya, ada banyak ejekan untuk mereka yang sendiri, padahal rasanya sama saja. Tidak hanya tertempel di meja kantin dan bungkusan burger, tapi juga minuman tetrapack. Yang tidak berlabel tulisan menyebalkan itu memiliki dua lubang dan dua sedotan. Sudah jelas apa maksudnya.
Lagipula, ada enaknya juga sendirian. Tak perlu membagi minuman. Satu gelas untuk sendiri. Dan aku tak ingin mengaku tidak sendiri. Itu akan merusak harga diriku. Bukan berarti aku ingin sendiri, tapi sepertinya aku kaum adam terakhir yang single.
Kelas hari ini telah selesai. Aku meraih mobilku, di tempat parkir bertuliskan “This is for the lonely.” Tempat parkir paling sempit meski muat untuk beberapa mobil. Tapi itu tempat parkir paling sepi.
Mungkin sebentar lagi ada jalur khusus untuk the loneliers, pikirku ketika mengendarai mobil menuju rumah. Untungnya hanya sekolahku yang mendewa-dewakan cinta. Belum tersebar ke seluruh dunia. Belum.
“You can sop this.”
“Not with you.”
Pembicaraan itu selalu terjadi antara aku dengan Jenny, perempuan cantik yang menginginkanku. Padahal ia pun tak ingin menyandang status single dengan bersanding dengan pria yang tak diinginkannya. Sudah jelas mengapa aku tak menginginkannya. Aku tak ingin perempuan yang hanya menginginkan status bahkan bila dia sangat menyukaiku. Aku ingin perempuan yang memiliki harga diri.
Tapi satu hari yang membuat hidupku berbeda. Ketika aku memarkir mobilku di pagi hari, aku melihat ada mobil lain yang parkir di tempat aku biasa parkir. Aku tahu itu mobil perempuan, karena aku berpikir bahwa, pria macam apa yang mempunyai sedan berwarna pink candy?
Dan masalahnya, hampir mustahil ada perempuan bermobil berstatus lonely. Bahkan yang jelek sekalipun.
Aku berusaha membuang jauh segala spekulasi dan bergegas menuju kelas fisika. Setiap meja di setiap kelas ini dibuat untuk dua bangku, sehingga sudah jelas apa maksudnya. Tapi ada meja khusus untukku dengan stiker itu walau bangkunya tetap dua. Itu untuk menunjukkan bahwa aku benar-benar sendiri.
Lalu perempuan cantik dengan rambut sebahu, tubuh yang mungil, dan berpenampilan selayaknya siswi SMU mendekati mejaku. Lalu ia duduk di sampingku.
“Sorry, girl. Don’t you read this?” kataku sambil menunjuk stiker itu.
“I do.”
Setelah merapikan tas dan seragamnya, ia tersenyum kepadaku sambil berkata, “When you think you are lonely, actually you aren’t. Hi, I’m Clara. I’m a new student here. Nice to meet you.”
Aku tidak pernah berpikir bahwa aku tidak sendiri. Keberadaannya membuatku optimis. Kami masih jauh lebih baik dari pada mereka yang menyembunyikan perasaannya dan kenyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar