Kelas pengantar kewarganegaraan.
Aku menguap terus-menerus di kuris paling belakang ruang kelas. Sejak SMP ku memang membenci pelajaran sosial. Sangat tidak penting. Rasa tidak sukaku kepada pelajaran ini sangat terlihat jelas bahkan oleh dosen.
“Kepada mahasiswa berkemeja hitam di belakang, jawab pertanyaan saja, mengapa Montesquieu mengemukakan teori Trias Politica?”
Aku menjawab, “Karena ia tidak mendapatkan kursi kekuasaan di monarki.”
Seisi kelas tertawa. Tapi aku belum selesai menjawab. “Di era monarki prancis, raja berkuasa secara absolut. Ia yang membuat peraturan, ia yang menjalankan pemerintahan, dan ia pula yang menjatuhkan hukuman bagi yang dianggapnya ersalah. Trias Politica mengenai pembagian kekuasaan menjadi Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif yang mencegah absolutisme pemerintahan. Keinginan manusia bisa ditebak, ingin memperoleh kekuasaan. Jika tidak bisa absolut, Montesquieu berharap masih bisa mencicipi sedikit kekuasaan melalui Trias Politica-nya. Dan jika teorinya diaplikasikan di jamannya, tentu saja ia menginginkan bisa menduduki salah satu dari tiga dewan itu.”
Kali ini aku mendapatkan tepuk tangan dari seluruh kelas.
“Bukan itu jawaban yang saya inginkan,” kata dosen.
“Ini pelajaran non eksak, jawabannya tidak ada yang pasti. Dua dosen di bidang non eksak yang sama pun bisa berbeda jawabannya, apalagi lebih dari dua. Bapak bertanya mengapa, berarti bapak menanyakan alasan. Ini hanya perkiraan saya saja, saya tahu jawaban yang bapak maksud ada di dalam buku yang bahkan belum saya buka sama sekali. Dan jawaban di dalam buku itu, entah apa itu jawaban yang sebenarnya atau hanya pandangan penulis, kritikus, ahli filsafat, ataupun pembuat teori. Sekali lagi, ini pelajaran non eksak. Pertanyaan seperti itu tidak memiliki jawaban yang pasti.”
Kembali riuhan tepuk tangan menghujaniku. Dan pak dosen pun membubarkan kelas setelah merasa tidak ada yang perlu diajarkan lagi. Aku pasti akan di-blacklist olehnya. Siapa yang peduli? Aku belajar di jurusan Teknologi Pangan, bukan Komunikasi. Untuk apa pelajaran seperti itu?
Tapi kelas tidak langsung bubar. Ada seorang anggota Dewan Perwakilan mahasiswa. Ia mengajak dua orang dari mahasiswa kelas itu untuk menjadi anggota DPM. Seorang perempuan bernama Indri mengajukan diri. Dan setelah satu menit belum ada calon kedua hingga aku mengajukan diri. Sebenarnya tujuanku mengajukan diri agar kelas cepat bubar saja.
“Loe, jadi DPM? Ga salah? Menjawab pertanyaan dosen saja ga bisa,” kata Indri kepadaku setelah anggota DPM itu keluar kelas.
“Gw hanya ingin kelas cepat bubar. Gw ga berniat bersaing.”
“Bilang aja loe ga mampu, ga bisa melakukan hal semudah ini.”
“Memang benar, kok. Gw ga bisa.”
Setelah aku mengemukakan pendapatku tentang pencalonan itu aku menjauh dari depan kelas menuju pintu. Tapi seruan Indri menghentikan langkahku. “Dicky, loe bencong.”
“Gw ga pernah mengaku demikian.”
“Tapi sikap loe menunjukkan demikian. Berani berbuat harus berani tanggung jawab. Loe sudah mencalonkan diri, setidaknya melajulah hingga tahap seleksi.”
Setelah itu, Indri pergi keluar kelas lewat pintu yang berlawanan. Aku sudah dinasehati demikian keras oleh sainganku sendiri, dengan begitu keras. Ya, sebenarnya memang tidak sulit melaju hingga tahap seleksi saja. Aku tinggal melengkapi berkas yang baru saja diberikan, dan dilengkapi dengan berkas lain berupa daftar riwayat hidup, opini mengenai legislatif, dan tanda tangan tiga puluh orang teman sekelas.
Tapi kenyataannya tidak demikian.
Di hari pertama pasca pengajuan diri, aku mulai mengumpulkan tanda tangan. Ya, tidak mudah karena Indri sudah merebut tanda tangan mayoritas sahabat dekatku di kelas. Mereka yang sudah memberikan tanda tangannya tidak bisa memberikannya lagi. Di hari pertama, aku hanya dapat enam tanda tangan, empat dari sahabatku yang masih setia dan belum dihampiri Indri dan dua lagi dari mahasiswa yang bahkan tidak aku kenal. Ya, itulah politik, semua mengenai dukungan. Seharusnya tidak sulit mendapatkan tanda tangan 30 orang dari 102 orang di kelas.
Hari ketiga. Esok adalah batas akhir pengumpulan berkas termasuk daftar tanda tangan. Tapi jumlah tanda tangan yang aku dapatkan baru sembilan. Dan hari ketiga itu adalah masa yang tersulit.
“Apa maksudnya ga mau?” tanyaku pada seorang mahasiswi di kelas.
“Pokoknya ga mau aja.”
Ia bukan yang pertama mengatakan demikian.
Tak lama kemudian, Harris, sahabat baikku yang tanda tangannya berada di urutan teratas daftar tanda tangan yang harus aku penuhi, mendatangiku. Ia memberiku selembar kertas. Tulisan yang berada di kertas itulah yang mengejutkanku.
Di kertas itu tertulis pembandingan antara aku dan Indri yang sangat tidak seimbang. Indri disandingkan dengan kata cantik, berbakat, cerdas, dan peka terhadap masalah sosial. Sedangkan namaku berada di sebelah kata berantakan, pemalas, sering tidur di kelas, dan tidak peduli dengan masalah sosial. Semua fakta tentangku dan Indri yang tertulis itu memang tidak salah, tapi mengapa aku diceritakan sifat terburukku sementara Indri diceritakan sifat terbaiknya. Apalagi di bawah tertulis bbesar-besar, “Maukah kalian memiliki wakil seperti Dicky?”
“Semua yang ada di kelas ini menerima kertas itu, dari Indri,” kata Harris.
Tentu saja perasaanku sangat terpukul mengetahui itu. Tapi belum selesai persaingan, Indri menginginkan persaingan yang keras. Aku menyukai hal itu, tapi melawannya dengan cara yang kotor bukanlah caraku.
Masih ada sepuluh menit lagi hingga kelas dimulai. Aku ingin menjalani tantangan yang diberikan ini. Aku berdiri di hadapan para mahasiswa dan mulai berbicara ke seluruh penghuni kelas yang ada.
“Everyody, please. I need your attention. Kertas yang kalian dapatkan dari Indri tidaklah salah. Itu memang benar. Tapi kalian tidak mengetahui semuanya. Kertas itu tidak mewakili semua yang diketahui Indri dan semua yang perlu kalian ketahui. Sebenarnya memang mudah mengetahui keburukan orang lain, lebih mudah dari mengetahui kebaikannya, bahkan keburukan diri sendiri. Memang sebuah pertanyaan besar, apakah gw pantas mewakili kalian? Kalian yang paling tahu jawabannya, tapi saat ini gw membutuhkan dukungan dan tanda tangan kalian untuk melancarkan jalan gw menuju kursi legislatif. Gw ga akan mengecewakan kalian.”
Tepat setelah itu, puluhan mahasiswa mendatangi gw dan mengisi daftar nama dan tanda tangan yang gw sediakan. Tapi Indri yang sudah memenuhi berkas persyaratan termasuk kumpulan tanda tangan masih belum puas. Ia kini berdiri di sampingku dan mulai berbicara.
“Stop! Apa yang kalian lakukan? Apa kalian ingin menghancurkan kampus ini dengan mengirim Dicky menuju DPM?”
“Mungkin gw ngga begitu mengerti mata kuliah kewarganegaraan, tapi yang gw tahu negara ini negara demokrasi dan mendukung adalah salah satu hak azasi manusia. Pelarangan terhadap hak azasi berarti pelanggaran HAM berat. Pertanyaannya sekarang, maukah kalian memiliki wakil seperti Indri?”
Dukungan terhadapku semakin banyak, hingga melebihi syarat minimum pengumpulan tanda tangan. Dengan ini aku sudah melengkapi berkas persyaratan dan menuju ke tahap seleksi.
“Kenapa, Dri? Kenapa loe sangat ingin menang?”
“Tidak ada tujuan khusus. Gw cuma ingin memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dari pada loe.”
“Kenapa? Tidak ada yang istiewa dari gw.”
“Ada. Gw tahu loe sangat menyukai perempuan berkedudukan tinggi dan dihormati.”
Ya, benar. Tapi itu sudah lama sekali. Ketika SMA, seorang perempuan yang sangat cerdas dan menduduki posisi wakil OSIS telah memikat hatiku meski ia tidak terlalu cantik. Dan memang benar bahwa alasanku menyukainya adalah karena kedudukannya yang tinggi, cerdas, dan dihormati. Tapi itu sudah lama sekali.
“Gw berharap bisa memikat hati loe dengan kedudukan yang gw peroleh. Gw ingin loe menyukai gw dengan apa yang berhasil gw capai. Tapi setelah hari ini loe pasti tidak akan menyukai gw sedikitpun saja,” kata Indri.
Sejujurnya, aku sudah lama kehilangan selera terhadap perempuan berkedudukan tinggi. Entah dari mana ia mengetahui masa laluku. Dan juga entah apa yang istimewa dariku sehingga ia ingin aku menyukainya. Tapi cinta bukan lagi tujuan hidupku yang paling utama sejak aku kehilangan selera terhadap peremuan jenis demikian. Indri yang biasanya terlihat manis pun kini menjadi terlihat kusam karena sikapnya yang menginginkan kekuasaan, dan diriku.
Selasa, 09 September 2008
Love Politic
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar