Selasa, 17 Februari 2009

Brown Haired Boy

Di suatu siang di stasiun yang ramai, aku baru saja keluar dari kereta subway. Aku berjalan ditemani suhu udara yang panas, karena itulah aku menuju mesin penjual minuman.
Ada dua belas jenis minuman kaleng yang bisa aku beli. Terkadang aku sulit dalam memilih ketika aku dihadapkan oleh banyak pilihan walau aku ingat apa yang sering aku minum.
Ketika aku masih dalam keadaan bingung dengan pilihan-pilihan itu, ehembus angin lewat di belakangku. Itu berarti ada orang yang baru saja lewat dekat punggungku. Ya, memang ada. Seorang laki-laki berambut coklat dengan tubuh yang agak kurus baru saja berjalan melewatiku lalu ke mesin penjual minuman yang kedua yang bersebelahan denganku.
Pada awalnya aku tak peduli hingga satu kaleng yang ia pilih dengan cepat keluar dari mesin. Ia membukanya, lalu meminumnya. Dan tanpa sengaja mata kami bertemu.
Sebagai perempuan, aku merasa mata coklat itu sanga menarik.
Aku mengedipkan sebelah mataku sebagai ucapan ‘hai’, tapi ia malah menoleh ke belakang karena mengira aku mengedip ke orang selain dia. Wajah lugunya menandakan bahwa ia tidak bisa berkata apa-apa.
Setelah menekan tombol untuk memilih satu jenis minuman kaleng aku menggerakkan jariku untuk menyuruhnya mendekatiku. Ia hanya tersenyum aneh sambil benar-benar berjalan mendekatiku, dengan langkah yang agak kaku.
Aku tidak mengerti mengapa aku melakukan ini. Ada sesuatu yang menarik pada dirinya. Aku pun tahu ia juga menginginkanku.
Sepanjang hari hingga malam aku bersamanya. Aku tahu ia meluangkan waktu untukku seperti yang aku lakukan untuknya. Dan selama itu pula ia masih bertingkah malu-malu seolah aku adalah seniornya dan aku seperti tante genit yang menggoda remaja. Tapi aku yakin bahwa ia lebih muda dariku.
Tapi perpisahan harus selalu ada mengiringi suatu pertemuan, dan tidak aku sangka akan secepat ini.
“Aku harus pergi sekarang. Sesuatu telah terjadi,” katanya setelah menerima telepon.
“Tapi kita bisa bertemu lagi kan?”
Ia diam. Aku berharap ia mengatakan sesuatu.
“Aku mengetti,” kataku. Lalu aku memberikannya ciuman yang lembut di bibirnya. Ia tidak menampakkan ekspresi apapun selain suatu ekspresi yang menunjukkan bahwa itu adalah ciuman pertamanya. “Dengan begini kita memiliki ikatan.”
Lalu tiba saatnya ia benar-benar pergi. Tapi sebelum pergi, ia mencium tanganku dengan lembut. “Ia sudah belajar banyak dariku,” bisikku dalam hati. Ia sudah agak berubah dari laki-laki lugu dan pemalu menjadi sesuatu yang lain. Tapi aku tetap menginginkannya.
Dan langkahnya mulai bergerak menjauhiku dengan begitu cepat. Aku tak ingin menyadari bahwa itu sedang terjadi.
Keesokan harinya aku ke stasiun subway seperti hari kemarin. Aku ingin menemuinya lagi. Lalu aku menuju mesin penjual minuman kaleng yang sama, tapi ia belum datang. Maka aku menunggunya sambil duduk di bangku panjang yang berada di depan mesin penjual minuman kaleng dan menenggak satu kaleng minuman yang aku beli dari mesin itu. Aku meminumnya perlahan-lahan.
Satu jam aku telah menungggu. Setiap orang yang lewat di depanku. Setiap orang yang lewat di depanku, setiap laki-laki yang membeli minuman di mesin itu aku perhatikan terus karena mungkin itu adalah dia.
Dua jam berlalu, tapi dia belum muncul. Betapa bodohnya aku, tidak menanyakan alamat rumah atau nomor teleponnya, atau apapun yang bisa membuatku bisa bertemu dengannya lagi. Aku terlalu yakin ia dan aku akan bertemu lagi.
Tanpa aku sadari aku telah melepaskan air mata. Seharusnya sih tidak. Aku merasa tidak punya alasan untuk itu. Entahlah, aku tidak tahu.
Aku meninggalkan tempat itu dengan segera meski masih ada keinginan untuk menunggunya. Aku merasa telah melakukan hal yang sia-sia.
Tiga tahun kemudian aku sedang menunggu kereta yang menuju ke tempat kerjaku. Aku berdiri menghadap rel karena lima menit lagi keretaku akan datang jika sesuai jadwal.
Tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang dan mencium bahuku yang terbuka. Lalu ia membisikkan namaku dengan lembut, dan aku segera mengetahui siapa itu. Pria berambut coklat itu, yang sudah tiga tahun ak tunggu.
Aku berbalik dan menciumnya sebagai balasan. Tapi lebih lama karena aku telah menunggunya sangat lama. “Ada banyak hal yang harus kita bicarakan,” kataku.
“Ya,” jawabnya.

This Is For The Lonely

“This is for the lonely,” itulah tulisan yang tertempel di meja yang menemani dua bangku di kantin sekolahku. Sudah jelas itu untuk siapa. Untukku, satu-satunya orang yang sedang sendiri di kantin. Yang lain tidak sendiri, sudah berpasang-pasangan.
Akupun membuka bungkusan burger dari paket bernama “This is for the lonely.” Ya, ada banyak ejekan untuk mereka yang sendiri, padahal rasanya sama saja. Tidak hanya tertempel di meja kantin dan bungkusan burger, tapi juga minuman tetrapack. Yang tidak berlabel tulisan menyebalkan itu memiliki dua lubang dan dua sedotan. Sudah jelas apa maksudnya.
Lagipula, ada enaknya juga sendirian. Tak perlu membagi minuman. Satu gelas untuk sendiri. Dan aku tak ingin mengaku tidak sendiri. Itu akan merusak harga diriku. Bukan berarti aku ingin sendiri, tapi sepertinya aku kaum adam terakhir yang single.
Kelas hari ini telah selesai. Aku meraih mobilku, di tempat parkir bertuliskan “This is for the lonely.” Tempat parkir paling sempit meski muat untuk beberapa mobil. Tapi itu tempat parkir paling sepi.
Mungkin sebentar lagi ada jalur khusus untuk the loneliers, pikirku ketika mengendarai mobil menuju rumah. Untungnya hanya sekolahku yang mendewa-dewakan cinta. Belum tersebar ke seluruh dunia. Belum.
“You can sop this.”
“Not with you.”
Pembicaraan itu selalu terjadi antara aku dengan Jenny, perempuan cantik yang menginginkanku. Padahal ia pun tak ingin menyandang status single dengan bersanding dengan pria yang tak diinginkannya. Sudah jelas mengapa aku tak menginginkannya. Aku tak ingin perempuan yang hanya menginginkan status bahkan bila dia sangat menyukaiku. Aku ingin perempuan yang memiliki harga diri.
Tapi satu hari yang membuat hidupku berbeda. Ketika aku memarkir mobilku di pagi hari, aku melihat ada mobil lain yang parkir di tempat aku biasa parkir. Aku tahu itu mobil perempuan, karena aku berpikir bahwa, pria macam apa yang mempunyai sedan berwarna pink candy?
Dan masalahnya, hampir mustahil ada perempuan bermobil berstatus lonely. Bahkan yang jelek sekalipun.
Aku berusaha membuang jauh segala spekulasi dan bergegas menuju kelas fisika. Setiap meja di setiap kelas ini dibuat untuk dua bangku, sehingga sudah jelas apa maksudnya. Tapi ada meja khusus untukku dengan stiker itu walau bangkunya tetap dua. Itu untuk menunjukkan bahwa aku benar-benar sendiri.
Lalu perempuan cantik dengan rambut sebahu, tubuh yang mungil, dan berpenampilan selayaknya siswi SMU mendekati mejaku. Lalu ia duduk di sampingku.
“Sorry, girl. Don’t you read this?” kataku sambil menunjuk stiker itu.
“I do.”
Setelah merapikan tas dan seragamnya, ia tersenyum kepadaku sambil berkata, “When you think you are lonely, actually you aren’t. Hi, I’m Clara. I’m a new student here. Nice to meet you.”
Aku tidak pernah berpikir bahwa aku tidak sendiri. Keberadaannya membuatku optimis. Kami masih jauh lebih baik dari pada mereka yang menyembunyikan perasaannya dan kenyataan.