“Oh my God, I’m late!” seruku.
“Shiv, loe mau ke mana?” kekasihku menyeru dari belakang sambil mengejarku.
“Teman gw sudah menunggu.”
Di depan ruang kuliah, dengan memakai pakaian serba hitam, MP3 player tersambung dengan earphone di telinganya, dan game portable di tangannya, ia tidak akan bosan menunggu teman yang ngaret, bahkan aku yang sudah sering ngaret ini.
“Lex, sorry gw telat lagi.”
Sahutanku menyadarkannya dan langsung melepas earphone di telinga kanannya. Lalu ia melihat jam dan berkata “Baru sepuluh menit telat.” Ia berkata demikian karena mayoritas teman-temannya ngaret lebih lama dari itu.
“Shiv, siapa nih?”
Aku lalu mengenalkan Kevin, kekasihku, kepada Alex. Tapi entah mengapa Kevi dengan segera memproklamirkan diri sebagai kekasihku di depan Alex. Hal itu memang benar, tapi itu terkesan sombong. Aku benci sekali ketika ia mulai menyombongkan diri, seolah ia adalah yang terbaik.
Aku harap musik yang sedang didengar Alex cukup keras sehingga ia tidak mendengar Kevin menyombongkan diri.
Alex adalah manusia yang paling sedikit menunjukkan ekspresinya, apapun yang terjadi.
Aku pernah berkhayal Alex menyukaiku. Itu terjadi bukan tanpa alasan.
Seminggu yang lalu Alex mengantarku pulang. Aku yang merupakan perempuan yang sangat biasa saja diantar pulang oleh Alex yang terkenal di kelas karena sikapnya yang dingin tetapi sangat cerdas. Ketika itu ia tak tahu Kevin ada dan memilikiku. Sikapnya yang ditunjukkan kepadaku adalah sikap yang cukup hangat, seolah aku lupa bahwa ia adalah orang yang biasa bersikap dingin.
Tak heran ketika itu aku merasa ia menyukaiku. Tapi kali ini ia kembali dingin dan sedikit ekspresi.
“Jadi, mau belajar apa?”
Suara berat Alex mengagetkanku ketika aku, Kevin, dan dia berjalan ke koridor fakultas untuk mencari tempat yang tepat untuk belajar. Ya, ia akan mengajariku karena ujian sudah dekat. Aku memintanya ketika ia mengantarku pulang minggu lalu.
“Mekanika Fluida ya? Gw ngga biasa main air sih.” Aku berusaha melucu agar Alex menjadi sedikit ‘hangat’, tapi sia-sia. Mungkin karena itu semua perhatian yang diberikan Kevin kepadaku sepanjang jalan terasa hambar.
Pantaskah aku berpikir Alex sedang cemburu? Untuk perempuan yang sangat biasa saja, beruntung sekali jika aku bisa disukai dua pria yang luar biasa. Kevin merupakan anak orang kaya, banyak temanku iri karena ia memilikiku.
Tapi Kevin memang pria yang brengsek. Hingga penjelasan prinsip Bernoulli oleh Alex selesai Kevin terus menggangguku dengan alasan sedang butuh perhatian. Tentu saja ia tidak mengerti apa-apa tentang prinsip Bernoulli, ia hanya mahasiswa ilmu komputer.
Dua jam kemudian, aku sudah merasa jenuh dengan semua rumus Mekanika Fluida ini.
“Lex, thanks ya. Loe pasti kesel banget karena gw ngga fokus,” gara-gara Kevin.
“Ada yang lebih buruk dari loe.”
Berarti aku bukan murid pertamanya. Aku tidak heran, ia memang pria yang sangat cerdas. Dan kabarnya ia juga mengajar di bimbel SMA.
Alex pergi duluan meninggalkan aku dan Kevin. Ia terlihat terburu-buru. Kini aku dan Kevin punya sesuatu untuk dibicarakan.
“Kevin! Gw ngga suka!”
“Apa?”
“Kenapa ketika gw sedang belajar loe mengganggu gw?”
“Lalu kenapa? Sepertinya itu berhasil?”
“Hah?”
“Dia terlihat jealous.”
“Maksud loe apa?”
“Jangan menghindar lagi. Gw tahu seminggu yang lalu ia yang mengantar loe pulang.”
Aku terdiam sebentar memahami arti kata-katanya. Aku boleh mengatakan bahwa ia mengada-ada. Tapi sesungguhnya ia hanya merasa terancam dengan keberadaannya. Jika aku menjadi berubah haluan, itu karena aku tahu siapa yang lebih pantas untuk dicintai. Dan sebenarnya sikapnya itu menunjukkan kelemahan terbesarnya.
“Jadi selama ini gw salah menilai loe.”
“Maksud loe apa, Shiv?”
“Loe lebih tahu siapa diri loe sebenarnya, dan loe merasa terancam dengan keberadaannya? Gw jadi sadar siapa kini yang lebih pantas dicintai.”
“Mungkin gw harus menyegarkan kembali ingatan kecil loe bahwa gw yang membiayai kuliah loe di sini, gw yang menyumbang di banyak panti asuhan tiap bulan atas nama loe, dan rumah yang loe tempati adalah atas nama keluarga gw. Seharusnya loe berpikir sebelum berbicara seperti itu.”
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi jika mengenai hal itu. Harusnya aku sadar, mencintai seseorang secara berlebihan memang salah, apalagi aku telah mengorbankan banyak hal untuk mencintainya.
“You won me for now, Kevin.” Aku mengalah, dan ia menguasaiku lagi.
Ia telah berubah. Aku tak peduli ke arah mana aku pergi saat ini. Memikirkan itu malah membuatku sadar aku telah terkurung di dalam penjara yang mengapung.
Seminggu kemudian aku dan Kevin terjebak di depan mini market oleh hujan deras dan tanpa payung. Aku dan Kevin sedang berbelanja untuk keperluan malam tahun baru. Kami tidak akan terjebak seperti ini jika Kevin tidak menunjukkan egonya dengan membaw motor balap kebanggaannya dan tidak membawa mobilnya.
Dan sudah dua jam kami terjebak oleh hujan, tapi Kevin malah asik dengan handphonenya, membicarakan bagaimana cara membuang uang yang cepat di weekend ini. Sebenarnya bukan itu topiknya, tapi di telingaku terdengar seperti itu.
Dan aku kedinginan. Kevin yang sedang memakai jaket motornya tidak sadar bahwa aku sedang memakai kaus yang tipis dan itu karena permintaannya.
Tiba-tiba Alex lewat di hadapan kami, membawa payung dan sweater hitam. Meski hujan deras, angin tidak kencang sehingga masih memungkinkan bagi manusia untuk berjalan-jalan dengan sebuah payung.
Alex berhenti di depan kami dan menawarkan payungnya.
“Tapi loe sendiri bagaimana?”
“Sebentar lagi teman gw datang.”
Karena aku tidak dengan segera merespon tawarannya, Alex memberikan payung itu kepada Kevin. Tanpa keraguan serta tanpa satupun kata terucap, ia mengambilnya.
“Shiv, ayo,” seru Kevin, memerintahkanku untuk segera pulang karena payung sudah tersedia.
“Thanks ya, Lex.”
“Tunggu, Shiv.”
Aku menahan langkahku. Alex melepas sweaternya dan memberikannya kepadaku. Betapa malunya aku menerima perhatian dari orang lain yang bukan kekasihku sendiri, tapi seharusnya Kevin lebih malu. Tapi tidak terlihat ekspresi apapun dari wajah Kevin yang kini terlihat lebih hina bagiku. Bahkan Alex rela berkorban demiku dengan hanya memakai kaus tanpa lengan berdiri di mini market meneduh karena hujan.
Malam ini aku tahu siapa yang lebih pantas untuk dicintai, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Kevin adalah makhluk yang paling hina yang aku tahu, tapi aku tak memikirkan itu saat ini. Aku sedang meratapi nasibku yang tak bisa merasakan cinta yang aku inginkan.
Jam sembilan malam aku akhirnya bisa sendirian di rumah. Kevin menjagaku hingga jam tidurku, tapi aku tak ingin tidur hingga hal yang seharusnya aku lakukan terlaksana. Setelah Kevin pergi aku bisa melakukannya.
Aku harus menghubungi Alex, yang tak bisa aku lakukan jika Kevin berada di dekatku.
“Halo, Lex. Gw mengganggu ga?”
“Ngga tuh. Gw belum tidur. Kenapa?”
“Loe lagi ngapain?”
“Menyelesaikan sketsa saluran air.”
“Tuh, kan. Gw mengganggu.”
“Malam masih panjang. To the point aja, ada apa?”
“Gw mau berterima kasih atas kebaikan loe kemarin. Dan gw mau minta maaf atas sikap Kevin yang tidak tahu malu itu.”
“Dia punya malu, tapi ia mencintai loe.”
“Maksud loe?”
“Dia sebenarnya punya malu. Tapi karena ia mencintai loe, dia tidak peduli dengan itu. Dia tidak ingin menahan loe lebih lama karena hujan.”
“Tapi, ia enggan menyerahkan jaketnya.”
“Ia sedang membaw laptop, iya kan? Ia tidak ingin laptopnya rusak karena hujan. Bukankah di laptop itu berisi kenangan kalian berdua?”
Aku merasa ia hanya mengada-ada. Kenapa setiap laki-laki suka mengada-ada? Tapi entah mengapa hal ini membuatku meneteskan air mata. Entah karena sikap rendah diri Alex atau karena aku tak bisa memilikinya?
“Seandainya kita bertemu dua tahun lebih awal, apakah ada kesempatan bagi loe untuk menyukai gw?”
“Gw yakin itu tidak, karena sejak tiga tahun lalu gw sudah memiliki seseorang yang sangat pantas untuk dicintai.”
Dalam sekejap aku merasakan sakit, dan mungkin akan permanen. Ini adalah rasa sakit yang sesungguhnya. Ternyata selama iniaku salah sangka. Tapi aku sudah terlanjur merasakan sakit.
Seandainya ketika itu ia tidak mengantarku pulang. Semua hal yang serba indah selalu aku awali dengan seandainya bila itu belum terlaksana. Semakin dirasakan tidak mungkin jika aku mengawalinya dengan pengertian lampau.
“Ok kalau begitu. Sorry sudah mengganggu.”
Aku diam sebentar. Malam ini akan menjadi sangat panjang bagiku. Mungkin ini adalah hukuman karena aku terlambat.
“Shiv, loe mau ke mana?” kekasihku menyeru dari belakang sambil mengejarku.
“Teman gw sudah menunggu.”
Di depan ruang kuliah, dengan memakai pakaian serba hitam, MP3 player tersambung dengan earphone di telinganya, dan game portable di tangannya, ia tidak akan bosan menunggu teman yang ngaret, bahkan aku yang sudah sering ngaret ini.
“Lex, sorry gw telat lagi.”
Sahutanku menyadarkannya dan langsung melepas earphone di telinga kanannya. Lalu ia melihat jam dan berkata “Baru sepuluh menit telat.” Ia berkata demikian karena mayoritas teman-temannya ngaret lebih lama dari itu.
“Shiv, siapa nih?”
Aku lalu mengenalkan Kevin, kekasihku, kepada Alex. Tapi entah mengapa Kevi dengan segera memproklamirkan diri sebagai kekasihku di depan Alex. Hal itu memang benar, tapi itu terkesan sombong. Aku benci sekali ketika ia mulai menyombongkan diri, seolah ia adalah yang terbaik.
Aku harap musik yang sedang didengar Alex cukup keras sehingga ia tidak mendengar Kevin menyombongkan diri.
Alex adalah manusia yang paling sedikit menunjukkan ekspresinya, apapun yang terjadi.
Aku pernah berkhayal Alex menyukaiku. Itu terjadi bukan tanpa alasan.
Seminggu yang lalu Alex mengantarku pulang. Aku yang merupakan perempuan yang sangat biasa saja diantar pulang oleh Alex yang terkenal di kelas karena sikapnya yang dingin tetapi sangat cerdas. Ketika itu ia tak tahu Kevin ada dan memilikiku. Sikapnya yang ditunjukkan kepadaku adalah sikap yang cukup hangat, seolah aku lupa bahwa ia adalah orang yang biasa bersikap dingin.
Tak heran ketika itu aku merasa ia menyukaiku. Tapi kali ini ia kembali dingin dan sedikit ekspresi.
“Jadi, mau belajar apa?”
Suara berat Alex mengagetkanku ketika aku, Kevin, dan dia berjalan ke koridor fakultas untuk mencari tempat yang tepat untuk belajar. Ya, ia akan mengajariku karena ujian sudah dekat. Aku memintanya ketika ia mengantarku pulang minggu lalu.
“Mekanika Fluida ya? Gw ngga biasa main air sih.” Aku berusaha melucu agar Alex menjadi sedikit ‘hangat’, tapi sia-sia. Mungkin karena itu semua perhatian yang diberikan Kevin kepadaku sepanjang jalan terasa hambar.
Pantaskah aku berpikir Alex sedang cemburu? Untuk perempuan yang sangat biasa saja, beruntung sekali jika aku bisa disukai dua pria yang luar biasa. Kevin merupakan anak orang kaya, banyak temanku iri karena ia memilikiku.
Tapi Kevin memang pria yang brengsek. Hingga penjelasan prinsip Bernoulli oleh Alex selesai Kevin terus menggangguku dengan alasan sedang butuh perhatian. Tentu saja ia tidak mengerti apa-apa tentang prinsip Bernoulli, ia hanya mahasiswa ilmu komputer.
Dua jam kemudian, aku sudah merasa jenuh dengan semua rumus Mekanika Fluida ini.
“Lex, thanks ya. Loe pasti kesel banget karena gw ngga fokus,” gara-gara Kevin.
“Ada yang lebih buruk dari loe.”
Berarti aku bukan murid pertamanya. Aku tidak heran, ia memang pria yang sangat cerdas. Dan kabarnya ia juga mengajar di bimbel SMA.
Alex pergi duluan meninggalkan aku dan Kevin. Ia terlihat terburu-buru. Kini aku dan Kevin punya sesuatu untuk dibicarakan.
“Kevin! Gw ngga suka!”
“Apa?”
“Kenapa ketika gw sedang belajar loe mengganggu gw?”
“Lalu kenapa? Sepertinya itu berhasil?”
“Hah?”
“Dia terlihat jealous.”
“Maksud loe apa?”
“Jangan menghindar lagi. Gw tahu seminggu yang lalu ia yang mengantar loe pulang.”
Aku terdiam sebentar memahami arti kata-katanya. Aku boleh mengatakan bahwa ia mengada-ada. Tapi sesungguhnya ia hanya merasa terancam dengan keberadaannya. Jika aku menjadi berubah haluan, itu karena aku tahu siapa yang lebih pantas untuk dicintai. Dan sebenarnya sikapnya itu menunjukkan kelemahan terbesarnya.
“Jadi selama ini gw salah menilai loe.”
“Maksud loe apa, Shiv?”
“Loe lebih tahu siapa diri loe sebenarnya, dan loe merasa terancam dengan keberadaannya? Gw jadi sadar siapa kini yang lebih pantas dicintai.”
“Mungkin gw harus menyegarkan kembali ingatan kecil loe bahwa gw yang membiayai kuliah loe di sini, gw yang menyumbang di banyak panti asuhan tiap bulan atas nama loe, dan rumah yang loe tempati adalah atas nama keluarga gw. Seharusnya loe berpikir sebelum berbicara seperti itu.”
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi jika mengenai hal itu. Harusnya aku sadar, mencintai seseorang secara berlebihan memang salah, apalagi aku telah mengorbankan banyak hal untuk mencintainya.
“You won me for now, Kevin.” Aku mengalah, dan ia menguasaiku lagi.
Ia telah berubah. Aku tak peduli ke arah mana aku pergi saat ini. Memikirkan itu malah membuatku sadar aku telah terkurung di dalam penjara yang mengapung.
Seminggu kemudian aku dan Kevin terjebak di depan mini market oleh hujan deras dan tanpa payung. Aku dan Kevin sedang berbelanja untuk keperluan malam tahun baru. Kami tidak akan terjebak seperti ini jika Kevin tidak menunjukkan egonya dengan membaw motor balap kebanggaannya dan tidak membawa mobilnya.
Dan sudah dua jam kami terjebak oleh hujan, tapi Kevin malah asik dengan handphonenya, membicarakan bagaimana cara membuang uang yang cepat di weekend ini. Sebenarnya bukan itu topiknya, tapi di telingaku terdengar seperti itu.
Dan aku kedinginan. Kevin yang sedang memakai jaket motornya tidak sadar bahwa aku sedang memakai kaus yang tipis dan itu karena permintaannya.
Tiba-tiba Alex lewat di hadapan kami, membawa payung dan sweater hitam. Meski hujan deras, angin tidak kencang sehingga masih memungkinkan bagi manusia untuk berjalan-jalan dengan sebuah payung.
Alex berhenti di depan kami dan menawarkan payungnya.
“Tapi loe sendiri bagaimana?”
“Sebentar lagi teman gw datang.”
Karena aku tidak dengan segera merespon tawarannya, Alex memberikan payung itu kepada Kevin. Tanpa keraguan serta tanpa satupun kata terucap, ia mengambilnya.
“Shiv, ayo,” seru Kevin, memerintahkanku untuk segera pulang karena payung sudah tersedia.
“Thanks ya, Lex.”
“Tunggu, Shiv.”
Aku menahan langkahku. Alex melepas sweaternya dan memberikannya kepadaku. Betapa malunya aku menerima perhatian dari orang lain yang bukan kekasihku sendiri, tapi seharusnya Kevin lebih malu. Tapi tidak terlihat ekspresi apapun dari wajah Kevin yang kini terlihat lebih hina bagiku. Bahkan Alex rela berkorban demiku dengan hanya memakai kaus tanpa lengan berdiri di mini market meneduh karena hujan.
Malam ini aku tahu siapa yang lebih pantas untuk dicintai, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Kevin adalah makhluk yang paling hina yang aku tahu, tapi aku tak memikirkan itu saat ini. Aku sedang meratapi nasibku yang tak bisa merasakan cinta yang aku inginkan.
Jam sembilan malam aku akhirnya bisa sendirian di rumah. Kevin menjagaku hingga jam tidurku, tapi aku tak ingin tidur hingga hal yang seharusnya aku lakukan terlaksana. Setelah Kevin pergi aku bisa melakukannya.
Aku harus menghubungi Alex, yang tak bisa aku lakukan jika Kevin berada di dekatku.
“Halo, Lex. Gw mengganggu ga?”
“Ngga tuh. Gw belum tidur. Kenapa?”
“Loe lagi ngapain?”
“Menyelesaikan sketsa saluran air.”
“Tuh, kan. Gw mengganggu.”
“Malam masih panjang. To the point aja, ada apa?”
“Gw mau berterima kasih atas kebaikan loe kemarin. Dan gw mau minta maaf atas sikap Kevin yang tidak tahu malu itu.”
“Dia punya malu, tapi ia mencintai loe.”
“Maksud loe?”
“Dia sebenarnya punya malu. Tapi karena ia mencintai loe, dia tidak peduli dengan itu. Dia tidak ingin menahan loe lebih lama karena hujan.”
“Tapi, ia enggan menyerahkan jaketnya.”
“Ia sedang membaw laptop, iya kan? Ia tidak ingin laptopnya rusak karena hujan. Bukankah di laptop itu berisi kenangan kalian berdua?”
Aku merasa ia hanya mengada-ada. Kenapa setiap laki-laki suka mengada-ada? Tapi entah mengapa hal ini membuatku meneteskan air mata. Entah karena sikap rendah diri Alex atau karena aku tak bisa memilikinya?
“Seandainya kita bertemu dua tahun lebih awal, apakah ada kesempatan bagi loe untuk menyukai gw?”
“Gw yakin itu tidak, karena sejak tiga tahun lalu gw sudah memiliki seseorang yang sangat pantas untuk dicintai.”
Dalam sekejap aku merasakan sakit, dan mungkin akan permanen. Ini adalah rasa sakit yang sesungguhnya. Ternyata selama iniaku salah sangka. Tapi aku sudah terlanjur merasakan sakit.
Seandainya ketika itu ia tidak mengantarku pulang. Semua hal yang serba indah selalu aku awali dengan seandainya bila itu belum terlaksana. Semakin dirasakan tidak mungkin jika aku mengawalinya dengan pengertian lampau.
“Ok kalau begitu. Sorry sudah mengganggu.”
Aku diam sebentar. Malam ini akan menjadi sangat panjang bagiku. Mungkin ini adalah hukuman karena aku terlambat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar