Jumat, 28 Maret 2008

Can’t be forever in Love

20 November, aku berkenalan dengan seseorang di kantin. Ternyata ia anak Teknik Sipil. Berarti gedungnya bersebelahan dengan denganku yang merupakan siswa Teknik Lingkungan tahun kedua ini. Namanya Lisa, dan ia sering bersama-sama kawan-kawannya. Aku sering mengajaknya pulang bersama.
Dua minggu kami menjalin hubungan yang cukup dekat. Awalnya aku senang kami cukup dekat. Tapi entah kenapa, aku merasa bosan. Dan rasa itu tiba-tiba hilang begitu saja.
Karena cinta tak ada, Lisa dan aku hanya berteman, dan masih bertahan hingga kini. Aku tak pernah lebih. Dan aku tak pernah tahu bagaimana perasaannya kepadaku.
Lalu hadirlah Selna di hatiku. Itu terjadi pada 14 Desember saat kami dalam satu kelompok dan melakukan studi lingkungan di sekitar kawasan pusat kota.
Studi selesai, kami masih jalan. Tapi itu tidak lama. Tiga hari kemudian aku sudah hampir lupa bahwa aku pernah mencintainya kemarin. Dan bisa ditebak, rasa itu hilang lagi.
31 Desember, kampus mengadakan prom nite dan acara menyaksikan kembang api di hutan kampus. Keadaan yang remang-remang di sana sangat sempurna untuk menyaksikan kembang api.
Lalu, Eska yang malam itu datang dengan gaun putih menarik perhatian semua orang, termasuk gw. Dan aku berhasil menjadi orang satu-satunya yang menemaninya. Kenapa? Mudah saja. Bila setiap mata memperhatikannya, jadilah si pemilik mata yang menatap sebaliknya. Aku sudah tahu bagaimana Eska.
Acara selesai, tapi kami belum. Beberapa hari setelahnya kami seperti sedang memiliki hubungan spesial.
Dia begitu cantik, manis, dan sikapnya benar-benar seperti perempuan. Tapi kekagumanku hanya tiga minggu lamanya. Kami belum sempat jadian karena aku berpikir hubungan kami sudah lebih dari cukup. Dan karena hal itu pula aku merasa tak memiliki ikatan yang kuat dengannya setelah rasa itu hilang.
Memandang masa lalu seperti memiliki jendela waktu di depan mata. Mungkin mataku membaca tiap baris novel yang berada di depan mukaku. Tapi pikiranku melayang melintasi waktu.
“Gw harus menghentikan ini semua,” gumamku sambil menutup novel. Sulitnya mempertahankan cinta memang membuat stress. Seperti orang gila yang mengaku memiliki tujuan hidup, begitu pikirku. Tapi perempuan memang bukan tujuan hidupku. Mungkin itu penyebabnya aku tak bisa mencintai perempuan secara permanen.
“What’s up bro? Bengong aja nih!” seru seorang temanku yang super aktif ini. Agak berlawanan denganku, meski tidak terlalu. Bila aku berkutub S, dia belum tentu U. Bisa saja T, tengah.
Oh iya. Namanya Troy, anak Psikologi di kampus yang sama. Hanya beda gedung aja.
“Ngga ada apa-apa kok,” jawabku santai.
“Oh iya, Shed. Gw mau menjadikan loe bahan studi gw. Boleh ga?”
“Selama tidak mengganggu hidup gw.”
Aku menunduk, menghela napas, dan memandang rerumputan di bawahku. Hijau sekali. Menutupi tanah dengan sempurna. Tapi sejauh apapun aku membuang pikiranku, Troy masih bisa membaca kegalauanku. Aku tak akan bisa menutupinya. Ia tahu aku masih memikirkan masalah perempuan itu.
“Shed, coba deh ambil sisi positif dari semua ini.”
“Apa?”
“Akhirnya pendapat gw benar. Manusia mempunyai kecenderungan untuk berganti pasangan.”
“Gitu?”
“Iya. Kenyataannya hanya empat persen dari seluruh spesies mamalia yang setia pada pasangannya sampai akhir, belum termasuk manusia.”
Mungkin pendapatnya memang benar. Aku hanya binatang. Memikirkan itu malah membuatku semakin down. Troy sepertinya tidak berbakat menjadi psikolog. Tidak ada psikolog yang membuat pasiennya semakin down, kecuali dengan beberapa alasan.
Aku segera meninggalkannya berlalu menuju mobilku yang terparkir sejah lima meter dari tempatku duduk. Begitu aku menyentuh setir, tanpa kusadari Troy telah berada di sampingku. “Numpang ya?” tanyanya, dan itu mengagetkanku.
