Aku turun dari bis kota dan melesak masuk ke dalam gedung suatu perusahaan yang tergolong mewah. Sambil melirik ke menara jam buatan perusahaanku, aku bisa memperlambat langkahku karena aku masih punya waktu. Bukan berarti aku akan telat karena kenyataannya aku datang setengah jam lebih awal dari biasanya.
Aku adalah seorang kepala bagian administrasi umum perusahaan ekspor impor yang berlokasi di Batam. Semua orang di kantorku selalu menyapaku dengan senyum setiap kali aku datang, dan bunyinya selalu sama: “Selamat pagi, Bu Putri,” seperti yang baru saja diucapkan bang jaja, security officer berbadan besar, ketika aku masuk gedung. Aku selalu merasa aneh dengan sapaan “Ibu” karena aku belum menikah.
“Pagi, Bang Jaja,” balasku.
Meski aku adalah kepala bagian, aku tidak memiliki mobil. Seseorang telah menginspirasiku untuk lebih peduli lingkungan dengan lebih mencintai kendaraan umum. Ia juga menganjurkanku untuk menghindari lift dan lebih banyak memijak tangga, tapi tak pernah kulakukankarena meja kerjaku terletak di lantai sembilan belas. Dan juga aku sedang terburu-buru.
Seseorang yang aku maksud itu menelponku, tepat ketika aku sedang menunggu pintu lift terbuka bersama belasan karyawan lain yang beberapa telah menyapaku, dengan sapaan “Ibu”. Aku jadi ingat, ia juga yang membangunkanku karena membuat ponselku berdering. Lalu ia membuatku semangat dengan suaranya yang maskulin. Di pagi hari adalah satu-satunya kesempatan bagiku dan baginya untuk bercakap-cakap, selain jam istirahat siang.
“Hai Say, kamu sibuk ngga?” tanyanya segera.
“Aku sedang menunggu pintu lift terbuka. Setelah aku sampai meja kerjaku, baru deh aku sibuk. Kamu ngga kuliah?”
“Masih jam delapan. Kelasku dimulai jam sembilan. Kamu ngga biasanya datang ke kantir sepagi ini.”
“Aku akan sibuk hari ini.” Lalu pintu lift terbuka. “Say, udahan dulu ya. Pintu liftnya sudah terbuka. Kalau sempat, aku akan SMS kamu.”
“Sebelumnya aku boleh tahu ngga? Apa sih warna favorit kamu? Mungkin kamu pernah menyebutkannya, tapi aku lupa. Jadi, ...”
Aku tersenyum sedikit. “Warna merah.”
“OK.” Lalu hubungan selular terputus.
Pintu lift sudah beberapa detik terbuka. Aku segera masuk dan menekan tombol nomor sembilan belas. Dan aku sedang sial, dari nomor dua hingga delapan belas lift akan berhenti hampir di setiap lantai itu. Kenapa yang menuju lantai dua dan tiga tidak menggunakan tangga saja!? Seandainya saja nasehat Andre tersiar ke seluruh kantor.
Oh ya, orang yang menelponku tadi adalan Andre, pria yang sedang mengejar gelar S2 di IPB. Aku menemukannya di internet, tepat ketika aku sedang hampa karena semua teman-temanku sudah memiliki pasangan. Andre, cukup humoris, perhatian, penyayang, dan cerdas meski aku belum pernah bertemu dengannya. Segala komunikasi dengannya selama dua tahun ini dilakukan dengan SMS, telepon, dan internet.
Entah sejak kapan panggilan ‘sayang’ itu dimulai, tapi aku memang menginginkannya. Sudah lama tidak dipanggil demikian.
Aku sudah sampai di lantaiku. Akhirnya. Tapi sekretarisku, Maya, belum datang. Padahal aku sangat membutuhkan bantuannya. Tidak apa-apa, memang aku yang terlalu cepat datang.
Aku langsung mencari tahu, mengingat alasan mengapa aku terburu-buru. Setelah tahu, aku membuat rencana kerja satu hari. Meminta data lengkap perusahaan rekanan baru yang sudah di-pending satu minggu lalu mengurusnya adalah yang paling awal. Lalu memasukkan data penjualan yang minggu lalu belum selesai. Aku bisa saja menyuruh bawahanku, tapi aku yakin mereka tidak bisa bekerja secepat aku yang sangat energik ini. Hehe. Lalu, jam satu ada rapat untuk menentukan sistem administrasi yang baru demi kemudahan akses informasi internal, sambil dengar pendapat perwakilan perusahaan-perusahaan rekanan.
“Maaf, mbak. Saya terlambat,” kata Maya seraya masuk ke ruanganku, menyerahkan data perusahaan rekanan yang akan melakukan dengar pendapat nanti, dan mengingatkanku akan rapat nanti siang. Aku melihat ke jam dinding, dan secara teknis ia belum terlambat. Akulah yang datang lebih cepat dari dirinya dan biasanya tidak demikian. Ia memang selalu merasa bersalah jika aku datang lebih cepat dari dirinya. Dan ia tidak ingin keluar dari ruangan sebelum menerima ‘hukuman’.
“Buatkan aku susu hangat,” perintahku.
“Baik, mbak.” Sepertinya hanya dia yang mengerti aku belum menikah.
Lalu dimulailah semua kesibukanku. Aku punya beberapa bawahan, tapi aku tak mau terlalu membebani mereka. Semua adalah tanggung jawabku, aku akan menyuruh mereka jika aku tidak sanggup mengerjakan semuanya. Ya, seringnya sih seperti itu. Perusahaan ini perusahaan besar, tapi pelit. Tidak ingin mempekerjakan lebih banyak orang demi efisiensi. Baiklah, aku menghargai efisiensi. Tapi kalau mengetahui bahwa Sarah, kepala bagian personalia, sedang tidak sibuk dan masih sempat mengajakku jalan-jalan, padahal belum jam istirahat, membuat aku merasa dunia tidak adil.
Dan aku hampir lupa makan siang karena tenggelam oleh kesibukanku. Andre mengingatkanku untuk melupakan sejenak pekerjaanku dan mengisi perut. Dan setengah jam lagi rapatnya dimulai!
“Maya, kau sudah makan siang?” tanyaku lewat telepn genggam seraya aku bergegas menuju lift.
“Sudah, mbak. Aku sedang di lift, menuju ke ruanganku.”
Lalu pintu lift terbuka, dan aku melihat Maya sedang membawa kantong plastik dan tangan kanannya masih menempelkan telepon genggam di telinganya. Ia tertawa saja mengetahui ternyata kami begitu dekat hingga harus memakai telepon genggam. Dan aku yakin bungkusan plastik itu untukku.
“Thanks, May,” kataku seraya menerima kantong plastik itu. Ternyata isinya burger isi fillet ikan dengan ekstra sayuran, kesukaanku. Aku memang beruntung memiliki sekretaris seperti dia.
Tapi dia tidak beruntung memiliki atasan kejam seperti aku. “Sekarang kamu suruh bagian IT untuk menyiapkan teleconference di ruang rapat. Lalu kamu hubungi masing-masing perwakilan perusahaan rekanan yang akan melakukan dengar pendapat. Suruh orang lain juga agar cepat selesai. Aku ingin istirahat dulu, mempersiapkan diri untuk rapat. Dan jangan lupa susu hangatnya ya, setelah kamu menyelesaikan semuanya,” perintahku segera setelah mengetahui isi bungkusan plastik itu.
“Yes, mam.”
Akhirnya, aku tak harus turun sembilan belas lantai untuk makan siang. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih pada Andre lewat SMS karena mengingatkanku untuk istirahat. Ia memang pengertian.
Waktunya tiba. Setelah menghabiskan segelas susu hangat dan membuka sebungkus pemen mint, aku menuju ke ruang rapat. Semua kepala bagian sudah berkumpul di ruang rapat yang aku adakan ini karena memang tentang wewenang dan tanggung jawabku. Dan para perwakilan perusahaan rekanan juga terlibat lewat teleconference.
Mungkin aku sedang berada di ruang rapat, tapi sisi kesadaranku yang lain, yang sedang dalam keadaan rindu yang amat sangat terhadap suara Andre, sedang berada di tempat lain, bingung bertanya-tanya di mana dan sedang apa Andre. Sisi kesadaranku yang itu selalu meninggalkanku di saat yang tepat, meski tidak selalu dalam keadaan 'full charge in love' di saat yang tepat. Itu terjadi agar tidak mengganggu pekerjaanku. Jika sisi pekerja kerasku mulai beristirahat, keduanya akan bersatu kembali dalam satu tubuh.
Jam tiga rapat selesai. Setelah semua peserta rapat meninggalkan ruangan, aku masih di dalam, duduk, dan mengistirahatkan mental dan fisik. Sebenarnya aku hampir tertidur di meja ruang rapat yang terbuat dari kayu pohon ek itu, hingga Maya membangunkanku.
“Mbak, ada paket kiriman,” katanya sambil membangunkanku.
Aku melek, dan melihat ada paket terbungkus kertas berlabel perusahaan pengiriman barang ternama dengan keterangan kiriman kilat. Aku membukanya, dan mengira akan menemukan paket kiriman dari perusahaan rekanan, hingga aku menemukan sebuah buku novel yang dibalut pita merah dengan indah. Judul novel itu, “A Note to Get Closer”, pengarangnya, Andre Scesia. Andre!?
Aku segera melihat halaman paling akhir buku yang berisi profil pengarang. Iya, itu benar-benar Andreku. Ia tidak pernah bilang ia seorang penulis.
Aku membuka halaman kedua, tertulis dengan indah kalimat “Untuk yang terindah, Putri Anggraini”. Kami belum pernah bertemu, tapi ia sudah segombal ini. Biasanya juga begitu sih.
Sebelum membuka halaman berikutnya, aku mengeluarkan ponselku dan mengetik pesan untuk Andre. Isinya: “Honey, thanks for the Novel. It’s so sweet. Aku ngga tahu kalau kamu bisa menulis. Saat ini hingga esok pagi aku ngga sibuk. Aku tunggu telpon dari kamu.” Sebelum menyentuh icon di touchscreen untuk merealisasikan terkirimnya pesan itu, aku tersenyum-senyum sendiri. Ada keinginan dalam diriku untuk menelponnya, tapi mungkin saja ia sedang sibuk.
Dan pesan itu terkirim. Seandainya yang terkirim tidak hanya pesan itu, tapi juga jiwa dan ragaku.
Di halaman prolog, Andre curhat tentang novel pertamanya. Ia juga menulis bahwa novel pertamanya itu terinspirasi dari dua tahun hubungannya denganku. He’s so sweet.
Pada dua puluh halaman pertama aku membacanya dengan sepenuh hati sambil memahami makna rahasia dari setiap kata yang Andre tulis. Mungkin ada yang ditujukan kepadaku. Lalu akupun berpikir realistis bahwa aku bukan penggemar novel yang bisa menafsir isi buku itu dengan baik sehingga sangat sulit bagiku untuk memahami selembar puisi pendekpun. Aku hanya mengikuti isi ceritanya. Lagipula, seisi novel itu pastinya tentang aku karena akulah inspirasinya.
Dan aku seperti membaca kisahku sendiri.
Lima halaman kemudian, ponselku berdering. Itu berasal dari Andre.
“Hai, sayang,” sapaku.
“Hai. Sorry, aku tadi di laboratorium lapangan. Kamu pasti ngga akan mengerti aku telah melakukan apa.”
Aku tersenyum kecil. Ia memang selalu menceritakan hal scientific sekecil apapun yang baru saja ia lakukan. Suara berdeham yang aku keluarkan mungkin akan menyadarkannya.
“Jadi, bagaimana novelnya?”
“Aku baru baca sedikit, tapi bagus, sih. Semuanya tentang aku banget.” Aku terus mengatakan kalimat yang terakhir itu, berulang-ulang dalam hati.
“Andai aku bisa mengirim lebih dari itu.”
Aku menghela napas. Ia selalu merasa tidak pernah cukup memberikan perhatian dan kasih sayangnya. Aku pun tidak pernah merasa cukup puas terhadap apa yang selalu diberikannya, tapi aku sangat menginginkannya. Dan aku tidak tahan ingin menyatakan hal itu. “Andaikan saja tidak hanya novel itu yang datang, tapi kamu juga.”
Aku tidak sadar telah menitikkan beberapa tetes air mata. Aku berdiri dari kursi, menatap matahari yang hampir terbenam dari ruang rapat untuk mengantisipasi air mata yang mungkin akan semakin deras. Aku memang sangat ingin bertemu dengannya. Segala hal tentangnya telah mengisi hatiku yang membosankan ini, dan aku berterima kasih selalu atas hal itu meski telah membuat hatiku lelah karena menunggu.
Aku adalah seorang kepala bagian administrasi umum perusahaan ekspor impor yang berlokasi di Batam. Semua orang di kantorku selalu menyapaku dengan senyum setiap kali aku datang, dan bunyinya selalu sama: “Selamat pagi, Bu Putri,” seperti yang baru saja diucapkan bang jaja, security officer berbadan besar, ketika aku masuk gedung. Aku selalu merasa aneh dengan sapaan “Ibu” karena aku belum menikah.
“Pagi, Bang Jaja,” balasku.
Meski aku adalah kepala bagian, aku tidak memiliki mobil. Seseorang telah menginspirasiku untuk lebih peduli lingkungan dengan lebih mencintai kendaraan umum. Ia juga menganjurkanku untuk menghindari lift dan lebih banyak memijak tangga, tapi tak pernah kulakukankarena meja kerjaku terletak di lantai sembilan belas. Dan juga aku sedang terburu-buru.
Seseorang yang aku maksud itu menelponku, tepat ketika aku sedang menunggu pintu lift terbuka bersama belasan karyawan lain yang beberapa telah menyapaku, dengan sapaan “Ibu”. Aku jadi ingat, ia juga yang membangunkanku karena membuat ponselku berdering. Lalu ia membuatku semangat dengan suaranya yang maskulin. Di pagi hari adalah satu-satunya kesempatan bagiku dan baginya untuk bercakap-cakap, selain jam istirahat siang.
“Hai Say, kamu sibuk ngga?” tanyanya segera.
“Aku sedang menunggu pintu lift terbuka. Setelah aku sampai meja kerjaku, baru deh aku sibuk. Kamu ngga kuliah?”
“Masih jam delapan. Kelasku dimulai jam sembilan. Kamu ngga biasanya datang ke kantir sepagi ini.”
“Aku akan sibuk hari ini.” Lalu pintu lift terbuka. “Say, udahan dulu ya. Pintu liftnya sudah terbuka. Kalau sempat, aku akan SMS kamu.”
“Sebelumnya aku boleh tahu ngga? Apa sih warna favorit kamu? Mungkin kamu pernah menyebutkannya, tapi aku lupa. Jadi, ...”
Aku tersenyum sedikit. “Warna merah.”
“OK.” Lalu hubungan selular terputus.
Pintu lift sudah beberapa detik terbuka. Aku segera masuk dan menekan tombol nomor sembilan belas. Dan aku sedang sial, dari nomor dua hingga delapan belas lift akan berhenti hampir di setiap lantai itu. Kenapa yang menuju lantai dua dan tiga tidak menggunakan tangga saja!? Seandainya saja nasehat Andre tersiar ke seluruh kantor.
Oh ya, orang yang menelponku tadi adalan Andre, pria yang sedang mengejar gelar S2 di IPB. Aku menemukannya di internet, tepat ketika aku sedang hampa karena semua teman-temanku sudah memiliki pasangan. Andre, cukup humoris, perhatian, penyayang, dan cerdas meski aku belum pernah bertemu dengannya. Segala komunikasi dengannya selama dua tahun ini dilakukan dengan SMS, telepon, dan internet.
Entah sejak kapan panggilan ‘sayang’ itu dimulai, tapi aku memang menginginkannya. Sudah lama tidak dipanggil demikian.
Aku sudah sampai di lantaiku. Akhirnya. Tapi sekretarisku, Maya, belum datang. Padahal aku sangat membutuhkan bantuannya. Tidak apa-apa, memang aku yang terlalu cepat datang.
Aku langsung mencari tahu, mengingat alasan mengapa aku terburu-buru. Setelah tahu, aku membuat rencana kerja satu hari. Meminta data lengkap perusahaan rekanan baru yang sudah di-pending satu minggu lalu mengurusnya adalah yang paling awal. Lalu memasukkan data penjualan yang minggu lalu belum selesai. Aku bisa saja menyuruh bawahanku, tapi aku yakin mereka tidak bisa bekerja secepat aku yang sangat energik ini. Hehe. Lalu, jam satu ada rapat untuk menentukan sistem administrasi yang baru demi kemudahan akses informasi internal, sambil dengar pendapat perwakilan perusahaan-perusahaan rekanan.
“Maaf, mbak. Saya terlambat,” kata Maya seraya masuk ke ruanganku, menyerahkan data perusahaan rekanan yang akan melakukan dengar pendapat nanti, dan mengingatkanku akan rapat nanti siang. Aku melihat ke jam dinding, dan secara teknis ia belum terlambat. Akulah yang datang lebih cepat dari dirinya dan biasanya tidak demikian. Ia memang selalu merasa bersalah jika aku datang lebih cepat dari dirinya. Dan ia tidak ingin keluar dari ruangan sebelum menerima ‘hukuman’.
“Buatkan aku susu hangat,” perintahku.
“Baik, mbak.” Sepertinya hanya dia yang mengerti aku belum menikah.
Lalu dimulailah semua kesibukanku. Aku punya beberapa bawahan, tapi aku tak mau terlalu membebani mereka. Semua adalah tanggung jawabku, aku akan menyuruh mereka jika aku tidak sanggup mengerjakan semuanya. Ya, seringnya sih seperti itu. Perusahaan ini perusahaan besar, tapi pelit. Tidak ingin mempekerjakan lebih banyak orang demi efisiensi. Baiklah, aku menghargai efisiensi. Tapi kalau mengetahui bahwa Sarah, kepala bagian personalia, sedang tidak sibuk dan masih sempat mengajakku jalan-jalan, padahal belum jam istirahat, membuat aku merasa dunia tidak adil.
Dan aku hampir lupa makan siang karena tenggelam oleh kesibukanku. Andre mengingatkanku untuk melupakan sejenak pekerjaanku dan mengisi perut. Dan setengah jam lagi rapatnya dimulai!
“Maya, kau sudah makan siang?” tanyaku lewat telepn genggam seraya aku bergegas menuju lift.
“Sudah, mbak. Aku sedang di lift, menuju ke ruanganku.”
Lalu pintu lift terbuka, dan aku melihat Maya sedang membawa kantong plastik dan tangan kanannya masih menempelkan telepon genggam di telinganya. Ia tertawa saja mengetahui ternyata kami begitu dekat hingga harus memakai telepon genggam. Dan aku yakin bungkusan plastik itu untukku.
“Thanks, May,” kataku seraya menerima kantong plastik itu. Ternyata isinya burger isi fillet ikan dengan ekstra sayuran, kesukaanku. Aku memang beruntung memiliki sekretaris seperti dia.
Tapi dia tidak beruntung memiliki atasan kejam seperti aku. “Sekarang kamu suruh bagian IT untuk menyiapkan teleconference di ruang rapat. Lalu kamu hubungi masing-masing perwakilan perusahaan rekanan yang akan melakukan dengar pendapat. Suruh orang lain juga agar cepat selesai. Aku ingin istirahat dulu, mempersiapkan diri untuk rapat. Dan jangan lupa susu hangatnya ya, setelah kamu menyelesaikan semuanya,” perintahku segera setelah mengetahui isi bungkusan plastik itu.
“Yes, mam.”
Akhirnya, aku tak harus turun sembilan belas lantai untuk makan siang. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih pada Andre lewat SMS karena mengingatkanku untuk istirahat. Ia memang pengertian.
Waktunya tiba. Setelah menghabiskan segelas susu hangat dan membuka sebungkus pemen mint, aku menuju ke ruang rapat. Semua kepala bagian sudah berkumpul di ruang rapat yang aku adakan ini karena memang tentang wewenang dan tanggung jawabku. Dan para perwakilan perusahaan rekanan juga terlibat lewat teleconference.
Mungkin aku sedang berada di ruang rapat, tapi sisi kesadaranku yang lain, yang sedang dalam keadaan rindu yang amat sangat terhadap suara Andre, sedang berada di tempat lain, bingung bertanya-tanya di mana dan sedang apa Andre. Sisi kesadaranku yang itu selalu meninggalkanku di saat yang tepat, meski tidak selalu dalam keadaan 'full charge in love' di saat yang tepat. Itu terjadi agar tidak mengganggu pekerjaanku. Jika sisi pekerja kerasku mulai beristirahat, keduanya akan bersatu kembali dalam satu tubuh.
Jam tiga rapat selesai. Setelah semua peserta rapat meninggalkan ruangan, aku masih di dalam, duduk, dan mengistirahatkan mental dan fisik. Sebenarnya aku hampir tertidur di meja ruang rapat yang terbuat dari kayu pohon ek itu, hingga Maya membangunkanku.
“Mbak, ada paket kiriman,” katanya sambil membangunkanku.
Aku melek, dan melihat ada paket terbungkus kertas berlabel perusahaan pengiriman barang ternama dengan keterangan kiriman kilat. Aku membukanya, dan mengira akan menemukan paket kiriman dari perusahaan rekanan, hingga aku menemukan sebuah buku novel yang dibalut pita merah dengan indah. Judul novel itu, “A Note to Get Closer”, pengarangnya, Andre Scesia. Andre!?
Aku segera melihat halaman paling akhir buku yang berisi profil pengarang. Iya, itu benar-benar Andreku. Ia tidak pernah bilang ia seorang penulis.
Aku membuka halaman kedua, tertulis dengan indah kalimat “Untuk yang terindah, Putri Anggraini”. Kami belum pernah bertemu, tapi ia sudah segombal ini. Biasanya juga begitu sih.
Sebelum membuka halaman berikutnya, aku mengeluarkan ponselku dan mengetik pesan untuk Andre. Isinya: “Honey, thanks for the Novel. It’s so sweet. Aku ngga tahu kalau kamu bisa menulis. Saat ini hingga esok pagi aku ngga sibuk. Aku tunggu telpon dari kamu.” Sebelum menyentuh icon di touchscreen untuk merealisasikan terkirimnya pesan itu, aku tersenyum-senyum sendiri. Ada keinginan dalam diriku untuk menelponnya, tapi mungkin saja ia sedang sibuk.
Dan pesan itu terkirim. Seandainya yang terkirim tidak hanya pesan itu, tapi juga jiwa dan ragaku.
Di halaman prolog, Andre curhat tentang novel pertamanya. Ia juga menulis bahwa novel pertamanya itu terinspirasi dari dua tahun hubungannya denganku. He’s so sweet.
Pada dua puluh halaman pertama aku membacanya dengan sepenuh hati sambil memahami makna rahasia dari setiap kata yang Andre tulis. Mungkin ada yang ditujukan kepadaku. Lalu akupun berpikir realistis bahwa aku bukan penggemar novel yang bisa menafsir isi buku itu dengan baik sehingga sangat sulit bagiku untuk memahami selembar puisi pendekpun. Aku hanya mengikuti isi ceritanya. Lagipula, seisi novel itu pastinya tentang aku karena akulah inspirasinya.
Dan aku seperti membaca kisahku sendiri.
Lima halaman kemudian, ponselku berdering. Itu berasal dari Andre.
“Hai, sayang,” sapaku.
“Hai. Sorry, aku tadi di laboratorium lapangan. Kamu pasti ngga akan mengerti aku telah melakukan apa.”
Aku tersenyum kecil. Ia memang selalu menceritakan hal scientific sekecil apapun yang baru saja ia lakukan. Suara berdeham yang aku keluarkan mungkin akan menyadarkannya.
“Jadi, bagaimana novelnya?”
“Aku baru baca sedikit, tapi bagus, sih. Semuanya tentang aku banget.” Aku terus mengatakan kalimat yang terakhir itu, berulang-ulang dalam hati.
“Andai aku bisa mengirim lebih dari itu.”
Aku menghela napas. Ia selalu merasa tidak pernah cukup memberikan perhatian dan kasih sayangnya. Aku pun tidak pernah merasa cukup puas terhadap apa yang selalu diberikannya, tapi aku sangat menginginkannya. Dan aku tidak tahan ingin menyatakan hal itu. “Andaikan saja tidak hanya novel itu yang datang, tapi kamu juga.”
Aku tidak sadar telah menitikkan beberapa tetes air mata. Aku berdiri dari kursi, menatap matahari yang hampir terbenam dari ruang rapat untuk mengantisipasi air mata yang mungkin akan semakin deras. Aku memang sangat ingin bertemu dengannya. Segala hal tentangnya telah mengisi hatiku yang membosankan ini, dan aku berterima kasih selalu atas hal itu meski telah membuat hatiku lelah karena menunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar