Jumat, 25 April 2008

My Tale

Tengah malam ia datang.
Membawa black forest dengan 17 buah lilin berwarna pink terang.
Tepat di malam Sabtu. Ia rela datang dari jauh hanya untuk merayakan ultahku. Dia tampan sekali malam ini. Dan kami merayakan pesta saat itu juga, berdua, dengan pengawasan mommy tentunya.
Ronny bukan orang asing buat mommy. Justru aku yang merasa mommy mengenalnya lebih dulu dari pada aku. Keluarga kami memang cukup dekat. Wajar bila aku merasa bahwa aku dijodohkan, apalagi setelah pengalamanku yang pertama ketahuan mommy.
Whatever has happened, I love him anyway.
“Happy birthday, hani,” katanya sambil menciumku. Mencium pipiku tentunya, bukan bibir. Seandainya ngga ada mommy.
“Thanks, beib,” jawabku sambil tersenyum. Aku tahu senyumanku adalah baterai untuk nyawanya. Ia pernah bilang, senyumanku amat manis.
Tepat setelah aku meniup semua lilin yang lucu dan menggoda itu, aku mendengar bel berbunyi. Dia datang, masa laluku. Tengah malam ini ia berusaha untuk menemuiku. Aku tahu itu sangat berat untuknya.
Ia tidak berbuat apa-apa, tapi ia seperti sedang menghalangi bayangan masa depanku dan berusaha menarikku untuk mengalami masa itu lagi. Syukurlah aku masih bisa menyadari apa yang sedang terjadi meski ku akui, itu sangat rumit. Sesaat pandanganku buyar oleh masa lalu.
Itulah Indra, masa laluku. Dia datang tidak sendiri. Bersama Dimas , ia datang membawa sebuah kado. Kado berukuran gede banget, yang membuatku penasaran apa isinya.
“Happy birthday, Eska,” katanya sambil memberi kado. Suaranya begitu lemah. Aku tak merasakan semangat cintanya. Bila saja ia masih milikku, mengecupku tak akan menjadi hal yang luar biasa baginya. Tapi sekarang baginya itu adalah hal yang mustahil. Saat itu aku hanya bisa memberi senyuman manisku, yang seolah seperti permintaan maaf. Aku mengerti itu tidak cukup untuknya. Ditambah lagi ia telah melihat Ronny, masa kini dan masa depanku.
Memikirkan itu, tiba-tiba pikiranku melayang ke masa lalu.
Oktober 4 tahun lalu. Sebelumnya bagiku ia hanyalah atlet basket sekolah yang dekil dan sering berantem. Tidak terlalu ganteng. Tapi entah kenapa aku menukar kata-kata cintanya dengan ‘iya’-ku.
Aku percaya saat itu ada sesuatu yang membuatku mengatakan iya, tapi aku tak tahu apa. Semakin lama aku bersamanya aku semakin penasaran. Dan kulalui itu semua melawan ejekan teman-temanku mengenai hubunganku dengannya.
“Eska, loe pantas mendapatkan yang lebih baik.”
“Eska, kenapa dia?”
“Eska, putusin dia gih. Cari yang lain. Mau gw kenalin?”
Masih banyak deh rentetan penolakan teman-temanku mengenai hubunganku dengannya. Semakin lama itu semakin mempengaruhiku, hingga akhirnya aku berani selingkuh setelah 6 bulan bersamanya.
Dan itu ketahuan olehnya. Aku masih bisa mengingat dengan jelas momen itu.
“Eska, gw tahu gw bukan apa-apa dibandingkan semua cowok yang loe kenal. Kalau loe ngga mencintai gw lagi, cukup bilang aja. Gw bisa terima walau gw harus merasakan pedih. Gw tulus mencintai loe.“
Air mataku keluar. Mataku sudah berkaca-kaca mendengarnya memohon seperti itu. Mungkin aku hampir menangis. Tapi sesungguhnya, aku tahu, hatinya menangis lebih deras dariku. Seolah saat itu aku merasakan setitik pedihnya. Aku tak tahu kenapa aku tega.
Aku seperti ingin memarahi diri sendiri. Dia tulus mencintaiku. Dia setia. Mungkin hanya sedikit yang seperti dia.
Mungkin itu yang membuatku memilihnya.
Dan kuputuskan untuk tetap bersamanya.
Tapi itu tak berlangsung selamanya. Beberapa bulan yang lalu, mommy mengetahui hubunganku dengannya, dan mommy tidak menyetujuinya. Masalah utama adalah perbedaan agama. Masalah ini satu-satunya yang ku punya dan tak bisa dipersalahkan. Why mom? Why?
However, she’s my mommy.
“Dra, sorry. Ini perintah mami gw,” kataku melalui hubungan seluler.
“Gw mencintai loe, Ka. Gw ngga mau putus”
“Gw ngga mau melawan mami gw”
“Apa loe ngga mencintai gw?”
“Bukan begitu.”
“Kita bisa backstreet. Mami loe ngga perlu tahu.”
Aku bisa merasakan dia begitu serius. Aku setuju backstreet, tapi aku tahu ini tak akan berjalan mulus. Mungkin ia serius mencintai ku, tapi karena backstreet, cintaku tak sebesar dulu. Memang aku yang salah, tapi kan tak mungkin Indra melakukan sesuatu yang lebih ekstrim? Kawin lari misalnya, atau membuatku hamil. Hell no way!
Ini tak bertahan lama. Segera setelah mommy menyuruhku putus aku bertemu dengan cowok lain yang lebih ganteng, ialah Ronny. Aku bertemu dengannya saat mengikuti suatu kegiatan di gereja. Awalnya sih kami hanya belajar bareng, dll. Tapi kenyataan berjalan terlalu jauh.
Bagaikan terulang lagi, aku selingkuh dengannya. Keberadaan Ronny membuatku melupakan Indra. Aku tak tahu kenapa aku seperti ini. Mungkin memang sudah menjadi sifat alamiku untuk tidak ingin mengalami kekosongan cinta walau cuma sesaat.
Dan beralas pada kenyataan bahwa keluarga Ronny dekat dengan keluargaku, aku jadi tidak heran bahwa tidak perlu waktu lama bagiku dan dia untuk jadian. Terkesan dijodohkan? Aku tahu. Tapi perjodohan tidak pernah seindah ini. Jujur aku bahagia bersamanya.
Back to the present time, aku sedang memotong black forest itu dengan disaksikan oleh my mommy, my dear Ronny, my ex darling Indra, and the friend of my ex darling Dimas. Potongan kue pertama sudah tentu untuk my mommy, kedua untuk my dear Ronny, ketiga untuk my ex Indra, dan keempat untuk Dimas. Sisanya untukku! Rakus amat sih aku ini.
Sayangnya, di pesta ini hanya ada satu kado, yang dari Indra. Kado gede ini, aku hampir melupakannya karena aku sudah tertelan dalam suasana birthday party ku. Jadi tidak enak dengan Indra.
Kado gede itu, isinya sebuah boneka anjing berwarna biru yang gede banget! Dan yang paling penting, lucu. Aku senang Indra masih ingat dengan benda favoritku, warna kesukaanku, dan binatang kesayanganku.
Diam-diam aku merasakan ketegangan di antara Indra dan Ronny. Ronny berusaha menunjukkan bahwa aku ini miliknya. Dan Indra mengerti mengenai hal itu. Tak masalah baginya, meski hatinya teramat panas ketika Ronny menyuapiku.
Tak lama kemudian Indra dan Dimas mohon pamit. Aku rasa ia memintanya di waktu yang tepat. Aku tak tega membiarkannya merasakan sakit yang lebih parah. Mungkin setelah ini, namaku akan menjadi jarum di hatinya, yang membuatnya sakit saat mengingatnya. Sementara aku hanya akan tertelan dalam rasa bahagia bersama Ronny yang mungkin akan membuatku lupa padanya.
Aku mengantar mereka berdua ke pintu gerbang. Ini adalah saat-saat terakhirnya aku melihatnya memandangku begitu intens dan dalam. Aku sudah bisa mengira-ngira apa yang akan dikatakannya.
“Sekali lagi, happy birthday. Semoga loe bahagia.”
Semoga bahagia? Ia masih memikirkanku di tengah sakit hatinya? Padahal aku yang membuatnya begini.
Mungkin ia mengira Ronny lah penyebabnya. Mungkin ia sudah melupakan semua kesalahanku. Mungkin sakit hatinya tak sebesar yang aku kira. Atau mungkin, ia benar-benar hanya memikirkanku? Hanya ada aku di hatinya?
Oh ya, aku baru tersadar. Mungkin ia melupakan sepatah kata dari harapannya tentangku. ‘Semoga loe bahagia bersamanya’ mungkin itu maksudnya.
However, he’s gone, forever, from my life. I just hate it when someone’s leaving.

Selasa, 15 April 2008

Siapa Sih Loe Sebenarnya?

Siang yang cerah dengan warna langit yang sebiru laut pasifik. Cahaya cukup dan beberapa percikan air akan menyegarkan bunga-bungaku. Sambil bernyanyi laguya Natalie Imbruglia yang berjudul Wrong Impressions aku memaniskan pagi ini.
Aku, Angel Scesia, perempuan manis berusia 17 tahun merasa terlalu dini untuk diganggu pengamen!
Eh, tapi ngga apa-apa deh, karena ia menyanyikan lagu yang cukup bagus. Superman, by Five for Fighting. Aku sengaja memperlama langkahku untuk memperdengarkan lagunya. Jarang banget ada pengamen yang menyanyikan lagu barat.
Tapi, aku harap pengamen ini punya tombol off-nya. Sudah kubayar, tapi ia tidak berhenti bernyanyi. Ia malah mengganti lagu. Sekarang judulnya You’re Beautiful, by James Blunt. Tadinya kupikir uangnya kurang. Tapi aku segera menyingkirkan pemikiran itu setelah kutambah upahnya. Ia ganti lagu lagi, I Knew I Loved You Before I Met You, by Savage Garden.
“Mau loe apa sih?” tanyaku.
“Nyanyi.”
“Kan udah gw bayar, kenapa ngga pergi?”
“Siapa yang minta bayaran? Gw cuma mau ngelatih diri gw. Setidaknya gw tahu lagu gw dihargai seribu satunya. Lumayan untuk beli rokok.”
“Sialan!”
Setelah itu, pengamen itu langsung pergi.

Keesokan harinya, aku dan temanku Dina jalan-jalan di hutan kota. Ia yang mengajakku. Entah kenapa, katanya sih untuk ‘menghijaukan’ perasaan aja.
Di pusat keramaian hutan kota itu kami tertarik untuk membelanjakan sedikit uang kami di stan-stan yang berdiri di sana. Di sana terdapat penjual T-Shirt, penjual tanaman, penjual jajanan, bahkan pelukis jalanan.
“Angel, ke sana yuk,” ajak Dina ke satu-satunya tenda berisi seorang pelukis. Ngakunya lima belas menit langsung jadi. Tapi tak kusangka apa yang kutemukan. Tepatnya siapa.
“Hei, loe kan pengamen yang kemarin!” tunjukku pada pelukis bertopi pemancing itu.
“Iya,” jawabnya gampang.
“Loe kenal dia?” tanya Dina.
Kuceritakan padanya apa yang terjadi kemarin di depan rumahku. Dan setelah kuceritakan, Dina malah tertawa. Apanya yang lucu?
“Jadi dilukis, ngga?” tanya pelukis a.k.a pengamen itu
“Loe minta bayaran ngga?” tanyaku balik.
“Dua puluh ribu aja.”
Aku dan Dina mulai berpose untuk dilukis di depannya. Selama dilukis aku berpikir, jodohkah aku dengannya? Kenapa tidak? Aku sudah 17 tahun ngejomblo, dan dia lumayan good looking juga. Jangan-jangan aku,...
“Model yang jatuh cinta pada pelukisnya itu tabu, loh,” kata pelukis itu.
Aku kaget. Ia seperti bisa membaca pikiranku. “Idiih, ge-er loe!”
Dina malah tertawa.
Selesai. Hasilnya? Sangat bagus. Aku baru pertama kali melihat orang yang bisa bermusik dan melukis dengan sama indahnya.
“Ngomong-ngomong kita belum kenalan,” tanyanya.
Suatu kebetulan ia mengajak kenalan, karena aku juga berpikir seperti itu. Ia seperti bisa membaca pikiranku. “Gw Angel.”
“Gw Anthony.”
Nama itu terdengar cukup familiar, hanya saja aku lupa.
Hari itu berakhir dengan lukisan diriku dan Dina, yang didapat dengan harga yang cukup murah.

Keesokan harinya gw ke hutan kota lagi dengan Dina. Ini menimbulkan kecurigaan baginya. Ia malah mengira aku ada rasa dengan Anthony. Memang benar sih, tapi masa sih aku ngaku?
Tapi sial bagiku, tendanya sudah tidak ada lagi. Masa sih dia ganti profesi lagi?
Oh ya, dia ganti profesi lagi. Di belakang tempatku berdiri menatap tenda yang seharusnya atau kuharap ada, ia menepuk pundakku. Ia sudah berganti kostum, dan kemungkinan juga profesinya.
“Foto langsung jadi, goceng,” tawarnya sambil menenteng polaroid.
“Apa lagi sekarang?” tanyaku.
Aku lucu dengan kelakuaknya itu. Ganti profesi setiap hari setelah tahu bahwa di hari sebelumnya ia menjalankannya dengan baik. Benar-benar makhluk multi-talented yang langka.
Aku bayar dia untuk memotretku seharian. Aku tidak peduli dengan Dina yang meninggalkanku sendirian. Sepertinya ia sengaja.
“Besok loe mau jadi apa?” tanyaku sambil berpose di pinggir danau cantik yang ada di hutan kota itu.
“Coba tebak,” katanya pada jepretan pertama.
“Jangan sam[ai deh gw ketemu loe di toilet umum.”
“Paling bagus, tempat sampah kok.”
Dua puluh menit itu aku serasa menjadi model sesungguhnya. Dua puluh menit bersamanya terasa sangat berharga. Aku merasa berbeda. Tapi sayangnya hari ini berakhir cepat.

Esok harinya lagi, aku ke salon bersama Dina. Aku ke sana dan mulai duduk di tempat yang tersedia agar rambutku ditata. Dan aku mulai curhat dengan Dina samil menunggu orang yang akan merawat rambutku. Ia sudah menduga aku akan curhat tentang Anthony.
“Din, nanti ke sana lagi yuk,” pintaku.
“Repot amat sih loe. Kenapa ngga minta nomor HP-nya kemarin?”
“Gw lupa.”
“Dan loe ngga tahu di mana tempat tinggalnya?”
“Iya. Kayaknya gw rindu deh.”
“Missing me?” sela sebuah suara seseorang di belakangku, yang ternyata setelah kulihat dari cermin adalah Anthony. Dengan seragam salon?
Aku berbalik. “Jadi apa loe sekarang? Pegawai salon?”
“Iya.”
“Gw heran, ternyata gampang juga mencari kerja jaman sekarang,” kataku sambil bersiap untuk dirapihkan.
“Asalkan pantang menyerah loe bisa jadi apa aja.”
“Oh ya? Minggu depan loe bisa kerja di reaktor nuklir?”
“Mungkin.”
Sekali lagi aku menikmati hasilnya. Seperti biasa, cukup memuaskan. Aku merasa cantik sekarang.
Kutanya akan jadi apa ia besok. Ia menjawab bahwa di manapun aku berada di situlah ia. Orang yang amat misterius.
Aku keluar salon dengan perasaan penasaran. Menjadi semakin tidak sabar untuk bertemu dengannya. Menjadi tidak sabar untuk mendapatkan hari esok. Dan karena memikirkan itu aku jadi lupa dengan menanyakan nomor HP-nya! Sudah terlambat aku baru ingat itu setelah sampai rumah.
Aku harap aku bisa menemuinya esok.

Sudah pagi! Aku siap untuk jalan-jalan. Hari ini malas untuk mengajak Dina. Rasanya jadi sedikit susah untuk dekat dengan Anthony bila ada dia. Kenapa ya?
Aku keliling mencari sarapan, tapi yang aku cari adalah yang ada Anthonynya. Bisa saja ia menjadi tukang bubur atau ketoprak hari ini. Rasanya ngga mungkin deh.
Sudah setengah jam aku berkeliling, tapi belum menemukan Anthony dengan profesi barunya. Karena perut sudah tidak tertahankan aku mampir saja ke Coffee Shop untuk mengisi tenaga untuk pencarian berikutnya. Duh, antriannya panjang banget!
Di dalam Coffee Shop aku terkejut menemukan Anthony sedang melayani antrian yang panjang itu. Dan entah kebetulan atau bukan, aku berada di barisannya!
“Giliranku tiba. “Hai!” sapaku.
“Eh, hai.”
“Rasanya memang benar ya? Di manapun gw berada pasti ada loe.”
“Bukannya loe yang mencari gw?”
Aku juga ingin menjawab itu. Sebenarnya memang aku mencarinya sejak tadi. Tapi apakah bukan kebetulan ketika aku sedang istirahat dalam pencarian ini aku menemukannya?
“Terserah deh. Cappucinno dan Croisant.”
“Ok.”
Aku memilih meja di dekat kaca supaya bisa melihat-lihat keluar. Aku terus bertanya-tanya kapan ia selesai bekerja. Bila rata-rata orang bekerja delapan jam, berarti aku harus menunggu hingga sore. Aku berniat mengajaknya jalan. Ih, kok cewek sih yang ngajak jalan? Tapi bila aku cuek terus kapan selesainya? Maksudnya, masa jombloku ini.
Suapan terakhir Croisantku. Roti Prancis ini memang enak banget, meski aku tidak yakin apakah ini berasal dari Prancis atau bukan. Kata orang sih begitu. By the way, selagi aku menghirup kopi Italiaku aku mulai mendengar suara petikan gitar. Aku malas menoleh karena mungkin itu adalah orang lain yang sedang bermain di dalam kafe. Tapi saat aku mendengar suara yang akrab menyanyikan lagunya Jesse McCartney, Beautiful Soul, aku menoleh. Itu adalah Anthony, yang menyanyikan lagu itu untukku dengan masih berseragam waiter. Aku sudah yakin saja itu lagu untukku.
Tiap bait lagu kupandangi ia dengan seksama. Ternyata ia cukup manis. Aku suka.
Selesai lagu ia berlutut di hadapanku. Sambil menggenggam tanganku ia berkata, “Angel. Lima hari ini gw sengaja berganti-ganti profesi untuk mengejar loe. Saat gw tahu loe ada di rumah, gw jadi pengamen. Saat gw tahu loe ke hutan kota, gw meminjam stan teman gw dan juga pekerjaannya. Begitu juga setelah gw tahu loe ke salon temen gw.”
“Temen loe banyak banget ya?” aku sengaja mengganti tema karena tidak tahu harus ngomong apa. Nervous banget! Tapi akhirnya aku bertanya, “Kenapa?”
“Gw sudah lama ingin melakukan ini. Loe ingat, Anthony the Florist?”
Anthony the Florist? Itu kan toko bunga yang sering aku kunjungi untuk membeli bunga hidup. Dan aku ingat, Anthony adalah penjual bunga itu. Kenapa aku bisa lupa?!
“Jadi itu loe? Waktu itu gw belum mengenal loe, jadi,..”
“Gw suka sama loe. Loe seperti bunga-bunga itu. Indah, cantik, harum, cerah. Please, be my girl.”
Apa yang bisa kulakukan? Tak ada selain mengangguk dengan senyum tentunya. Ia pun mencium tanganku. Dan setelah itu semua pengunjung Coffee Shop bertepuk tangan ke arah kami. Ternyata mereka juga teman-temannya Anthony. Aku tahu karena setelahnya mereka memberi selamat kepadanya.
“Anthony, loe harus jelasin semuanya.”
“Ok, sambil jalan, ya? Ke hutan kota.”
Hari ini ia menjebakku. Kok aku bisa sebodoh itu sih bisa masuk ke Coffee Shop temannya ini. Kemarin juga di salon temannya. Tapi aku akhirnya bersyukur dengan kebodohanku ini.
Akhirnya aku dapat cowok.