Minggu, 24 Februari 2008

Lovely Rush Hour

Rush hour, jam di mana transportasi adalah sektor tersibuk. Kebutuhan akan transportasi harus tercukupi dan sebisa mungkin harus cepat. Di jam inilah waktu teramat sangat dihargai.
Adalah Freddo, seorang yang terus mengalami hal yang sama di hari dan jam yang sama selama lima tahun hidupnya bekerja di kantor redaksi majalah. Setiap pagi ia harus mengejar waktu, berjalan melewati jalan yang sama, di stasiun yang sama, naik kereta yang berjurusan sama dengan tujuan yang sama pula : berusaha agar tidak terlambat masuk kantor.
Lalu ada seorang Shera, cewek yang masih kuliah di teknik metalurgi semester empat, yang juga ikut menikmati jam sibuk ini. Hanya saja berbeda dengan orang2 yang sudah bekerja,ia agak santai. Tentu saja begitu, karena bila terlambat, bukan pemotongan gaji sanksinya.
Keduanya naik kereta di stasiun yang samadi jam yang sama, kereta yang sama, dan turun di stasiun yang sama. Tapi mereka tidak saling mengenal, namun tanpa mereka sadari sebenarnya mereka sudah berkomunikasi sejak lama.
“Aduh! Hati-hati donk!” seru Shera setelah ditabrak seorang laki-laki berstelan jas abu-abu gelap, yang sebenarnya adalah freddo, yang baru turun dari kereta.
“Sorry girl. Buru-buru nih.”
Shera melepas headsetnya dan memberikan acungan jari tengah kepadanya meski Freddo sudah berbalik menjauhinya.
Tak jauh dari stasiun, Shera membeli burger ukuran small untuk dijadikan sarapannya. Tak lupa sekaleng kopi susu. Semuanya sepuluh ribu cukup.
Ia adalah cewek yang unik, ekspresif. Salah satu bentuk ekspresinya adalah curhatan yang ia tulis di selembar uang yang ia gunakan untuk membayar burger dankopi susu itu. Setelah selesai membayarnya, ia meneruskan perjalanannya menuju kampus.
Sementara itu, Freddo sedang berusaha meraih mesin absensi yang selalu menentukan berapa gajinya bulan ini.
“Haha! Kalau gw telat delapan belas detik lagi, gaji hari ini melayang.” komen Freddo sambil ngos-ngosan.
“Selamat! Sudah tujuh belas hari berturut-turut loe seperti ini. Rekor bro! Satu-satunya di kota ini yang sangat hampir telat dalam tujuh belas hari berturut-turut adalah loe.” komen Dave, rekannya yang sedang minum kopi susu di meja kerja.
Tapi, Fredo belum duduk di meja kerjanya, sudah ada memo berisi tugas.
“Wawancara pagi lagi. Belum sarapan pula.”
“Selamat bekerja.” Dave berkomentar lagi.
Freddo tidak sempat duduk. ia segera keluar mengejar kereta berikutnya. Tokoh yang sedang ia kejar terkenal tepat waktu. Tapi sebelumnya, ia harus sarapan dulu.
Ia membeli burger di tempat yang tak jauh dari stasiun, tempat Shera membeli sarapan beberapa saat yang lalu. Fredd membayar burger ukuran medium, dan ia mendapatkan kembaliannya karena uangnya lebih. Salah satunya adaah lembaran sepuluh ribuan yang berisi tulisan aneh curhatannya Shera. Freddo hanya membacanya sekilas tapi tak menanggapinya karena anonim.
Freddo kembali ke jalannya.
Oh iya. Selain wartawan, ia juga penulis kolom. Kolom terbarunya adalah tentang jam sibuk yang selalu ia alami setiap hari. Dan ia tidak tahu bahwa kolomnya mempunyai fans setia yang sedang membaca kolomnya, yaitu Shera.
Shera sedang membacanya di jam senggang kuliahnya.
“Pathetic ya? Kenapa harus terburu-buru? Santai aja kali.” katanya.
“Itu kan menurut loe.” komen seorang temannnya.
“Iya sih, kolom ini isinya kantorsentris banget.”
Siangnya, kuliah Shera sudah selesai. Ia pun makan siang di kafe dekat stasiun favoritnya. Sendirian. Ia memang biasa melakukan apapun sendirian.
“”I’ve never been so far from heaven like this. All I can breathe is this loneliness. I’m dead, I’m unexist. But I have to live to find out where my love is.” kalimat ini adalah bait lagu ciptaannya Shera sendiri. Senada dengan curhatan yang ia tulis di uang lembaran sepuluh ribu itu.
“Lagu yang bagus, Sher.”
“Oh, Debra. Shut up.”
“Seperti biasa kan?”
“Iya. Waffel dan cappucinno.”
Terkadang kita tak bisa menyalahkan siapapun, kenapa kita terus sendiri. Bosan, tak ada seseorang yang memberi kasih dan cinta sama sekali. Ingin sekali hal ini berubah. Shera merasakannya. Hanya dengan menyanyi dan menulis ia bisa mengurangi penderitaan ini.
“Hei, gw mulai suka dengan lagu ini nih. All I can breath is, ...” kata Debra sambil membawakan pesanannya Shera.
“Eh, inget hak cipta ya?”
Shera menikmati makan siangnya sambil menulis macam-macam isi hatinya di sebuah buku yang dipakai khusus untuk itu.
“Hai Shera!” sapa Mutia, seorang teman kuliahnya di metalurgi.
“Mau apa loe?”
“Ih, gw udah susah-susah nyariin loe, kok sambutannya begitu? Pantes aja loe ngga punya cowok. Belanja yuk.”
“Ngga mau. Loe ngga liat gw lagi makan?”
“Gw bantuin deh.”
Bantuan yang dimaksud tentu saja bantuan menghabiskan makan siangnya. Kapan lagi dapat waffel gratis? Makan siang Shera yang tinggal setengah itu langsung habis.
“Udah habis. Yuk.”
Mutia menarik Shera. Shera tak bisa menolak lagi. Dengan buru-buru ia merapihkan buku-buku yang ada di meja. Tapi tanpa ia sadari ia meninggalkan buku khusus curhatannya.
Sementara itu, Freddo sudah keluar dari keretanya. Ia sudah selesai mewawancarai klien yang penting itu.
“Sudah loe terima hasil wawancaranya?” tanya Freddo pada Dave melalui hubungan seluler.
“Sudah. Seperti biasa, memang cepat.”
“Ada memo lagi ngga di meja gw? Mumpung gw masih ada di jalanan.”
“Sepertinya ngga ada tuh. Loe ngga balik.”
“Ngga. Gw nongkrong dulu di kafe, nulis kolom lagi.”
Kafe yang dimaksud itu tentu saja adalah kafe dekat stasiun yang baru saja ditinggalkan Shera. Freddo tertarik pada sebuah meja di sisi jendela yang ada buku yang tertinggal itu. Itu bukunya Shera. Ia tidak mengenal buku itu atau milik siapa buku itu. Bukunya anonim.
Debra datang ke mejanya sambil menyanyikan lagunya Shera. Freddo langsung berkomentar, “Lagu yang bagus, Deb. Lagu siapa?”
“Lagu ciptaan salah seorang pelanggan perempuan. Pesan apa?”
“Kopi susu tanpa gula.”
“Ngga pake bon? Biasanya loe buru-buru.”
“Sekarang gw santai.”
Ia santai meski ia sebenarnya tidak memiliki inspirasi tentang apa yang akan ditulisnya dalam kolomnya nanti. Tapi, setelah mendengar secara lengkap lagu yang dinyanyikan Debra, membaca buku tak bernama itu, dan teringat pada uang bertuliskan curahan hati, ia akhirnya tahu apa yang harus ditulis di kolomnya untuk edisi minggu ini. Temanya: Kesendirian di Kota Sibuk.
Ia mengetik di laptopnya untuk kolomnya itu selama istirahat siangnya itu. Setelah selesai, ia membawa pulang buku itu ke apartemen kecilnya untuk menganalisa isinya itu agar tahu isi hati sang penulis buku anonim itu. Sebenarnya salah bila menganggap bahwa hati seseorang mudah ditebak. Freddo merasa bisa karena ia sudah banyak bertemu dengan banyak orang, banyak menulis kolom, dan banyak membaca buku.
Sesungguhnya ia juga tersentuh pada isi buku itu. Pada kolom itu, ia akan menulis tentang dirinya juga selain tentang orang yang menulis buku itu. Ia pun membuka laptopnya lagi dan mulai mengetik.
Dua hari kemudian, seperti biasa di pagi harinya. Rush hour lagi. Freddo meski bangun sepagi apapun tetap saja seperti itu. Dan Shera, bangun sesiang apapun tetap santai.
“Aduh!” seru Shera karena lagi-lagi ditabrak Freddo.
“Loe ngga apa-apa kan?”
“Loe lagi! Bosen gw ditabrak loe tiap pagi. Besok nabrak lagi gw hajar loe.”
Kejadian setelah turun dari kereta itu cukup menghambat Freddo. Tanpa sempat minta maaf ia segera berlari lagi.
Sementara Shera, setelah bertabrakan segera ke kios koran membeli majalah hasil kerja kantornya Freddo. Meski ia bilang membosankan, ia suka dengan kolomnya Freddo. Ia mau melihat dunia dari sisi yang belum ia capai.
Kini, ia terkejut. Ternyata Freddo punya sisi muda juga. Tapi yang paling menarik perhatiannya adalah temanya yang dia banget. Seandainya ia tahu bahwa Freddo adalah orang yang menabraknya setiap pagi. Dan kolomnya masih bersambung.
Seperti biasa, ia membeli burger sebagai sarapannya. Tapi tak seperti biasa, ia memanfaatan kertas roti dari burger itu untuk menulis setelah bukunya hilang. Ia menulisnya dengan saus dari burger itu dan tusuk gigi. Lalu dengan saus pula ia menempelnya di belakang kursi kayu yangs edang ia duduki itu. Entah kenapa ia jadi ingin semua orang tahu apa isi hatinya.
Beberapa menit kemudian Freddo dan rekan kerjanya, Dave, duduk di bangku kayu yang telah lima menit ditinggalkan Shera. Mereka sedang bersiap untuk mewawancarai lagi.
“Fred, seriuslah. Ini orang penting.”
“Ya, direktur utama perusahaan perkayuan yang didakwa illegal loging itu adalah orang penting.”
“Kenapa sih, akhir-akhir ini loe menjadi semakin malas mewawancarai? Loe sekarang lebih peduli dengan kolom loe.”
“Dia nyata Dave. Gw tahu dia ada.”
“Silahkan cari perempuan yang menulis buku itu, tapi jangan sekarang. Kita punya tugas.”
Freddo menengadahkan kepalanya, menggantung tangannya di sandaran kursi dan menghela napas. Tepat di saat itu ia menyadari ada sesuatu yang menempel di tangannya. Kertas roti peninggalan Shera. Orang biasa pasti sudah langsung membuang kertas itu, tapi Freddo tidak. Ia membacanya sekilas lalu membuangnya ke tempat sampah.
“Udah deh Fred. Loe seperti hidup dalam mimpi. Ayo jalan.” kata Dave sambil menarik Freddo untuk segera jalan.
Tulisan di kertas roti itu cukup berbekas di kepalanya meski ia hanya membacanya sekilas.
Siangnya, Shera sudah kembali dari kampus dan Freddo sedang istirahat siang. Shera membeli burger di tempat yang biasa, begitu juga Freddo. Karena tidak saling mengenal, mereka tidak peduli pada satu sama lain. Tepat ketika Shera ingin beranjak dari pedagang itu, Freddo datang sambil menyanyikan lagu yang didapatkannya dari Debra. Seandainya ia tidak menyanyikannya, Shera sudah pergi jauh dari situ.
“Sorry, apa gw mengenal loe?” tanya Shera pada orang itu karena heran lagunya dibajak.
“Ya, loe yang gw tabrak tiap pagi di stasiun. Sorry ya gw ngga sempat minta maaf.”
“Ya, gw paham. Orang kantoran itu memang selalu sibuk. Oh iya, apa gw menularkan sesuatu saat loe menabrak gw? Nasib atau penyakit hati, misalnya.”
“Ngomong apa sih?”
“Ngga ada apa-apa.”
Dan, seandainya tidak hujan, mungkin mereka tak akan terus bersama dengan berteduh di tempat yang sama. Juga bila Shera tidak sedang membawa majalah itu di lengannya, mereka akan melalui hujan tanpa topik.
“Suka membaca ya?” tanya Freddo, memulai topik.
Shera tahu ia bertanya karena majalah ini. “Iya. Ini majalah bagus banget. Gw paling suka kolom di halaman 20.”
Freddo mulai tersanjung ada yang memuji kolomnya. Dari perasaan itu berkembanglah sebuah obrolan. Tapi mereka masih saling merahasiakan sesuatu. Freddo merahasiakan namanya sendiri. Ia mengaku bernama Freddi dan bekerja di kantor percetakan. Sedangkan Shera mengaku tidak sedang mengalami apa yang tertulis di kolom itu.
“Hei, nama loe agak mirip ya dengan penulis kolom 20 majalah ini.” komen Shera.
Dan mereka juga bertukar nomor ponsel.
Di kantor, Freddo menceritakan tentang Shera pada Dave. Ia hanya berkomentar, “Go get her, man.”
Tiba-tiba saja ia merasa telah menemukan sesuatu untuk mendampinginya, atau tepatnya seseorang. Ia selama ini sendiri, tapi terkesan tidak peduli. Beda dengan Shera yang kesal dengan kesendiriannya. Tapi ia tak merasa Freddo akan mengakhiri kesendiriannya.
Kejadian siang ini juga mengubah kebiasaan Freddo pada keesokan paginya. Bila biasanya ia terburu-buru, kini ia santai. Setelah turun dari kereta ia mencari Shera. Sulit menemukannya di dalam kereta karena penuh sesak, tetapi bila di luar kereta lumayan gampang karena mahasiswa tidak begitu terburu-buru seperti orang kantoran.
“Hai Sher.”
“Apa? Mau nabrak lagi?”
“Seandainya boleh, iya.”
Freddo memanfaatkan momen itu untuk mengajaknya makan siang setelah Shera selesai kuliah. Seperti yang diduga, Shera menerima mengiyakan ajakan itu. Dan tempatnya adalah kafe tempat masing-masing biasa makan.
“Fred.”
“Ya?”
“Ngerasa ngelupain sesuatu ngga?”
Setelah beberapa detik berpikir, ia teringat telah melupakan sesuatu, yaitu mesin absensi. Telat tidaknya ia masuk kantor dan berapa besar gajinya bulan ini ditentukan oleh mesin itu. Ia pun segera berlari mengejar mesin sialan itu.
“Sampai nanti siang!” salam Shera.
Sudah siang. Shera sedang menunggu seseorang yang dikenalnya bernama Freddi dengan Cappucinno di depan mukanya. Dengan tusuk gigi ia melukis sesuatu di atas Cappucinno dengan busanya. Entah bentuk apa itu, maknanya hanya dia yang tahu.
“Hai, Sher. Udah lama?”
“Baru kok.”
Seorang waitress datang. Bukan Debra, tapi Fifi, teman kerjanya Debra. Debra sedang absen kerja hari ini. Fifi juga mengenal Freddo dan Shera karena pelanggan tetap. Makanya, demi menjaga kerahasiaan identitasnya, Freddo menghampiri Fifi sebelum mereka sampai di meja mereka dan menyapa.
“Fifi, di depan dia, gw adalah Freddi, OK?” bisiknya.
Fifi mengangguk.
Fifi memulai tugasnya dengan menyapa mereka dulu, sesuai aturannya Freddo. Barulah mereka ditanya mau makan apa.
“Tuna Sandwich aja deh.” kata Shera.
“Gw Cheese Sandwich.”
Seorang mahasiswa metalurgi dan seorang karyawan kantor redaksi majalah. Cocok. Itu bisa terlihat dari mereka yang begitu mudahnya akrab. Berkat Freddo yang berwawasan luas dan Shera yang serba ingin tahu, kecocokan mereka begitu terasa.
Acara makan siang mereka telah usai. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Shera pulang dan Freddo kembali ke kantornya.
Saat di stasiun Shera melihat seorang gadis kecil melukis sesuatu di tiang stasiun dengan spidolnya. Namun tidak lama karena ibunya segera melarangnya untuk berbuat itu. Setelah gadis kecil dan ibunya berlalu, Shera melihat gambar itu. Manis sekali, seorang anak kecil bisa menggambar sepasang sejoli yang sedang berduaan. Shera menambahkan simbol hati di atas gambar itu.
Lalu sorenya, Freddo pulang. Di stasiun, ia juga melihat gambar itu. Setelah diberi simbol hati oleh Shera, Freddo menambahkan gambar Cupid dan busur panahnya di tiang itu dengan anak panahnya yang menancap di simbol hati itu.
Tiga hari kemudian adalah hari di mana majalah terbitan kantornya Freddo terbit. Seperti biasa, Shera mampir di kios koran dekat stasiun untuk membeli majalah itu. Freddo sudah menunggunya di sana seolah tahu Shera akan membeli majalahnya.
“Hai.”
“Hai. Nanti siang ada waktu?”
“Ha, gw tahu loe mau apa. OK, gw tunggu di kafe itu nanti siang.”
Sebenarnya Freddo ada tugas nanti siang untuk mencari informasi tentang usaha agrobisnis bunga hias. Tapi Dave rela menggantikannya demi Freddo yang akan melepas masa lajangnya.
Di kafe, Shera sednag menunggu kehadiran Freddo dengan membaca majalah itu. Ia sedang membaca kolomnya Freddo di halaman 20 itu. Ia sudah membacanya dua kali dan seolah belum puas. Seolah ia membaca kehidupannya sendiri. Tentu saja, karena sumbernya adalah buku yang berisi curhatannya yang hilang itu dan ditemukan oleh penulis kolom bernama Freddo.
“Hai Sher.“ sapa Freddo.
“Hai.”
“Bagaimana majalahnya?” Freddo langsung to the point.
“Bagus. Mau baca?”
“Ngga deh. Gw udah baca tadi di kantor. Majalah temen.”
Freddo berbohong. Padahal majalah itu sih memang selalu tersedia di kantornya.
Masalah datang, hanya saja Freddo tidak menyadarinya. Debra, hari ini masuk kerja. Dan ia belum diberitahu tentang Freddo yang sedang dalam penyamaran itu.
“Hai Shera, Hai Freddo. Akhirnya kalian ketemu juga. Mau pesan apa?”
“Gw pesan, ... Eh, tadi loe manggil dia apa?”
“Freddo.”
Fifi segera menarik Debra dari hadapan mereka tapi. Terlambat, Shera merasa orang yang sedang berada di hadapannya harus menjelaskan banyak hal.
“Gw perlu banyak penjelasan.”
“OK, gw ngaku. Gw Freddo, penulis kolom itu. Gw merahasiakan nama gw agar dengan leluasa bisa ngobrol dengan loe soal majalah ini. Loe tahu kan bagaimana rasanya punya fans?”
“Ngga tahu tuh. Dan berbohong sejak awal bisa mempengaruhi hubungan kita.”
Lalu meraka diam. Seperti ada perubahan, tapi sebenarnya tidak. Karena lambat laun Freddo akan jujur juga. Ia pun merasa bingung, apa yang salah?
Shera juga begitu. “Apa yang salah?” pikirnya. Untungnya baru beberapa hari mereka seperti ini. Dan juga, Freddo dan Freddi, hanya berbeda satu huruf saja. Pemikiran yang simpel untuk memaafkan seseorang yang sudah berbohong beberapa hari.
“Gw akan memaafkan loe dengan satu syarat.”
“Apa itu?”
“Kolom itu favorit gw. Gw mau tahu dari mana sih loe dapat inspirasinya? Loe begitu mengerti sisi lain manusia.”
“Karena gw telah melihatnya.”
“Melihat apa?”
Freddo menunjukkan buku itu. Shera mengenal buku itu, tapi ia pura-pura tidak tahu untuk sementara, seperti Freddo.
“Menurut loe buku itu bagus?”
“Bukan buku ini, tapi isinya. Yang menulis ini sepertinya berperasaan banget. Menginginkan kehadiran kasih sayang seseorang yang orangnya belum ia ketahui siapa. Seandainya gw bisa bertemu dengannya.”
Lalu Shera mengambil buku itu dengan lembut sambil tersenyum tersanjung. “Orang itu ada di hadapan loe.”
Freddo malah salah menduga, meski bisa dibilang ia setengah mengerti. Ia mengira bahwa Shera memang menginginkan kasih sayang seperti pemilik buku itu. Dan itu yang membutanya ge-er.
Lalu Shera menunjukkan bukti bahwa buku itu memang miliknya. Ada suatu halaman yang kosong, tapi ternyata tidak benar-benar kosong. Ada suatu berkas kilauan yang terlihat begitu jelas bila diarahkan ke arah cahaya datang. Terlihat jelas namanya.
“No damn way.”
Shera tersenyum, tersipu malu, dan lain-lain. Freddo, seandainya bisa, ingin menarik pernyataannya tadi. Tapi untuk apa? Bukankah itu yang diinginkannya? Secara tidak langsung itu pernyataan suka pada Shera, yang suatu saat akan dikatakannya juga. Dan Shera menyukai pernyataannya itu.
“Freddo. Loe percaya ngga bila rush hour yang ternyata mempertemukan kita.”
Sejak saat itu mereka bersama untuk selamanya.

Kamis, 21 Februari 2008

Friendship still the best

Pagi hari. Matahari sudah terlihat jelas di ufuk timur. Meski tidak membawa jam, aku tahu bahwa sekarang sudah saatnya bel sekolah berbunyi. Aku mengemudi cepat karena matahari semakin naik.
Akhirnya aku sampai di parkiran sekolah, tepat saat bel berbunyi. Itu membuatku panik karena berjalan dari tempat parkir ke kelas saja sudah makan waktu 5 menit. Itupun sudah terburu-buru.
Tapi akhirnya aku sampai di kelas. Syukurlah guru belum datang. Bila sudah, pasti aku sudah diusirnya.
Aku berjalan ke tempat dudukku yang berada di ujung. Lalu aku menyadari bahwa aku bukanlah yang terakhir datang ke sekolah. Neva, teman semejaku, terlambat lagi. Bukan hal yang aneh dia terlambat, karena dia sudah biasa lebih terlambat dari pada aku.
“Hah,...Hah! Capek gw tiap pagi lari terus.”
Aku menoleh menuju ke arah datangnya suara. Itu adalah suara Neva, yang baru datang dengan napas yang tersengal-sengal karena berlari dari gerbang sekolah ke kelas. Belum termasuk menaiki tangga 3 tingkat.
“Bagus, kan? Olahraga tiap hari.” kataku, menanggapi kondisi temanku yang unik itu. Ia malah meninju dadaku atas candaan itu
Neva, gadis unik yang duduk di sebelahku ini memiliki banyak kesamaan denganku, entah yang aneh ataupun tidak. Ia berambut pendek dengan sedikit warna, sedikit berponi, kadang diikat. Kesamaan yang paling jelas terdapat pada kami selain sering terlambat adalah kekompakan dalam pelajaran, ngobrol, dan contek-mencontek. Sesungguhnya, ialah yang membuatku semangat untuk sekolah. Aku suka melihat senyumannya yang manis itu. Aku juga suka sifatnya yang tomboy itu.
Mungkinkah aku,...? Tidak mungkin. Biarpun iya, sudah terlambat. Ia sudah punya cowok yang bernama Rylai. Ia adalah teman sekelas sekaligus sahabat baikku.
Setiap jam istirahat, aku, Rylai, dan teman-teman yang lain mengocok kartu uno untuk dimainkan. Mungkin ia bukan tandinganku, tapi kemenangannya tak berarti tanpa pelukan Neva. Ya, Neva selalu berada di sisi Rylai saat bermain kartu meski itu tak menambah keberuntungannya bermain kartu.
Suatu hari angin segar menerjangku. Di suatu kesempatan, Neva berbincang denganku.
“Gw putus dengan Rylai.” itulah sepenggal kalimat yang menjadi inti pembicaranku dengannya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Dia masih sayang sama mantannya.”
Tak heran Rylai dari pagi terdiam. Bahkan main kartu pun tidak. Tapi Neva tidak demikian. Mungkin karena dia terbiasa hiperaktif. Aku pun melontarkan pertanyaan, “Loe ngga bener-bener suka sama Rylai, kan?”
Dia hanya menggeleng tanpa kata. Entah apa itu maksudnya. Mungkin ia hanya menggeleng karena berharap pertanyaanku didengar Rylai dan gelengannya juga dilihatnya, sebagai balas dendam.
Tapi Rylai bahkan saat itu tidak berada di dalam kelas tempat kami berbincang.
Dan tak sepantasnya aku bergembira. Mereka berdua sahabatku. Aku harus berbuat sesuatu agar mereka bisa bahagia, meski mereka terlihat tidak apa-apa saat ini. Kupikir mereka hanya saling menyembunyikan perasaannya saja.
Keesokan harinya ia melanjutkan ceritanya.
“Gw ngga tahu harus bagaimana lagi. Dia masih terus SMS-in gw. Emang sih dia ngga minta baikan. Paling cuma nanya PR atau nanya kabar doang.”
“Menurut gw, dia ingin PDKT kedua. Dan gw rasa dia bener-bener menyesal. Kenapa ngga dimaafin aja?”
“Dia belum minta maaf.”
Dalam hari aku ingin mendiskusikan hal ini dengan Rylai, tapi sisi hati yang lain berkata lebih baik jangan. Ada juga sisi yang berkata bahwa gw harus memanfaatkan hal ini.
Tapi, kesempatan tak harus kutunggu lama. Neva mengajakku jalan-jalan ke mall untuk membeli buku sepulang sekolah ini. Aku tidak benar-benar berniat mengambil kesempatan ini, tapi karena dia hanya punya sedikit teman. Dan juga ia butuh tumpangan.
Sampai di sana, semua berjalan lancar seperti yang satu sisi hatiku harapkan. Kita saling bersenda gurau dan lain-lain. Setelah mendapat buku yang dicari, kita makan di restoran fastfood. Di sinilah segalanya mulai membingungkan, yaitu ketika ia mulai membicarakan tentang rasa. Bukan rasa makanannya.
“Loe pernah suka sama cewek, ngga?” tanyanya kepadaku.
“Sudah pasti. Memangnya kenapa?”
“Apa kalo lelaki menyukai cewek, bisa bertahan lama?”
Dari sini aku berpikir bahwa ia sedang curhat. Aku menjawab “Ngga juga, sih.” yang seharusnya kujawab lain.
“Bagaimana dengan loe?”
Di sini aku berpikir bahwa ia mulai membandingkan aku dengan Rylai karena aku dan dia adalah sahabat baik yang sudah berteman lama. Aku menjawab, “Gw ngga pernah serius dengan hal ini.” yang membuatku berpikir kenapa aku menjawab demikian.
“Kalo gw yang suka dengan loe, apa loe bisa mulai suka sama gw?”
Di bagian ini, aku mulai bingung dengan apa yang sedang dipikirkan perempuan ini. Dan aku tidak jadi menyesali apa yang sudah kujawab kepadanya. Dan aku tak bisa menjawab itu. Apalagi ia bertanya sambil memberikan senyuman yang tak pernah ia tunjukkan kepadaku.
“Sudahlah, kita pulang yuk.” aku menghentikan pembicaraan ini karena menganggap ini sudah melewati batas.
Selama jalan, ia berusaha menggenggam tanganku tapi aku terus berusaha menghindar. Gadis ini tak pernah menyerah. Setelah mendapatkannya, ia berseru, “Yeee, I got it!” dan menggenggamnya dengan sekuat tenaga.
Gadis yang unik. Sayang sekali Rylai meninggalkannya.
Tapi, kebahagian yang terpancar di senyumannya tak bertahan lama. Tiba-tiba ia berhenti dan melepaskan genggaman tangannya. Rupanya ia melihat Rylai sedang berjalan dengan mantannya, yang saat itu lebih anggun dan lebih cantik dari dirinya. Dunia ini memang sempit, dan seringkali mempertemukan antara insan manusia di saat yang tepat.
Tak kusangka ia melinangkan air matanya. Ternyata, gadis yang selama ini kuanggap kuat, fragile extremely di dalam. Air matanya semakin deras seiring dengan lamanya ia melihat pemandangan itu.
“Gw ngga nangis kok. Ayo pulang.” katanya sambil menahan isakan.
Tapi setelah sampai di basement parkir, ia menolak pulang bersamaku. Ia berniat jalan sendiri. Dan, memang benar ia berjalan, dengan kakinya, menuju rumahnya yang berjarak 3 km dari mall. Aku tahu ia gadis yang kuat, tapi aku tak tega melihat ia berjalan terus sementara aku dengan nyamannya mempersempit jalan raya dengan mobilku.
Aku terus mengikutinya. Mengiringi langkah kakinya di sisinya sambil berharap ia akan naik mobilku setelah lelah.
“Neva, rumah loe masih jauh. Gw ngga mau ninggalin loe di sini.”
“Udah deh, jangan ngikutin gw. Kalo loe dan mobil butut loe masih ngikutin juga, kita ngga berteman lagi!”
Mendengar itu, aku turun dari mobil dan berjalan mengikutinya dari belakang.
“Kenapa masih ngikutin juga?’
“Tanpa mobil. Kita masih berteman kan?”
Neva segera berhenti. Ia memelukku dan menangis di dadaku. Ia juga memukul-mukul dadaku selayaknya anak kecil. Kali ini aku tak bisa menghindar.
“Gw dan Rylai ngga bisa bersama lagi. Sekarang gw harus bahagia bersama siapa?”
“Loe masih punya teman kan?’
“Iya, tapi siapa?’
“Gw.”
Ia menghentikan tangisannya meski masih ada sedikit isakan. Ia memandangku dengan tatapan yang tak pernah dia berikan kepadaku sebelumnya.
Tapi apa yang akan dia berikan selanjutnya mungkin adalah hal yang tak pernah diberikan kepada siapapun. Ia berusaha menciumku. Posisinya saat itu cukup strategis. Tapi saat bibirku hampir tersentuh oleh bibirnya, aku menghindarinya dan segera menyeretnya ke dalam mobil seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya.
Keesokan harinya, aku berusaha datang lebih awal dan berhasil untuk tidak terlambat. Aku bisa datang 12 menit lebih cepat dari bel. Sebenarnya tujuanku datang lebih awal adalah karena ingin berbincang bersama Rylai. Tapi tidak jadi karena Neva ternyata datang lebih awal dariku. Entah ada apa, tapi ia mengejekku karena datang lebih telat dari dirinya.
Saat jam istirahat, kaum pria bermain kartu dan kaum wanita belanja di kantin. Di saat seperti inilah aku mulai berbincang bersama Rylai. Aku memanggilnya agar ia mau duduk sebentar bersamaku.
“Ryl, loe masih sayang sama Neva, kan?”
“Loe ngomong apa sih?”
“Jawab aja.”
“Ngga ada hubungannya dengan loe.”
“Lalu kenapa loe jalan dengan Devi kemarin?”
“Itu juga ngga ada hubungannya dengan loe. Lagipula, loe ngga akan mengerti situasinya.”
“Sudah jelas ada hubungannya. Neva teman gw. Dan gw ngga mau dia sedih terus-terusan karena mikirin loe.”
“Dia sedih? Serius loe?”
“Loe mau baikan dengan dia, kan? Kalo mau, gw bisa bantu.”
Rylai pun mengangguk pertanda bahwa ia setuju dengan persetujuan itu. Mungkin aku sudah gila, di saat kesempatan itu ada di depan mata, aku malah memberikannya kepada orang lain. Tapi itulah yang terbaik. Aku yakin Neva masih menginginkan Rylai dan begitu juga sebaliknya. Aku hanya ingin yang terbaik bagi teman-temanku. Tapi aku tak bisa menolong lagi bila Neva tetap menginginkanku dan mengabaikan Rylai.
Jam sekolah usai. Aku mengajak Neva ke tempat parkir. Aku mengajak Neva ke tempat parkir, membuatnya berpikir aku akan mengajaknya jalan. Tapi aku tidak akan mengajaknya jalan. Dia pun terheran-heran karena aku tidak mengajaknya ke mobilku. “Kita telah melewati mobil loe. Mau ke mana sih?” tanyanya.
Sudah jelas ia terheran-heran karena aku membawanya ke mobilnya Rylai. Di sana, ‘kejutan’nya sudah menunggu.
Rylai, sambil bersandar di mobilnya, sudah menunggu. Ia kemudian menatap Neva. Neva enggan membalas tatapannya itu dan malah berbalik menghadapku.
“Apa sih maksud semua ini?” tanyanya.
“Di dunia ini masih ada orang yang lebih baik untuk dicintai. Bukan gw, tapi Rylai.”
“Tapi,...”
“Neva, dengerin dulu kata-katanya.”
Neva pun berbalik menghadap Rylai. Ia melangkah mendekatinya. Aku bersembunyi dari balik mobil untuk memberi privasi dan berusaha untuk tidak mendengar suara mereka. Berat sekali, dan aku tak percaya telah melakukan hal ini. Tapi inilah yang terbaik untuk mereka.
Setelah empat menit berlalu, dalam hati aku ingin berbalik melihat perkembangannya. Meski rasanya berat, aku mengintip dari balik kaca mobil. Yang kulihat, mereka sudah saling menggenggam tangan. Lalu saling berpelukan. Berat rasanya melihat itu. Satu-satunya yang memperingan perasaan ini hanyalah mereka ia tidak saling tersenyum.
Aku menghampiri mereka, tapi tidak terlalu dekat. Setelah membiarkanku melihat acara peluk-memeluknya, yang sesungguhnya membuat hatiku panas, Rylai mendekatiku. Ia menggenggam tanganku dengan jabat tangan persahabatan.
“Thanks, man. You are really my best friend.” katanya. Itu aku anggap pujian. Dari situ aku tahu semuanya berjalan lancar.
Selama Rylai mengatakan itu, aku melihat Neva memandangku dengan tatapan yang lagi-lagi tak pernah kulihat sebelumnya. Entah ia punya berapa jenis tatapan. Tatapan yang aneh, aku tak bisa mengungkapkannya. Tapi aku akan terima semua makian yang akan datang darinya.
Aku merelakan Neva masuk ke dalam mobil yang bukan milikku. Setelah mobil pergi, hanya asap putih yang menemaniku.
Aku kembali ke mobilku. Mobil yang sering dibilang butut oleh Neva. Aku tertawa bila mengingat itu. Tapi aku lalu menundukkan kepalaku ke atas setir mobil saat mengingat Neva telah kembali ke Rylai saat segalanya akan berjalan menuju mimpi. Hanya di saat inilah hati dan emosiku tak bisa kompak. Air mata sudah terlanjur keluar, padahal aku tak menginginkan itu terjadi. Tapi aku tak menyangkal aku merasakan sakit.
Esok harinya, aku terlambat enam menit dari yang seharusnya. Saat aku masuk kelas, aku diusir oleh guru bahasa Indonesia yang rajin mengajar. Tapi aku bisa melihat Neva tidak ada di dalam kelas. Aku berpkir ia belum datang.
Aku pergi ke kantin untuk menunggu pelajaran itu berakhir. Lalu kutemukan makhluk unik itu. Ternyata Neva datang lebih awal dari diriku meski masih terlambat dan diusir juga.
Tapi tak seperti biasanya, saat aku dan dia sudah bertatap mata dengannya candaan pasti sudah datang. Tapi tak ada.
Aku mendekatinya. Ekspresi wajahnya masih sama. Tak ada keinginan bagiku untuk membuatnya bertambah kecewa lagi.
“Kita masih berteman kan?”
“Ngga.”
Aku tidak kaget mendengar itu. Tapi aku kecewa mendengarnya. Yang kutahu, ia belum menyelesaikan kalimatnya.
“Kita ngga berteman lagi karena loe tuh menyebalkan.” lanjutnya. Dan itu ia katakan dengan nada yang aku harapkan, nada bercanda yang khas dirinya.
“Dan loe lebih menyebalkan lagi, tahu?” aku membalas candaannya itu.
“Traktir gw. Traktir gw atau kita ngga akan saling bicara lagi.”
Akhirnya kembali juga keceriaan yang aku alami sebelumnya. Keceriaan yang sering aku alami bersama Neva. Keceriaan bersama sahabat. Memang hal ini cukup indah. Meski masih bisa lebih, tapi aku tak berharap demikian karena mungkin keceriaan ini tak akan datang dalam bentuk hubungan yang lain.
Neva, I love you too. But we suppose to be a friend.

Rabu, 13 Februari 2008

Valentine from Hell.

Malam ini, entah kenapa semakin dingin. Aku berharap tidak berkaitan dengan perasaanku. Perasaan yang kudapat saat aku berdiri di depan rumah perempuan yang sangat kucintai, tapi dia menolakku. Bisa kuterima alasannya, tapi tak bisa kuterima segalanya. Ini dingin musim hujan kah?
Tiarani. Aku biasa memanggilnya Thy meski ia tak suka dipanggil begitu. Gadis biasa jurusan Botani ber IP sempurna. Aku bertemu dengannya di seminar anti global warming di aula kampus beberapa waktu yang lalu. ‘Biasa’ yang kumaksud adalah fisiknya, tapi buatku dia sempurna. Aneh, aku sudah menilainya sejauh itu. Padahal baru kenal sepuluh hari.
“Thy, please dengerin gw.” pintaku melalui telepon seluler. Tapi ia segera menutupnya. Ia bisa saja mem-blacklist nomorku, tapi tampaknya ia masih ingin mendengar sesuatu dariku.
Aku hanya ingin menjadi lebih dari sekedar teman untuknya. Dan ini bukan yang aku minta.
Tepat 24 jam yang lalu aku bilang aku mencintainya di Jill’s CafĂ© tempat hang out ku. Kafe dengan suasana musik dan urban, jauh dari suasana cinta. Tapi aku yakin bukan itu yang salah. Ekspresinya berbeda dari tiga puluh menit pertama ia di hadapanku hingga aku mengatakan itu.
Lalu esok paginya aku mengirimnya coklat besar, CD Kings of Convenience, dan selembar surat. Semuanya dilakukan dengan jasa kurir yang berbeda dan aku sendiri yang menentukan kapan harus tiba. Setelah kejadian kemarin aku tak bisa lagi merayakan 14 February secara langsung dengannya. Dan hingga malam ini ia masih membisu.
“Thy. Please, gw mau ngomong sama loe meski ini yang terakhir. I love you.”
“Why?”
“Because I saw what the other didn’t.”
“Are you psychic?”
“Sesungguhnya gw tertekan oleh 14 February. And that’s not so me.”
“Loe udah menjadi teman yang baik buat gw selama sepuluh hari ini. Loe sudah menjual mobil loe demi gw yang peduli lingkungan. Loe udah ngajak gw jalan ke Kebun Raya Bogor tempat favorit gw. Lalu loe memberikan sesuatu yang saat ini berada di hadapan gw yang sempat gw pikirkan untuk membuangnya. Dan itu semua demi kebohongan?”
“Gw sadar gw telah membohongi loe. Dan gw sadar gw bukan apa-apa. Gw hanya anak elektro ber-IP rendah yang terancam DO. Dan gw, ....”
“Bukan masalah loe ngga jujur tentang kehidupan loe yang sebenarnya. Itu ngga masalah buat gw. Yang ngga bisa gw terima adalah kenapa loe melakukan itu? Dan apakah loe akan sadar bahwa itu membahayakan gw juga?”
“Thy, gw ...”
“Sudah terlalu banyak perbedaan. Gw percaya loe amat mencintai gw. Meski fakultas kita bersebelahan, loe terasa jauh buat gw. Dan gw mau tetap seperti itu, jauh.”
“Gw ngga mau jauh dari loe.”
“Akan gw kembalikan semua pemberian loe dengan cara yang sama. Sebaiknya loe kembali ke teman-teman loe. Mereka pasti menunggu loe. Terima kasih untuk semuanya. Sebenarnya, gw menikmatinya.”
Dan Thy menutup pembicaraan itu untuk selamanya. Dan selamanya akan sulit untuk membuatnya tersenyum kepadaku seperti dulu. Aku mengharapkan seyumannya, yang selalu mencerahkan gelapnya hidupku.
Lalu datanglah sahabatku yang sedang lari terburu-buru di atas BMX-nya.
“Andre! Kita ngga bisa menahan para polisi itu lebih lama lagi.” serunya.
Di ujung jalan aku sudah bisa mendengar suara sirine mobil polisi. Lalu aku mulai melihat teman-temanku yang mengendarai mobil, motor, roller blade, skate board, dan BMX. Mereka rela berkorban untuk mengalihkan perhatian polisi demi aku yang ingin bersama dengan Thy walaupun itu tak terwujud. Tapi aku juga harus lari. Aku taruh papan skate ku, lalu aku mulai meluncur secepat mungkin menghindari mereka.
Sudah biasa kami seperti ini. Memang sulit menjadi bagian dari orang-orang yang dibenci oleh polisi. Tapi di setiap menit aku melakukan ini aku merasa bebas. Lagi pula, apa yang kami lakukan tidak merugikan masyarakat meski memang kami juga dibenci sebagian dari mereka.
Valentine ini memang bukan untukku.