Kamis, 21 Februari 2008

Friendship still the best

Pagi hari. Matahari sudah terlihat jelas di ufuk timur. Meski tidak membawa jam, aku tahu bahwa sekarang sudah saatnya bel sekolah berbunyi. Aku mengemudi cepat karena matahari semakin naik.
Akhirnya aku sampai di parkiran sekolah, tepat saat bel berbunyi. Itu membuatku panik karena berjalan dari tempat parkir ke kelas saja sudah makan waktu 5 menit. Itupun sudah terburu-buru.
Tapi akhirnya aku sampai di kelas. Syukurlah guru belum datang. Bila sudah, pasti aku sudah diusirnya.
Aku berjalan ke tempat dudukku yang berada di ujung. Lalu aku menyadari bahwa aku bukanlah yang terakhir datang ke sekolah. Neva, teman semejaku, terlambat lagi. Bukan hal yang aneh dia terlambat, karena dia sudah biasa lebih terlambat dari pada aku.
“Hah,...Hah! Capek gw tiap pagi lari terus.”
Aku menoleh menuju ke arah datangnya suara. Itu adalah suara Neva, yang baru datang dengan napas yang tersengal-sengal karena berlari dari gerbang sekolah ke kelas. Belum termasuk menaiki tangga 3 tingkat.
“Bagus, kan? Olahraga tiap hari.” kataku, menanggapi kondisi temanku yang unik itu. Ia malah meninju dadaku atas candaan itu
Neva, gadis unik yang duduk di sebelahku ini memiliki banyak kesamaan denganku, entah yang aneh ataupun tidak. Ia berambut pendek dengan sedikit warna, sedikit berponi, kadang diikat. Kesamaan yang paling jelas terdapat pada kami selain sering terlambat adalah kekompakan dalam pelajaran, ngobrol, dan contek-mencontek. Sesungguhnya, ialah yang membuatku semangat untuk sekolah. Aku suka melihat senyumannya yang manis itu. Aku juga suka sifatnya yang tomboy itu.
Mungkinkah aku,...? Tidak mungkin. Biarpun iya, sudah terlambat. Ia sudah punya cowok yang bernama Rylai. Ia adalah teman sekelas sekaligus sahabat baikku.
Setiap jam istirahat, aku, Rylai, dan teman-teman yang lain mengocok kartu uno untuk dimainkan. Mungkin ia bukan tandinganku, tapi kemenangannya tak berarti tanpa pelukan Neva. Ya, Neva selalu berada di sisi Rylai saat bermain kartu meski itu tak menambah keberuntungannya bermain kartu.
Suatu hari angin segar menerjangku. Di suatu kesempatan, Neva berbincang denganku.
“Gw putus dengan Rylai.” itulah sepenggal kalimat yang menjadi inti pembicaranku dengannya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Dia masih sayang sama mantannya.”
Tak heran Rylai dari pagi terdiam. Bahkan main kartu pun tidak. Tapi Neva tidak demikian. Mungkin karena dia terbiasa hiperaktif. Aku pun melontarkan pertanyaan, “Loe ngga bener-bener suka sama Rylai, kan?”
Dia hanya menggeleng tanpa kata. Entah apa itu maksudnya. Mungkin ia hanya menggeleng karena berharap pertanyaanku didengar Rylai dan gelengannya juga dilihatnya, sebagai balas dendam.
Tapi Rylai bahkan saat itu tidak berada di dalam kelas tempat kami berbincang.
Dan tak sepantasnya aku bergembira. Mereka berdua sahabatku. Aku harus berbuat sesuatu agar mereka bisa bahagia, meski mereka terlihat tidak apa-apa saat ini. Kupikir mereka hanya saling menyembunyikan perasaannya saja.
Keesokan harinya ia melanjutkan ceritanya.
“Gw ngga tahu harus bagaimana lagi. Dia masih terus SMS-in gw. Emang sih dia ngga minta baikan. Paling cuma nanya PR atau nanya kabar doang.”
“Menurut gw, dia ingin PDKT kedua. Dan gw rasa dia bener-bener menyesal. Kenapa ngga dimaafin aja?”
“Dia belum minta maaf.”
Dalam hari aku ingin mendiskusikan hal ini dengan Rylai, tapi sisi hati yang lain berkata lebih baik jangan. Ada juga sisi yang berkata bahwa gw harus memanfaatkan hal ini.
Tapi, kesempatan tak harus kutunggu lama. Neva mengajakku jalan-jalan ke mall untuk membeli buku sepulang sekolah ini. Aku tidak benar-benar berniat mengambil kesempatan ini, tapi karena dia hanya punya sedikit teman. Dan juga ia butuh tumpangan.
Sampai di sana, semua berjalan lancar seperti yang satu sisi hatiku harapkan. Kita saling bersenda gurau dan lain-lain. Setelah mendapat buku yang dicari, kita makan di restoran fastfood. Di sinilah segalanya mulai membingungkan, yaitu ketika ia mulai membicarakan tentang rasa. Bukan rasa makanannya.
“Loe pernah suka sama cewek, ngga?” tanyanya kepadaku.
“Sudah pasti. Memangnya kenapa?”
“Apa kalo lelaki menyukai cewek, bisa bertahan lama?”
Dari sini aku berpikir bahwa ia sedang curhat. Aku menjawab “Ngga juga, sih.” yang seharusnya kujawab lain.
“Bagaimana dengan loe?”
Di sini aku berpikir bahwa ia mulai membandingkan aku dengan Rylai karena aku dan dia adalah sahabat baik yang sudah berteman lama. Aku menjawab, “Gw ngga pernah serius dengan hal ini.” yang membuatku berpikir kenapa aku menjawab demikian.
“Kalo gw yang suka dengan loe, apa loe bisa mulai suka sama gw?”
Di bagian ini, aku mulai bingung dengan apa yang sedang dipikirkan perempuan ini. Dan aku tidak jadi menyesali apa yang sudah kujawab kepadanya. Dan aku tak bisa menjawab itu. Apalagi ia bertanya sambil memberikan senyuman yang tak pernah ia tunjukkan kepadaku.
“Sudahlah, kita pulang yuk.” aku menghentikan pembicaraan ini karena menganggap ini sudah melewati batas.
Selama jalan, ia berusaha menggenggam tanganku tapi aku terus berusaha menghindar. Gadis ini tak pernah menyerah. Setelah mendapatkannya, ia berseru, “Yeee, I got it!” dan menggenggamnya dengan sekuat tenaga.
Gadis yang unik. Sayang sekali Rylai meninggalkannya.
Tapi, kebahagian yang terpancar di senyumannya tak bertahan lama. Tiba-tiba ia berhenti dan melepaskan genggaman tangannya. Rupanya ia melihat Rylai sedang berjalan dengan mantannya, yang saat itu lebih anggun dan lebih cantik dari dirinya. Dunia ini memang sempit, dan seringkali mempertemukan antara insan manusia di saat yang tepat.
Tak kusangka ia melinangkan air matanya. Ternyata, gadis yang selama ini kuanggap kuat, fragile extremely di dalam. Air matanya semakin deras seiring dengan lamanya ia melihat pemandangan itu.
“Gw ngga nangis kok. Ayo pulang.” katanya sambil menahan isakan.
Tapi setelah sampai di basement parkir, ia menolak pulang bersamaku. Ia berniat jalan sendiri. Dan, memang benar ia berjalan, dengan kakinya, menuju rumahnya yang berjarak 3 km dari mall. Aku tahu ia gadis yang kuat, tapi aku tak tega melihat ia berjalan terus sementara aku dengan nyamannya mempersempit jalan raya dengan mobilku.
Aku terus mengikutinya. Mengiringi langkah kakinya di sisinya sambil berharap ia akan naik mobilku setelah lelah.
“Neva, rumah loe masih jauh. Gw ngga mau ninggalin loe di sini.”
“Udah deh, jangan ngikutin gw. Kalo loe dan mobil butut loe masih ngikutin juga, kita ngga berteman lagi!”
Mendengar itu, aku turun dari mobil dan berjalan mengikutinya dari belakang.
“Kenapa masih ngikutin juga?’
“Tanpa mobil. Kita masih berteman kan?”
Neva segera berhenti. Ia memelukku dan menangis di dadaku. Ia juga memukul-mukul dadaku selayaknya anak kecil. Kali ini aku tak bisa menghindar.
“Gw dan Rylai ngga bisa bersama lagi. Sekarang gw harus bahagia bersama siapa?”
“Loe masih punya teman kan?’
“Iya, tapi siapa?’
“Gw.”
Ia menghentikan tangisannya meski masih ada sedikit isakan. Ia memandangku dengan tatapan yang tak pernah dia berikan kepadaku sebelumnya.
Tapi apa yang akan dia berikan selanjutnya mungkin adalah hal yang tak pernah diberikan kepada siapapun. Ia berusaha menciumku. Posisinya saat itu cukup strategis. Tapi saat bibirku hampir tersentuh oleh bibirnya, aku menghindarinya dan segera menyeretnya ke dalam mobil seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya.
Keesokan harinya, aku berusaha datang lebih awal dan berhasil untuk tidak terlambat. Aku bisa datang 12 menit lebih cepat dari bel. Sebenarnya tujuanku datang lebih awal adalah karena ingin berbincang bersama Rylai. Tapi tidak jadi karena Neva ternyata datang lebih awal dariku. Entah ada apa, tapi ia mengejekku karena datang lebih telat dari dirinya.
Saat jam istirahat, kaum pria bermain kartu dan kaum wanita belanja di kantin. Di saat seperti inilah aku mulai berbincang bersama Rylai. Aku memanggilnya agar ia mau duduk sebentar bersamaku.
“Ryl, loe masih sayang sama Neva, kan?”
“Loe ngomong apa sih?”
“Jawab aja.”
“Ngga ada hubungannya dengan loe.”
“Lalu kenapa loe jalan dengan Devi kemarin?”
“Itu juga ngga ada hubungannya dengan loe. Lagipula, loe ngga akan mengerti situasinya.”
“Sudah jelas ada hubungannya. Neva teman gw. Dan gw ngga mau dia sedih terus-terusan karena mikirin loe.”
“Dia sedih? Serius loe?”
“Loe mau baikan dengan dia, kan? Kalo mau, gw bisa bantu.”
Rylai pun mengangguk pertanda bahwa ia setuju dengan persetujuan itu. Mungkin aku sudah gila, di saat kesempatan itu ada di depan mata, aku malah memberikannya kepada orang lain. Tapi itulah yang terbaik. Aku yakin Neva masih menginginkan Rylai dan begitu juga sebaliknya. Aku hanya ingin yang terbaik bagi teman-temanku. Tapi aku tak bisa menolong lagi bila Neva tetap menginginkanku dan mengabaikan Rylai.
Jam sekolah usai. Aku mengajak Neva ke tempat parkir. Aku mengajak Neva ke tempat parkir, membuatnya berpikir aku akan mengajaknya jalan. Tapi aku tidak akan mengajaknya jalan. Dia pun terheran-heran karena aku tidak mengajaknya ke mobilku. “Kita telah melewati mobil loe. Mau ke mana sih?” tanyanya.
Sudah jelas ia terheran-heran karena aku membawanya ke mobilnya Rylai. Di sana, ‘kejutan’nya sudah menunggu.
Rylai, sambil bersandar di mobilnya, sudah menunggu. Ia kemudian menatap Neva. Neva enggan membalas tatapannya itu dan malah berbalik menghadapku.
“Apa sih maksud semua ini?” tanyanya.
“Di dunia ini masih ada orang yang lebih baik untuk dicintai. Bukan gw, tapi Rylai.”
“Tapi,...”
“Neva, dengerin dulu kata-katanya.”
Neva pun berbalik menghadap Rylai. Ia melangkah mendekatinya. Aku bersembunyi dari balik mobil untuk memberi privasi dan berusaha untuk tidak mendengar suara mereka. Berat sekali, dan aku tak percaya telah melakukan hal ini. Tapi inilah yang terbaik untuk mereka.
Setelah empat menit berlalu, dalam hati aku ingin berbalik melihat perkembangannya. Meski rasanya berat, aku mengintip dari balik kaca mobil. Yang kulihat, mereka sudah saling menggenggam tangan. Lalu saling berpelukan. Berat rasanya melihat itu. Satu-satunya yang memperingan perasaan ini hanyalah mereka ia tidak saling tersenyum.
Aku menghampiri mereka, tapi tidak terlalu dekat. Setelah membiarkanku melihat acara peluk-memeluknya, yang sesungguhnya membuat hatiku panas, Rylai mendekatiku. Ia menggenggam tanganku dengan jabat tangan persahabatan.
“Thanks, man. You are really my best friend.” katanya. Itu aku anggap pujian. Dari situ aku tahu semuanya berjalan lancar.
Selama Rylai mengatakan itu, aku melihat Neva memandangku dengan tatapan yang lagi-lagi tak pernah kulihat sebelumnya. Entah ia punya berapa jenis tatapan. Tatapan yang aneh, aku tak bisa mengungkapkannya. Tapi aku akan terima semua makian yang akan datang darinya.
Aku merelakan Neva masuk ke dalam mobil yang bukan milikku. Setelah mobil pergi, hanya asap putih yang menemaniku.
Aku kembali ke mobilku. Mobil yang sering dibilang butut oleh Neva. Aku tertawa bila mengingat itu. Tapi aku lalu menundukkan kepalaku ke atas setir mobil saat mengingat Neva telah kembali ke Rylai saat segalanya akan berjalan menuju mimpi. Hanya di saat inilah hati dan emosiku tak bisa kompak. Air mata sudah terlanjur keluar, padahal aku tak menginginkan itu terjadi. Tapi aku tak menyangkal aku merasakan sakit.
Esok harinya, aku terlambat enam menit dari yang seharusnya. Saat aku masuk kelas, aku diusir oleh guru bahasa Indonesia yang rajin mengajar. Tapi aku bisa melihat Neva tidak ada di dalam kelas. Aku berpkir ia belum datang.
Aku pergi ke kantin untuk menunggu pelajaran itu berakhir. Lalu kutemukan makhluk unik itu. Ternyata Neva datang lebih awal dari diriku meski masih terlambat dan diusir juga.
Tapi tak seperti biasanya, saat aku dan dia sudah bertatap mata dengannya candaan pasti sudah datang. Tapi tak ada.
Aku mendekatinya. Ekspresi wajahnya masih sama. Tak ada keinginan bagiku untuk membuatnya bertambah kecewa lagi.
“Kita masih berteman kan?”
“Ngga.”
Aku tidak kaget mendengar itu. Tapi aku kecewa mendengarnya. Yang kutahu, ia belum menyelesaikan kalimatnya.
“Kita ngga berteman lagi karena loe tuh menyebalkan.” lanjutnya. Dan itu ia katakan dengan nada yang aku harapkan, nada bercanda yang khas dirinya.
“Dan loe lebih menyebalkan lagi, tahu?” aku membalas candaannya itu.
“Traktir gw. Traktir gw atau kita ngga akan saling bicara lagi.”
Akhirnya kembali juga keceriaan yang aku alami sebelumnya. Keceriaan yang sering aku alami bersama Neva. Keceriaan bersama sahabat. Memang hal ini cukup indah. Meski masih bisa lebih, tapi aku tak berharap demikian karena mungkin keceriaan ini tak akan datang dalam bentuk hubungan yang lain.
Neva, I love you too. But we suppose to be a friend.

Tidak ada komentar: