Jam enam pagi. Aku harus kuliah untuk mengejar cita-citaku. Fakultas teknik tak mungkin menunggu. Aku harus pergi meski setiap hari bus penuh.
Aku sudah berdiri sepuluh menit di belakang platform busway. Dan aku perkirakan akan mendapatkan bus itu dalam waktu lima belas menit. Lama ya? Tapi aku masih lebih beruntung dari pada orang-orang di belakangku. Satu bus hanya menerima lima sampai sepuluh orang di halte ini pada jam ini.
Dan keberadaanku juga tak lebih baik dari yang antri di arah lain. Aku antri di arah Dukuh Atas dan yang kumaksud adalah yang antri di arah sebaliknya.
Ah tidak. Gadis itu lagi. Gadis SMA yang sangat cantik. Ia antri di barisan itu yang lebih sedikit sepi dari pada antrianku. Sudah berhari-hari aku memperhatikannya. Dia sering naik busway dari halte sesak ini.
Lama kelamaan ia hilang dari pandanganku karena mendapatkan busnya.
Keesokan harinya seperti biasa. Jam enam tepat aku harus sampai di halte itu. Jakarta seperti arena perlombaan terhadap waktu. Dan aku harus sampai di halte ini secepatnya hanya untuk berbaris, menandakan kekalahanku yang tidak begitu pahit juga. Tapi hari ini aku beruntung. Aku berpapasan dengan gadis di pintu masuk halte.
“Hai,” sapaku.
“Hai,” jawabnya. Tak kusangka suaranya manis sekali.
Tapi aku tak bisa selamanya bersamanya. Untuk hari ini hanya bisa menyapanya saja. Untuk hari lain aku berjanji akan lebih baik lagi. Hari ini hanya langkah pertamaku yang sangat berharga bagiku.
Esok harinya lagi aku datang lebih dulu daripada gadis itu. Meski kuliah hari ini tidak terlalu penting aku tampak terburu-buru. Padahal gadis itu lebih santai dari pada aku yang anak kuliahan ini.
Gadis itu datang, lalu mengantri. Itu membuatku meninggalkan antrianku untuk menhampirinya. Walau yang kudapat hanya sapaan saja, aku tak peduli. Padahal risikonya tinggi. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menghabiskan satu antrian dan aku berpotensi telat masuk kampus. Meski kuliah masih ada besok, aku belum punya kepastian akan melihatnya lagi besok.
“Hai,”
“Hai. Loe ngga ikut ngantri? Nanti telat loh,”
“Gw santai hari ini. Oh ya, siapa nama loe?”
Akhirnya hari ini aku bisa tahu siapa namanya. Serena. Nama yang manis, seperti orangnya.
Tapi hal ini tak bisa berlangsung lama. Benar-benar, tak bisa mempertahankannya. Aku tahu itu setelah menawarkannya untuk jalan bareng nanti siang.
“Sorry Ivan. Sepertinya kita sudah terlalu jauh,” katanya.
“Ngga tuh. Baru lima menit,”
“Bukan begitu,”
Ia langsung menunjukkan cincin putih berkilauan yang berada di tangan kirinya. Aku tidak heran ia punya cincin. Sudah banyak perempuan seusianya saat ini mempunyai cincin.
Ternyata yang dimaksud bukan wujudnya, tapi maknanya dan orang yang memberikannya.
“Gw sudah bertunangan. Sorry yah?”
Aku tak bisa berkata-kata. Dan ia langusng menyambut bus seolah ia mengerti aku tak bisa memberi salam perpisahan.
Aku sudah berdiri sepuluh menit di belakang platform busway. Dan aku perkirakan akan mendapatkan bus itu dalam waktu lima belas menit. Lama ya? Tapi aku masih lebih beruntung dari pada orang-orang di belakangku. Satu bus hanya menerima lima sampai sepuluh orang di halte ini pada jam ini.
Dan keberadaanku juga tak lebih baik dari yang antri di arah lain. Aku antri di arah Dukuh Atas dan yang kumaksud adalah yang antri di arah sebaliknya.
Ah tidak. Gadis itu lagi. Gadis SMA yang sangat cantik. Ia antri di barisan itu yang lebih sedikit sepi dari pada antrianku. Sudah berhari-hari aku memperhatikannya. Dia sering naik busway dari halte sesak ini.
Lama kelamaan ia hilang dari pandanganku karena mendapatkan busnya.
Keesokan harinya seperti biasa. Jam enam tepat aku harus sampai di halte itu. Jakarta seperti arena perlombaan terhadap waktu. Dan aku harus sampai di halte ini secepatnya hanya untuk berbaris, menandakan kekalahanku yang tidak begitu pahit juga. Tapi hari ini aku beruntung. Aku berpapasan dengan gadis di pintu masuk halte.
“Hai,” sapaku.
“Hai,” jawabnya. Tak kusangka suaranya manis sekali.
Tapi aku tak bisa selamanya bersamanya. Untuk hari ini hanya bisa menyapanya saja. Untuk hari lain aku berjanji akan lebih baik lagi. Hari ini hanya langkah pertamaku yang sangat berharga bagiku.
Esok harinya lagi aku datang lebih dulu daripada gadis itu. Meski kuliah hari ini tidak terlalu penting aku tampak terburu-buru. Padahal gadis itu lebih santai dari pada aku yang anak kuliahan ini.
Gadis itu datang, lalu mengantri. Itu membuatku meninggalkan antrianku untuk menhampirinya. Walau yang kudapat hanya sapaan saja, aku tak peduli. Padahal risikonya tinggi. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menghabiskan satu antrian dan aku berpotensi telat masuk kampus. Meski kuliah masih ada besok, aku belum punya kepastian akan melihatnya lagi besok.
“Hai,”
“Hai. Loe ngga ikut ngantri? Nanti telat loh,”
“Gw santai hari ini. Oh ya, siapa nama loe?”
Akhirnya hari ini aku bisa tahu siapa namanya. Serena. Nama yang manis, seperti orangnya.
Tapi hal ini tak bisa berlangsung lama. Benar-benar, tak bisa mempertahankannya. Aku tahu itu setelah menawarkannya untuk jalan bareng nanti siang.
“Sorry Ivan. Sepertinya kita sudah terlalu jauh,” katanya.
“Ngga tuh. Baru lima menit,”
“Bukan begitu,”
Ia langsung menunjukkan cincin putih berkilauan yang berada di tangan kirinya. Aku tidak heran ia punya cincin. Sudah banyak perempuan seusianya saat ini mempunyai cincin.
Ternyata yang dimaksud bukan wujudnya, tapi maknanya dan orang yang memberikannya.
“Gw sudah bertunangan. Sorry yah?”
Aku tak bisa berkata-kata. Dan ia langusng menyambut bus seolah ia mengerti aku tak bisa memberi salam perpisahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar