Malam ini, entah kenapa semakin dingin. Aku berharap tidak berkaitan dengan perasaanku. Perasaan yang kudapat saat aku berdiri di depan rumah perempuan yang sangat kucintai, tapi dia menolakku. Bisa kuterima alasannya, tapi tak bisa kuterima segalanya. Ini dingin musim hujan kah?
Tiarani. Aku biasa memanggilnya Thy meski ia tak suka dipanggil begitu. Gadis biasa jurusan Botani ber IP sempurna. Aku bertemu dengannya di seminar anti global warming di aula kampus beberapa waktu yang lalu. ‘Biasa’ yang kumaksud adalah fisiknya, tapi buatku dia sempurna. Aneh, aku sudah menilainya sejauh itu. Padahal baru kenal sepuluh hari.
“Thy, please dengerin gw.” pintaku melalui telepon seluler. Tapi ia segera menutupnya. Ia bisa saja mem-blacklist nomorku, tapi tampaknya ia masih ingin mendengar sesuatu dariku.
Aku hanya ingin menjadi lebih dari sekedar teman untuknya. Dan ini bukan yang aku minta.
Tepat 24 jam yang lalu aku bilang aku mencintainya di Jill’s CafĂ© tempat hang out ku. Kafe dengan suasana musik dan urban, jauh dari suasana cinta. Tapi aku yakin bukan itu yang salah. Ekspresinya berbeda dari tiga puluh menit pertama ia di hadapanku hingga aku mengatakan itu.
Lalu esok paginya aku mengirimnya coklat besar, CD Kings of Convenience, dan selembar surat. Semuanya dilakukan dengan jasa kurir yang berbeda dan aku sendiri yang menentukan kapan harus tiba. Setelah kejadian kemarin aku tak bisa lagi merayakan 14 February secara langsung dengannya. Dan hingga malam ini ia masih membisu.
“Thy. Please, gw mau ngomong sama loe meski ini yang terakhir. I love you.”
“Why?”
“Because I saw what the other didn’t.”
“Are you psychic?”
“Sesungguhnya gw tertekan oleh 14 February. And that’s not so me.”
“Loe udah menjadi teman yang baik buat gw selama sepuluh hari ini. Loe sudah menjual mobil loe demi gw yang peduli lingkungan. Loe udah ngajak gw jalan ke Kebun Raya Bogor tempat favorit gw. Lalu loe memberikan sesuatu yang saat ini berada di hadapan gw yang sempat gw pikirkan untuk membuangnya. Dan itu semua demi kebohongan?”
“Gw sadar gw telah membohongi loe. Dan gw sadar gw bukan apa-apa. Gw hanya anak elektro ber-IP rendah yang terancam DO. Dan gw, ....”
“Bukan masalah loe ngga jujur tentang kehidupan loe yang sebenarnya. Itu ngga masalah buat gw. Yang ngga bisa gw terima adalah kenapa loe melakukan itu? Dan apakah loe akan sadar bahwa itu membahayakan gw juga?”
“Thy, gw ...”
“Sudah terlalu banyak perbedaan. Gw percaya loe amat mencintai gw. Meski fakultas kita bersebelahan, loe terasa jauh buat gw. Dan gw mau tetap seperti itu, jauh.”
“Gw ngga mau jauh dari loe.”
“Akan gw kembalikan semua pemberian loe dengan cara yang sama. Sebaiknya loe kembali ke teman-teman loe. Mereka pasti menunggu loe. Terima kasih untuk semuanya. Sebenarnya, gw menikmatinya.”
Dan Thy menutup pembicaraan itu untuk selamanya. Dan selamanya akan sulit untuk membuatnya tersenyum kepadaku seperti dulu. Aku mengharapkan seyumannya, yang selalu mencerahkan gelapnya hidupku.
Lalu datanglah sahabatku yang sedang lari terburu-buru di atas BMX-nya.
“Andre! Kita ngga bisa menahan para polisi itu lebih lama lagi.” serunya.
Di ujung jalan aku sudah bisa mendengar suara sirine mobil polisi. Lalu aku mulai melihat teman-temanku yang mengendarai mobil, motor, roller blade, skate board, dan BMX. Mereka rela berkorban untuk mengalihkan perhatian polisi demi aku yang ingin bersama dengan Thy walaupun itu tak terwujud. Tapi aku juga harus lari. Aku taruh papan skate ku, lalu aku mulai meluncur secepat mungkin menghindari mereka. Tiarani. Aku biasa memanggilnya Thy meski ia tak suka dipanggil begitu. Gadis biasa jurusan Botani ber IP sempurna. Aku bertemu dengannya di seminar anti global warming di aula kampus beberapa waktu yang lalu. ‘Biasa’ yang kumaksud adalah fisiknya, tapi buatku dia sempurna. Aneh, aku sudah menilainya sejauh itu. Padahal baru kenal sepuluh hari.
“Thy, please dengerin gw.” pintaku melalui telepon seluler. Tapi ia segera menutupnya. Ia bisa saja mem-blacklist nomorku, tapi tampaknya ia masih ingin mendengar sesuatu dariku.
Aku hanya ingin menjadi lebih dari sekedar teman untuknya. Dan ini bukan yang aku minta.
Tepat 24 jam yang lalu aku bilang aku mencintainya di Jill’s CafĂ© tempat hang out ku. Kafe dengan suasana musik dan urban, jauh dari suasana cinta. Tapi aku yakin bukan itu yang salah. Ekspresinya berbeda dari tiga puluh menit pertama ia di hadapanku hingga aku mengatakan itu.
Lalu esok paginya aku mengirimnya coklat besar, CD Kings of Convenience, dan selembar surat. Semuanya dilakukan dengan jasa kurir yang berbeda dan aku sendiri yang menentukan kapan harus tiba. Setelah kejadian kemarin aku tak bisa lagi merayakan 14 February secara langsung dengannya. Dan hingga malam ini ia masih membisu.
“Thy. Please, gw mau ngomong sama loe meski ini yang terakhir. I love you.”
“Why?”
“Because I saw what the other didn’t.”
“Are you psychic?”
“Sesungguhnya gw tertekan oleh 14 February. And that’s not so me.”
“Loe udah menjadi teman yang baik buat gw selama sepuluh hari ini. Loe sudah menjual mobil loe demi gw yang peduli lingkungan. Loe udah ngajak gw jalan ke Kebun Raya Bogor tempat favorit gw. Lalu loe memberikan sesuatu yang saat ini berada di hadapan gw yang sempat gw pikirkan untuk membuangnya. Dan itu semua demi kebohongan?”
“Gw sadar gw telah membohongi loe. Dan gw sadar gw bukan apa-apa. Gw hanya anak elektro ber-IP rendah yang terancam DO. Dan gw, ....”
“Bukan masalah loe ngga jujur tentang kehidupan loe yang sebenarnya. Itu ngga masalah buat gw. Yang ngga bisa gw terima adalah kenapa loe melakukan itu? Dan apakah loe akan sadar bahwa itu membahayakan gw juga?”
“Thy, gw ...”
“Sudah terlalu banyak perbedaan. Gw percaya loe amat mencintai gw. Meski fakultas kita bersebelahan, loe terasa jauh buat gw. Dan gw mau tetap seperti itu, jauh.”
“Gw ngga mau jauh dari loe.”
“Akan gw kembalikan semua pemberian loe dengan cara yang sama. Sebaiknya loe kembali ke teman-teman loe. Mereka pasti menunggu loe. Terima kasih untuk semuanya. Sebenarnya, gw menikmatinya.”
Dan Thy menutup pembicaraan itu untuk selamanya. Dan selamanya akan sulit untuk membuatnya tersenyum kepadaku seperti dulu. Aku mengharapkan seyumannya, yang selalu mencerahkan gelapnya hidupku.
Lalu datanglah sahabatku yang sedang lari terburu-buru di atas BMX-nya.
“Andre! Kita ngga bisa menahan para polisi itu lebih lama lagi.” serunya.
Sudah biasa kami seperti ini. Memang sulit menjadi bagian dari orang-orang yang dibenci oleh polisi. Tapi di setiap menit aku melakukan ini aku merasa bebas. Lagi pula, apa yang kami lakukan tidak merugikan masyarakat meski memang kami juga dibenci sebagian dari mereka.
Valentine ini memang bukan untukku.
Valentine ini memang bukan untukku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar