Minggu, 03 Agustus 2008

My Future

Masa depan itu, baikkah diketahui? Secara akal sehat, masa depan tidak bisa diketahui karena belum terjadi. Tapi ada orang yang mengaku bisa mengetahui masa depan. Semacam Oracle, Clairvoyant, dsb.
Tapi bagaimana jika orang itu adalah orang yang menyukaimu?
“Hayden, loe sakit ya?” tanyaku dalam telepon.
“Ngga.”
“Mana mungkin loe bisa tahu gw akan jatuh dari tangga sebentar lagi? Gw turun pun karena menerima telepon dari loe.”
“Eh, kamar loe di atas ya?”
Aku segera menutup telepon itu dan kembali ke kamarku. Dan ternyata, Hayden benar. Aku terguling tujuha nak tangga dan mampir di depan telepon lagi. Rasanya memang sakit, tapi aku pernah jatuh dari ramp skateboard dan rasanya lebih sakit.
Aku meraih telepon dan mendial nomor Hayden segera.
“Halo.”
“Tell me how did you do that.”
Tidak hanya terjadi satu kali. Aku ingat ketika menyaksikan pertandingan basket bersama teman-teman dania termasuk. Di ronde kedua ia mengajakku bertaruh bahwa skornya akan berakhir 81-79. Aku mengikuti taruhannya, dan yang kalah harus membelikan untuk perjalanan pulang.
Dan skornya tepat 81-79. Aku menduga itu hanya tebakan beruntung saja. Tapi bila dipikir-pikir, itu keberuntungan yang amat sangat karena kemungkinannya sangat kecil. Memang sih, skor basket selalu berakhir di skor antara 75 sampai 110, tapi kemungkinannya tetap saja 35 kuadrat.
“I don’t say I have future sight. I just know,” jawabnya.
Sejak kasus basket itu, gw dan Hayden seperti anjing dan kucing yang selalu mengejek jika bertemu tapi tetap sahabat.
“Eh, jelek. Berapa skor Juventus nanti malam?” Seringkali itulah sapaanku ketika bertemu dengannya.
“Ga tahu, jelek. Ga sering kelihatan. Mau taruhan lagi ya?”
“Persiapan aja, soalnya ada indikasi uang gw akan habis menipis akhir bulan ini.”
“Bilang aja loe mau mengecat baru skateboard loe di Creative Shop.”
“Kok tahu?”
“Kok nanya?”
Ya, mengapa aku menanyakannnya. Ia bisa melihat masa depan. Bila ia mengatakan itu, berarti memang benar aku akan mengecat skateboradku nantinya bagaimanapun kondisi finansialku.
Aku dan Hayden memang sering bersama. Hal itu berawal dari kasus kursi kosong yang terisi olehnya yang datang sebagai murid baru dari sekolah yang hanya sedikit yang mengetahuinya. Ia orangnya unik, cerewet, dan lucu. Terkadang memang ngeselin sih. Aku berteman dengannya bukan karena kemampuan spesialnya. Tanpa itupun ia sudah spesial, sudah aneh.
Tapi mendadak ia berubah sikap. Entah apa yang aku lakukan, aku hanya meberi gambar baru pada skateboardku, berkenalan dengan perempuan cantik penjaga counter skateboard, aku semakin kurus, nilai fisikaku meningkat, membeli gitar baru dari uang hasil taruhan bola berkat bantuannya, dapat team basket baru, dan orang tuaku datang dari semarang untuk kunjungan bulanannya. Apa yang mungkin membuatnya demikian?
“Jelek, berapa nilai fisika loe?”
“Ngga terlalu bagus,” jawabnya simpel. Biasanya jika aku tanya demikian, ia selalu menjawab, “Jelek, seperti loe, Jelek.”
“Loe kurang makan, ya?” dugaku, karena kulihat ia semakin kurus. Sepertinya dunia semakin kurus, tidak hanya aku. Tapi dugaan itu aku tepais setelah temannya, Dena, menyapanya dan mengajaknya bermain basket. Ia menyambutnya dengan semangat.
Memang ada yang salah, tapi apa?
Sementara beberapa hari sudah berlalu, orang tuaku kembali ke Semarang, nilai fisikaku tetap tinggi, team basketku menantang team kampus, dan aku semakin sering jalan dengan Sherly, gadis penjaga counter skateboard itu.
“Haydee,” sapaku dengan nama kecilnya.
“Gw sedang tidak ingin makan es krim,” jawabnya.
“Apa yang loe mau sekarang? Tapi jangan mahal-mahal ya, uang gw tinggal sedikit.”
“Yang gw mau ngga mahal kok. Gw ingin malam ini loe diem aja di kamar dan tidak pergi.”
Aku tidak mengerti kenapa, tapi itu mudah dilakukan. Apapun akan aku lakukan asalkan bisa membuatnya kembali seperti dulu, dan juga asalkan tidak aneh-aneh. Mungkin ada maksudnya, tapi sebaiknya aku tidak bertanya. “OK, tapi makan bakso dulu ya? Gw laper.”
Hingga sore hari aku tidak bertanya-tanya mengapa ia meminta demikian, hingga Sherly menghubungiku dan mengajakku pergi malam-malam. Aku tak bisa begitu saja meminta pembatalan perjanjian kepada Hayden, tapi aku juga tidak ingin menolak Sherly. Entah apa yang harus aku lakukan.
Maka akupun pergi diam-diam dengan harapan Hayden tidak mengetahuinya. Tapi terlambat, Hayden sudah menungguku di depan gerbang dan sepertinya belum lama.
“Gw tahu loe akhirnya akan pergi,” katanya sambil memangku dirinya seolah kedinginan karena malam. Tapi malam tidak terasa dingin bagiku.
“Boleh gw tahu alasan mengapa gw ngga boleh pergi malam ini?”
“Gw ngga ingin loe pergi dengan Sherly,” jawabnya sambil berdiri lalu menatapku dengan tatapan yang belum pernah aku lihat.
“Kenapa?”
“Karena gw sayang sama loe.”
Ini membuka mataku. Ternyata itu penyebab berubahnya sikapnya terhadapku. Entah apa yang harus aku lakukan, dengan siapa aku pergi sebenarnya adalah hakku. Tapi seharusnya aku menghargai seseorang yang mencintaiku. Seharusnya aku mengerti. Sherly belum tentu menyukaiku sebesar rasa sayang Hayden terhadapku.
Aku segera menghampiri dan memeluknya. Entah apa yang ia pikirkan hingga ia berbuat demikian. Rasanya sulit membayangkan jika itu karena cinta, karena Hayden adalah Hayden. Tapi aku juga merasakan hal yangs ama terhadapnya, jika ada seorang pria yang mendekatinya, aku tidak akan membiarkannya. Yang aku lakukan pada Sherly hanya ketertarikan fisik saja, tidak seperti rasa tertarikku pada Hayden.
“Gw hanya main-main dengan Sherly, gw tetap milik loe. Loe bisa melihatnya kan?”
Dalam pelukanku, aku bisa merasakan ia menggeleng.
“Someday you will. Trust me.”
Hayden lalu menatapku. Air matanya jatuh bagai butiran jagung kecil menggelinding di atas kulit wajahnya yang halus. Tapi lalu ia mengusap air matanya sendiri sambil tertawa, “Apa yang gw lakukan? Memeluk loe? Gw pasti sudah gila.”
Aku langsung tersenyum. Aku suka sikapnya yang seperti anak-anak. Tidak akan bisa aku dapatkan seseorang sepertinya, yang bisa mengisi hari-hariku dengan luar biasa.

Summer Glow

Pindah jam siaran memang menyebalkan, tapi aku ingin membuktikan bahwa aku loyal terhadap pekerjaan.
Aku adalah Sergei Frost, penyiar radio yang biasanya membawakan musik yang direquest oleh para pendengar. Tapi karena musim dingin, banyak yang cuti sakit. Maka aku dipindahtugaskan ke acara yang katanya sangat penting bagi radio itu, yaitu My Diary. Aku bahkan belum pernah mendengarnya karena disiarkan jam sembilan malam pada akhir minggu, waktu di mana aku belum pulang ke rumah. Karena pemindahan waktu tugas ini, aku terpaksa mengorbankan jam mainku di akhir minggu ini. Meski belum pernah mendengarnya, secara garis besar aku tahu teknis acaranya dari produser pelaksanaku.
My Diary adalah acara yang membiarkan seorang pendengar menelepon ke stasiun radio dan menceritakan kisah-kisahnya yang paling berkesan di hati. Mendengar itu saja aku sudah merasa aneh. Aku harus merelakan jam mainku hanya untuk acara ini.
Tapi aku menjadi tertarik pada acara ini karena suatu hal, yaitu dengan siapa aku berbicara. Nickname-nya Summer Glow. Mengingatkanku pada sesuatu, tapi aku harus memastikannya dulu. Ia adalah perempuan berusia 22 tahun dan bekerja sebagai perawat. Tidak salah lagi.
“Selamat malam para pendengar yang setia, gw Frostbite yang akan menjadi host kalian semua untuk malam ini,” salamku ketika siaran dimulai. Aku tak pernah menyebut nama asliku ketika siaran.
“Orang yang akan menceritakan kehidupannya kali ini adalah seorang perempuan ber-nickname Summer Glow, berusia 22 tahun yang bekerja sebagai perawat. Dia tidak ingin menyebutkan di mana tempat tinggalnya, tapi langsung saja kita sapa, Summer!”
“Hai!” jawabnya dengan ceria melalui telepon.
“Summer Glow, nick name loe unik sekali. Dari mana sih asalnya?”
“Gw ingat beberapa tahun lalu ada seseorang yang memanggil gw demkian di malam musim panas. Katanya, gw bersinar seperti fireflies. Tapi itu sudah lama sekali.”
“Dan loe mau menceritakan itu?”
“Bukan, tapi yang telah terjadi pada akhir musim panas lalu.”
“Kami semua siap mendengarkan.”
“Ok. Dua tahun yang lalu gw lulus akademi dan magang di sebuah rumah sakit. Gw bekerja 24 jam sehari dan setelah itu libur satu hari dan begitu seterusnya. Awalnya memang agak melelahkan, tapi tidak lagi sejak seorang dokter muda bidang general surgery mengisi hati gw. Sebut saja namanya Storm.”
“Storm dan Summer, sepertinya tidak cocok ya?”
“Andai gw tahu itu dari awal. Hubungan kami memang sempat naik turun. Dia sangat tampan sehingga banyak perempuan yang menyukainya. Tapi itu juga karena salah gw, yang sering kali tergila-gila pada pria tampan, bahkan pada dokter kucing gw.”
“Sepertinya sudah jelas kalian sulit untuk bersama.”
“Andai gw tahu itu dari awal, tapi dia sangat lovable. Gw ngga bisa lepas dari dirinya, hingga hari itu terjadi.”
Hening sebentar. Aku tahu ia sedang mempersiapkan emntalnya untuk menceritakan itu. “Kami siap mendengarkan.”
“OK. Waktu itu Sabtu malam tanggal 4 Agustus, di kafe pinggir muara sungai canal street. Satu setengah tahun hubungan gw dengannya bisa dihitung dengan dua tangan sudah berapa kali kami kencan, termasuk yang itu, karena selain shift yang berbeda frekuensinya, ia sangat sibuk bahkan di jam bebasnya. Makanya, setiap kali kencan, gw senang banget. Tempatnya pun sangat romantis.”
“Sepertinya loe senang sekali.”
“Tentu saja gw senang. Apalagi malam itu ia memberikan cincin berlian. Ia melamar gw ketika itu. Bisa dibayangkan betapa gw sangat bahagia ketika itu.”
“Oh, terus?”
“Tapi itu tidak lama. Esok paginya, gw berangkat kerja. Siangnya ketika ingin mempersiapkan ruang operasi untuk korban tembak, gw menemukan Storm sedang bermesraan dengan, sebut saja Lily, dokter prenatal surgery, di ruang operasi itu. Gw berusaha menahan rasa sakit, dan tetap profesional sambil berkata ‘Dokter Storm, anda akan mengoperasi korban luka tembak. Bersiap-siaplah.’ Gw sakit hati banget! Gw sudah memberikan segalanya kepadanya, bahkan gw sudah tidur dengannya.”
“Apakah seluruh rumah sakit tahu hubungan kalian?”
“Ya, termasuk dokter prenatal surgery itu.”
“Lalu, apa yang terjadi.”
“Malamnya, gw ijin pulang karena merasa ngga enak badan. Mungkin implikasi dari kejadian siang itu. Tapi langit tidak mengijinkan gw pulang, hujan deras datang ketika itu. Dan Dokter Storm sudah berada di belakang gw ketika gw sedang menunggu hujan. Gw tidak ingat dia bilang apa, tapi dia hanya mengaku menyesal. Gw sudah mendengar itu ribuan kali, dan gw ngga tahan lagi. Gw banting cincin itu di hadapannya, lalu pergi. Itulah terakhir kalinya gw melihatnya. Gw bahkan sampai pindah kerja. Sekarang gw kerja di Whitedale Hospital.”
“Deket dengan kantor pusat radio ini donk.”
“Oh ya? Seberapa dekat?”
“Sepuluh menit naik bus. Lalu apa yang akan loe lakukan dengan kehidupan loe? Sudah siap untuk jatuh cinta lagi?’
“Gw akan hidup seperti biasa. Masalah laki-laki, gw belum tahu. Gw masih trauma.”
“Sebelum loe mengakhiri siaran ini, bisa loe ceritakan dari mana asal nickname Summer Glow itu?”
“Ok. Seseorang, sebut saja Frost, memberikan nama itu di pertengahan musim panas lima tahun lalu, tepat sebelum gw masuk akademi. Dia laki-laki yang baik, ramah, dan tidak mudah tergila-gila pada perempuan. Dia teman gw sejak kecil, jadi gw tahu hal itu. Di suatu malam, ia mengajak gw ke tempat di mana fireflies biasa muncul. Banyak sekali, sangat indah. Dan tepat ketika itu, ia memanggil gw Sumer Glow. Sebenarnya ia memberikan satu nickname lagi.”
“Apa itu?”
“Rahasia dong. Yang jelas, jika bisa gw ingin sekali bertemu lagi dengannya.”
“Kenapa?”
“Rahasia dong.”
“Rahasia terus sih. Ya udah, masih ada lagi yang ingin diceritakan?”
“Sepertinya ngga ada deh. Sudah dulu ya. Kalau ada cerita lagi, gw telepon deh.”
“Baiklah. Sampai jumpa, Summer Sunshine!”
“Bye! Eh?”
Hubungan telepon sudah terputus, dan aku siap untuk menutup acara. “Inilah akhir dari acara My Diary, semoga malam kalian cukup menyenangkan. Terutama karena ini weekend, ngga ada salahnya dong bersenang-senang di rumah sambil mendengarkan acara radio ini. Kita bertemu lagi minggu depan. Bye.”
Aku langsung mengambil jaketku yang tebal dan berwarna hitam segera setelah aku keluar dari ruang siaran. Aku ingin pergi, ke Whitedale Hospital. Akulah Frost dalam cerita Summer Glow.
Elena Summer, itulah nama aslinya. Dan benar aku memberikan nama itu tepat sebelum ia pergi ke luar kota untuk belajar di akademi keperawatan. Summer Glow dan Summer Sunshine. Nama asli Dokter Storm adalan Jack Storm, kakak dari teman kuliahku. Aku tahu hubungan itu, tapi ia tidak tahu aku tahu.
Tapi sekarang ia sendiri. Dan aku sudah mendengar bahwa ia ingin bertemu denganku. Mungkin ia sedang tidak bekerja, tapi aku bisa tahu di mana tempat ia tinggal.
Elena Summer, perempuan kecil yang selalu ceria dan bersinar di mataku. Itulah mengapa aku memanggilnya Summer Glow. Dan aku masih menginginkannya.