“Aku tak menjawab. Hanya langsung tancap gas, berharap ia segera turun dari mobilku.
Lisa, Selna, Eska, dan juga cewek yang lain yang aku lupa namanya, memang amat cantik. Menurut Troy aku memang ngga normal, bisa bosan dengan perempuan secantik mereka. Ku rasa aku bukannya bosan. Bukan juga karena mereka tidak suka. Hanya rasa itu yang pergi entah ke mana.
Kalau aku bisa memerintahkan Cupid si dewa cinta, akan kusuruh dia memanahku dengan jangkar Titanic.
Tak perlu waktu lama bagiku untuk merasa kosong dalam penantian ini. Bukannya aku mengharapkannya, tapi rasa ini datang begitu saja dan awalnya begitu indah. Jujur saja, datang dan perginya rasa ini memang melelahkan hatiku.
Ada seorang perempuan lagi yang membuatku terpesona lagi. Dia berbeda dengan yang biasanya. Sungguh tak biasa. Aku pun heran kenapa bisa suka.
Kutemukan dia di seminar anti global yang diselenggarakan di fakultasku. Saat itu aku adalah salah pembicaranya. Ia berasal dari fakultas MIPA, dan mengajukan pertanyaan yang cukup menantang. Bisa dibilang, saat itu adalah perdebatan yang sangat panjang antara aku dan dia. Perempuan yang cukup menantang.
Selesai seminar aku menemuinya tepat di saat ia melewati pintu aula.
“Hai Tiara,” sapaku. Ya, namanya Tiara.
“Hai Shed. Seminar yang seru, ya?”
“Ya. Mau debat lagi?”
Ia menatapku dengan pandangan tidak percaya sekaligus kagum, seolah yang tadi diperdebatkan tidak cukup. Dan seolah ia kehilangan kata-kata. Padahal aku tidak tahu apa yang akan diperdebatkan nanti.
“Loe nantangin ya?” katanya.
“Ngga kok. Cuma mau mengajak makan siang aja.”
“Ngga lucu deh.”
“Kalau lucu, gw pasti tertawa. Jam 12 di kantin utara.”
Aku suka melihat senyumannya yang terbit sebelum ia berlalu. Aku bisa mendengar hatinya berkata “Dasar gila!”, atau “Ok deh gila!”? Keduanya terdengar sama.
Hingga akhirnya pada jam 12 siang aku yakin bahwa tadi hatinya berkata “See you there,” karena kenyatannya ia benar-benar datang. Tapi, mau apa sih dia membawa banyak buku yang rata-rata setebal kulit bumi?
“Semua ini buku yang gw pinjam dari perpustakaan. Mau debat kan?”
Perempuan ini memang ‘keras’. Sepertinya aku harus bersabar hingga dia mengerti maksud hatiku.
Tapi aku tak sabar. Aku tak peduli meski jarak fakultasnya sejauh setengah lingkaran bumi, aku datang menemuinya setelah jam kuliahnya usai. Tapi aku agak kecewa karena ia menolak pulang bersama.
“Kenapa?” tanyaku.
“Karena loe munafik. Katanya peduli pemanasan global, kok bawa mobil?”
“Kalo gw ngga bawa mobil, loe mau pulang bareng gw?”
“Ngga janji ya?”
Aku masih kuat menghadapinya. Aku rela tidak naik mobil dan berangkat naik motor Troy demi dia, demi pulang naik bus bersamanya.
“Shed, loe ngga perlu memaksakan diri. Gw ngga yakin orang yang biasa naik mobil kuat naik bus,” kata Troy.
“Peringatannya bukan omong kosong. Padahal bukan jam sibuk, tapi busnya penuh sesak. Aku ngga tahan dengan bau asap dan hawa panas yang kadang lewat dan menyerang. Tapi ini demi Tiara.
Benar-benar perempuan yang unik.
Minggu paginya aku menhubunginya. Aku berniat mengajaknya jalan-jalan.
“Kebun Raya Bogor?” tanyanya seolah ngga yakin.
“Iya. Gw yakin loe ngga ada kerjaan.”
“Dari mana loe tahu? Loe memata-matai gw ya?”
“Ngga juga. Jadi bagaimana keputusannya?”
“Gw ikut.”
“Kalau begitu sebaiknya loe cepat, karena gw sudah berada di depan rumah loe.”
Aku bisa melihat Tiara muncul di balkon kamarnya aku bisa melihat senyumnya itu, manis sekali.
“Ngga apa-apa kan pakai mobil?” tanyaku
“Ngga apa-apa. Kan ngga rutin.”
Hari itu adalah salah satu hari terindah dalam hidupku. Apalagi setelah tahu bahwa itu adalah tempat wisata favoritnya. Aku bisa merasakannya, meski sudah tengah hari tempat itu masih saja teduh. Entah bagaimana panasnya Jakarta pada saat yang sama.
“Kalau global warming sudah semakin parah gw akan mengungsi ke sini,” kataku, yang membuatnya tertawa kecil. Ia tahu aku bercanda karena bila global warming semakin parah, tumbuhan pun tidak akan ada yang hidup.
Hari itu sungguh amat berharga.
Hari esok akhirnya tiba juga. Aku sudah menunggu hari esok untuk bertemu Tiara, bukan untuk dinasehati oleh Troy. Rasanya aku ingin meneriakan kata-kata itu di pada jamur tempel ini.
“Saran gw,” katanya kepadaku, “cepet-cepet jadian deh sama cewek ini sebelum rasa itu hilang lagi,” lanjutnya. Mungkin ada benarnya juga. Selama ini aku cenderung tidak mengambil langkah penting itu.
Bisakah aku melakukannya? Seperti kebanyakan pria lain, rasa takut pun pasti ada. Rasa takut tidak diterima, dan lain-lain. Itu karena Tiara tidak seperti perempuan lain yang ada di dalam hidupku. Ia membantu berbuat ekstra agar mendapatkan perhatiannya.
Baru enam hari. Aku masih bisa melakukannya sebelum rasa itu hilang lagi. Masih ada kesempatan. Benarkah?
Setiap kali aku melihatnya, dan memikirkan kata-kata itu, aku menjadi gugup. Tidak semudah berdebat tentang global warming. Bahkan untuk berkata sesuatu seperti “Loe cantik,” dan sebagainya, butuh ketinggian tinggi.
Tak heran hingga hari kedua puluh satu aku belum mengatakannya. Tapi aku heran, untuk perempuan yang tidak secantik Eska, rasa untuknya bisa bertahan selama ini. Mungkin ini karena ia tidak seperti perempuan lain dalam hidupku. Aku sudah mengatakan itu berkali-kali dalam hatiku. Perempuan lain dirasakan begitu mudah untuk didapatkan, tapi ia?
Godaan pun datang.
“Shed, sudah lama kita ngga jalan. Gw lagi bosan nih, sendirian di rumah.”
Eska menghubungiku di malam aku sedang memikirkan Tiara. Kenyataannya aku memikirkan Tiara setiap malam.
Suara Eska malam itu sungguh menggoda. Aku membayangkan betapa mudahnya aku bisa bersamanya, membelainya, atau bahkan menciumnya.
Tapi, terlalu mudah.
“Sorry, gwbanyak tugas nih. OK? Bye,” jawabku singkat. Dan juga aku harus mempersingkat penderitaan ini sebelum rasa itu hilang lagi.
Masih jam tujuh. Aku mengambil kunci mobilku dan pergi. Ke rumah Tiara.
Aku sudah sampai di depan kediamannya. Aku langsung bisa melihatnya yang sedang berdiri di balkon kamarnya, begitu juga ia yang langsung mengenali mobilku. Dan ia pun segera turun menghampiriku setelah melihatku.
Aku sudah sampai di depan kediamannya. Aku langsung bisa melihatnya yang sedang berdiri di balkon kamarnya, begitu juga ia yang langsung mengenali mobilku. Dan iapun segera menghampiriku setelah melihat wajahku.
“Hai Shed,” sapanya.
Aku tak membalas sapaannya. Aku, yang biasanya selalu memikirkan sesuatu sebelum berbuat, langsung menggenggam tangannya. Sungguh aku melakukan itu tanpa memikirkan mengapa atau apa akibatnya. Seluruhnya murni impatiency.
“Gw suka loe, Tiara.”
Ia terdiam di tempat. Pandangannya menjauh dariku dan wajahnya tidak tersenyum. Aku tahu ekspresi wajah ini. Ekspresi takut mengecewakan. Tapi ia sudah mengecewakanku.
“Shed, mungkin loe sama sekali tidak memperhatikan, ...” lalu ia melepaskan tangannya dariku, “atau loe ngga tahu apa artinya cincin dijari manis.”
Aku memperhatikan tangan kirinya dengan seksama. Benar, ada cincin emas putih dengan berlian kecil. Sungguh aku tidak tahu ada cincin di jari itu. Aku tidak pernah memperhatikannuya. Dan sangat sulit dipercaya.
“Gw sudah bertunangan,” katanya. Tanpa mengatakannya pun aku sudah tahu.
Jadi inikah rasanya sakit hati? Troy tak akan percaya bahwa ini adalah sakit hatiku yang pertama. Aku pernah merasakannya sebelumnya, hanya saja yang sekarang jauh lebih sakit.
“Tapi sungguh gw merasa bahagia loe berada di sini gw. Kita masih berteman, kan?” kata Tiara.
Sambil tersenyum aku berkata, “Tentu saja.” Sungguh itu senyuman yang membutuhkan banyak energi untuk melakukannya.
Setelah itu aku langsung pergi dari hadapannya dengan tidak berharap akan menemuinya lagi. Tapi aku tidak berharap aku tidak akan menemuinya lagi. Bila diizinkan untuk berharap, aku ingin agar aku tidak jatuh cinta lagi.

Jumat, 07 Maret 2008

Gadis di Koridor Berbeda

Jam enam pagi. Aku harus kuliah untuk mengejar cita-citaku. Fakultas teknik tak mungkin menunggu. Aku harus pergi meski setiap hari bus penuh.
Aku sudah berdiri sepuluh menit di belakang platform busway. Dan aku perkirakan akan mendapatkan bus itu dalam waktu lima belas menit. Lama ya? Tapi aku masih lebih beruntung dari pada orang-orang di belakangku. Satu bus hanya menerima lima sampai sepuluh orang di halte ini pada jam ini.
Dan keberadaanku juga tak lebih baik dari yang antri di arah lain. Aku antri di arah Dukuh Atas dan yang kumaksud adalah yang antri di arah sebaliknya.
Ah tidak. Gadis itu lagi. Gadis SMA yang sangat cantik. Ia antri di barisan itu yang lebih sedikit sepi dari pada antrianku. Sudah berhari-hari aku memperhatikannya. Dia sering naik busway dari halte sesak ini.
Lama kelamaan ia hilang dari pandanganku karena mendapatkan busnya.
Keesokan harinya seperti biasa. Jam enam tepat aku harus sampai di halte itu. Jakarta seperti arena perlombaan terhadap waktu. Dan aku harus sampai di halte ini secepatnya hanya untuk berbaris, menandakan kekalahanku yang tidak begitu pahit juga. Tapi hari ini aku beruntung. Aku berpapasan dengan gadis di pintu masuk halte.
“Hai,” sapaku.
“Hai,” jawabnya. Tak kusangka suaranya manis sekali.
Tapi aku tak bisa selamanya bersamanya. Untuk hari ini hanya bisa menyapanya saja. Untuk hari lain aku berjanji akan lebih baik lagi. Hari ini hanya langkah pertamaku yang sangat berharga bagiku.
Esok harinya lagi aku datang lebih dulu daripada gadis itu. Meski kuliah hari ini tidak terlalu penting aku tampak terburu-buru. Padahal gadis itu lebih santai dari pada aku yang anak kuliahan ini.
Gadis itu datang, lalu mengantri. Itu membuatku meninggalkan antrianku untuk menhampirinya. Walau yang kudapat hanya sapaan saja, aku tak peduli. Padahal risikonya tinggi. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menghabiskan satu antrian dan aku berpotensi telat masuk kampus. Meski kuliah masih ada besok, aku belum punya kepastian akan melihatnya lagi besok.
“Hai,”
“Hai. Loe ngga ikut ngantri? Nanti telat loh,”
“Gw santai hari ini. Oh ya, siapa nama loe?”
Akhirnya hari ini aku bisa tahu siapa namanya. Serena. Nama yang manis, seperti orangnya.
Tapi hal ini tak bisa berlangsung lama. Benar-benar, tak bisa mempertahankannya. Aku tahu itu setelah menawarkannya untuk jalan bareng nanti siang.
“Sorry Ivan. Sepertinya kita sudah terlalu jauh,” katanya.
“Ngga tuh. Baru lima menit,”
“Bukan begitu,”
Ia langsung menunjukkan cincin putih berkilauan yang berada di tangan kirinya. Aku tidak heran ia punya cincin. Sudah banyak perempuan seusianya saat ini mempunyai cincin.
Ternyata yang dimaksud bukan wujudnya, tapi maknanya dan orang yang memberikannya.
“Gw sudah bertunangan. Sorry yah?”
Aku tak bisa berkata-kata. Dan ia langusng menyambut bus seolah ia mengerti aku tak bisa memberi salam perpisahan.