Aku tak mengerti apa yang terjadi padaku. Sesuatu datang, hendak merasuki dan meracuniku. Tapi aku tak bisa menolaknya. Ini seperti candu.
Tahu apa aku soal candu? Aku bukan anak kedokteran, hanya perempuan tomboy 19 tahun yang kuliah di teknik mesin. Dan yang merasukiku adalah cinta, hal yang tak bisa kujelaskan tapi bisa kurasakan. Seharusnya aku masuk psikologi.
Adalah Alex, laki-laki tampan bertubuh kekar berusia 20 tahun yang juga orang teknik mesin. Dua hari yang lalu ia mengajakku jalan dengannya. Dan sudah hampir jam delapan malam, atau sepuluh menit lagi ia akan datang. Aku butuh waktu! Dua hari terlalu cepat. Aku harap dia tidak datang tepat waktu.
Biasanya aku santai dikejar deadline bertenggat dua jam sekalipun. Tapi kali ini beda. Alex, terlalu tampan untukku. Aku harus berubah untuknya, menjadi lebih feminim. Dan dua hari terlalu cepat untukku karena aku tak tahu caranya menjadi perempuan!
“Vi, kita mau lihat hasilnya,” kata temanku, Fina, sambil mengetuk pintu kamar kostku.
Aku harap Fina, Zen, Alisha, Frida, dan Yeni tidak tertawa melihatku. Tapi aku juga tak mengharapkan pandangan aneh yang telah mereka lakukan saat melihatku.
“Apa yang salah, ya Zen?” tanya Fina.
“Ngga tahu deh. Make up nya sudah bener.”
“Gw tahu yang salah, yaitu semua make up ini dan keinginan loe untuk berubah,” kata Alisha.
Alisha, adalah perempuan tercantik di kost putri ini. Dia kuliah Sastra Jepang di universitas berbeda. Meski begitu dia adalah mantannya Alex. Aku berpikir ia mengatakan ini karena aku adalah alasan Alex putus dengannya.
“Loe ngga ngomong begini untuk menjatuhkan gw, kan?” tanyaku.
“Vi, loe tahu ngga alasan ia memilih gw dulu? Karena gw di Sastra Jepang, yang menurutnya unik. Tapi kini gw sadar ada yang lebih unik, yaitu loe yang tomboy. Cewek satu-satunya di Teknik Mesin,” katanya sambil menghapus lipstik di bibirku.
“Gw setuju dengan Alisha. Selama ini perempuan sering mempercantik diri untuk mencari perhatian pria. Dan loe satu-satunya cewek yang gw kenal ngga berpikiran seperti itu,” kata Yeni memberi dukungan.
“Itu unik,” kata Frida.
“Loe semua salah. Laki-laki mengejar kecantikan. Begitu juga Alex.”
“Apa yang membuat loe lebih mengenal Alex dibanding Alisha yang sudah lima bulan bersamanya?” tanya Zen.
“Gw ngga peduli. Gw cuma mau lebih cantik dari sekarang! Kalo ngga ada yang mau bantuin gw, ngga apa-apa. Gw bisa sendiri.”
“Gw bantuin loe, meski sebenarnya gw setuju dengan Alisha. Gw hanya ngga mau loe lebih aneh dari sekarang,” kata Frida.
“Thanks Frid.”
Aku tak mau ingin kaca di hadapanku saat Frida merias diriku. Ini pertama kalinya seseorang meriasku. Bahkan pertama kalinya aku ingin dirias.
“Vi, mereka benar. Secantik apapun loe dirias, loe akan tetap terlihat aneh. Karena semua orang sudah terbiasa dengan loe yang dulu, tomboy. Image itu ngga akan bisa hilang,” komen Frida padaku.
Semakin lama mereka semakin mempengaruhiku. Kenapa mencintai saja bisa seperti ini?
“Vi, Alex datang?” kata Zen.
Aku semakin berdebar. Baru pertama kalinya aku seperti ini. Kenapa aku seperti ini?
“Frid, udah selesai kan?” tanyaku.
“Loe yakin ngga mau bercermin dulu?”
“Ngga sempet ah.”
Alasan aku menghindari cermin sebagian besar karena aku tidak sabar. Dan sebagian lagi karena aku tak ingin menjadi yang pertama melihat diriku. Nanti saja setelah mendapat dukungan dari yang lain.
Aku membuka pintu. Bisa kulihat Alex datang dengan gayanya yang seperti biasa: rambut berantakan, dagu yang perlu dicukur, kaus tanpa lengan, dan sedikit bau keringat. Dan ia sedang bicara dengan Alisha. Sepertinya sudah selesai. Aku hanya mendengar suara berbau maaf dari Alex.
“Hai Alex,” sapaku.
“Hai. Loe,.. agak berubah ya?”
Bahkan Alex pun berpandangan aneh padaku. Semakin aneh saat mendekatiku. Apa rok jeansnya yang salah?
“Lex, gw cantik kan sekarang?”
Alex malah tertawa aku bertanya seperti itu. Aku percaya tak ada yang salah dengan riasanku. Frida tak mungkin mempermainkanku. Ia sendiri sudah biasa mendandani Alisha.
“Vi Natasha. Loe aneh. Loe kira gw mau ngajak loe dinner? Bioskop? Ke taman? Ngga, Vi,”
“Ke mana?”
“Vi. Gw juga pernah seperti loe. Gw yang dulu terbiasa berantakan seperti sekarang pernah mencoba berubah karena mencintai seseorang cewek,” katanya sambil melirik Alisha. “Tapi itu sia-sia. Untuk apa berubah bila orang menjadi tidak mengenali kita?”
Barisan kalimat Alex mempengaruhiku sekali. Entah harus berkata apa lagi. Aku hanya bisa berkata “Terus, kita mau ke mana?”
“Ke laut. Sana ganti baju loe.”
Aku menurutinya. Aku ke kamarku untuk mengganti pakaianku. Pakaian yang biasa aku kenakan, jeans dan kaus, tanpa make up.
“Jadilah diri sendiri. Itu yang terbaik,” katanya saat menerima aku yang biasa terlihat di matanya. Kini matanya berbeda. Tampaknya aku tahu bagaimana pandangan seseorang yang mencintaiku.
Tahu apa aku soal candu? Aku bukan anak kedokteran, hanya perempuan tomboy 19 tahun yang kuliah di teknik mesin. Dan yang merasukiku adalah cinta, hal yang tak bisa kujelaskan tapi bisa kurasakan. Seharusnya aku masuk psikologi.
Adalah Alex, laki-laki tampan bertubuh kekar berusia 20 tahun yang juga orang teknik mesin. Dua hari yang lalu ia mengajakku jalan dengannya. Dan sudah hampir jam delapan malam, atau sepuluh menit lagi ia akan datang. Aku butuh waktu! Dua hari terlalu cepat. Aku harap dia tidak datang tepat waktu.
Biasanya aku santai dikejar deadline bertenggat dua jam sekalipun. Tapi kali ini beda. Alex, terlalu tampan untukku. Aku harus berubah untuknya, menjadi lebih feminim. Dan dua hari terlalu cepat untukku karena aku tak tahu caranya menjadi perempuan!
“Vi, kita mau lihat hasilnya,” kata temanku, Fina, sambil mengetuk pintu kamar kostku.
Aku harap Fina, Zen, Alisha, Frida, dan Yeni tidak tertawa melihatku. Tapi aku juga tak mengharapkan pandangan aneh yang telah mereka lakukan saat melihatku.
“Apa yang salah, ya Zen?” tanya Fina.
“Ngga tahu deh. Make up nya sudah bener.”
“Gw tahu yang salah, yaitu semua make up ini dan keinginan loe untuk berubah,” kata Alisha.
Alisha, adalah perempuan tercantik di kost putri ini. Dia kuliah Sastra Jepang di universitas berbeda. Meski begitu dia adalah mantannya Alex. Aku berpikir ia mengatakan ini karena aku adalah alasan Alex putus dengannya.
“Loe ngga ngomong begini untuk menjatuhkan gw, kan?” tanyaku.
“Vi, loe tahu ngga alasan ia memilih gw dulu? Karena gw di Sastra Jepang, yang menurutnya unik. Tapi kini gw sadar ada yang lebih unik, yaitu loe yang tomboy. Cewek satu-satunya di Teknik Mesin,” katanya sambil menghapus lipstik di bibirku.
“Gw setuju dengan Alisha. Selama ini perempuan sering mempercantik diri untuk mencari perhatian pria. Dan loe satu-satunya cewek yang gw kenal ngga berpikiran seperti itu,” kata Yeni memberi dukungan.
“Itu unik,” kata Frida.
“Loe semua salah. Laki-laki mengejar kecantikan. Begitu juga Alex.”
“Apa yang membuat loe lebih mengenal Alex dibanding Alisha yang sudah lima bulan bersamanya?” tanya Zen.
“Gw ngga peduli. Gw cuma mau lebih cantik dari sekarang! Kalo ngga ada yang mau bantuin gw, ngga apa-apa. Gw bisa sendiri.”
“Gw bantuin loe, meski sebenarnya gw setuju dengan Alisha. Gw hanya ngga mau loe lebih aneh dari sekarang,” kata Frida.
“Thanks Frid.”
Aku tak mau ingin kaca di hadapanku saat Frida merias diriku. Ini pertama kalinya seseorang meriasku. Bahkan pertama kalinya aku ingin dirias.
“Vi, mereka benar. Secantik apapun loe dirias, loe akan tetap terlihat aneh. Karena semua orang sudah terbiasa dengan loe yang dulu, tomboy. Image itu ngga akan bisa hilang,” komen Frida padaku.
Semakin lama mereka semakin mempengaruhiku. Kenapa mencintai saja bisa seperti ini?
“Vi, Alex datang?” kata Zen.
Aku semakin berdebar. Baru pertama kalinya aku seperti ini. Kenapa aku seperti ini?
“Frid, udah selesai kan?” tanyaku.
“Loe yakin ngga mau bercermin dulu?”
“Ngga sempet ah.”
Alasan aku menghindari cermin sebagian besar karena aku tidak sabar. Dan sebagian lagi karena aku tak ingin menjadi yang pertama melihat diriku. Nanti saja setelah mendapat dukungan dari yang lain.
Aku membuka pintu. Bisa kulihat Alex datang dengan gayanya yang seperti biasa: rambut berantakan, dagu yang perlu dicukur, kaus tanpa lengan, dan sedikit bau keringat. Dan ia sedang bicara dengan Alisha. Sepertinya sudah selesai. Aku hanya mendengar suara berbau maaf dari Alex.
“Hai Alex,” sapaku.
“Hai. Loe,.. agak berubah ya?”
Bahkan Alex pun berpandangan aneh padaku. Semakin aneh saat mendekatiku. Apa rok jeansnya yang salah?
“Lex, gw cantik kan sekarang?”
Alex malah tertawa aku bertanya seperti itu. Aku percaya tak ada yang salah dengan riasanku. Frida tak mungkin mempermainkanku. Ia sendiri sudah biasa mendandani Alisha.
“Vi Natasha. Loe aneh. Loe kira gw mau ngajak loe dinner? Bioskop? Ke taman? Ngga, Vi,”
“Ke mana?”
“Vi. Gw juga pernah seperti loe. Gw yang dulu terbiasa berantakan seperti sekarang pernah mencoba berubah karena mencintai seseorang cewek,” katanya sambil melirik Alisha. “Tapi itu sia-sia. Untuk apa berubah bila orang menjadi tidak mengenali kita?”
Barisan kalimat Alex mempengaruhiku sekali. Entah harus berkata apa lagi. Aku hanya bisa berkata “Terus, kita mau ke mana?”
“Ke laut. Sana ganti baju loe.”
Aku menurutinya. Aku ke kamarku untuk mengganti pakaianku. Pakaian yang biasa aku kenakan, jeans dan kaus, tanpa make up.
“Jadilah diri sendiri. Itu yang terbaik,” katanya saat menerima aku yang biasa terlihat di matanya. Kini matanya berbeda. Tampaknya aku tahu bagaimana pandangan seseorang yang mencintaiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar