Minggu, 14 Desember 2008

A Cross Road

Tidak ada yang lebih menyenangkan selain hanya berduaan saja dengan orang yang dicintai. Rasanya sangat indah hingga tak ingin berpisah walau hanya satu menit.
Tapi dengan lima menit perpisahan adalah lima kali lebih sakit dari pada semenit perpisahan. Dan ia tidak pernah menyadari bahwa lima menit itu yang sepele itu mungkin akan mengubah hidupku dan hidupnya.
“Cuma lima menit,” kata kekasihku, tanpa mempedulikan perasaanku. Tapi tentu saja aku tidak pernah mengatakan tentang khayalanku mengenai perpisahan itu. Ia akan mengira aku paranoid atau posesif. Tapi yang aku takutkan sebenarnya adalah jika aku kehilangan rasa posesifku. Atau mungkin juga tidak.
Dan aku tidak akan pernah melupakan lima menit yang sepele ini: aku disuruh menunggu di luar bank di siang hari di bulan oktober di saat matahari sedang kejam-kejamnya bersinar sedangkan ia masuk ke dalam ruangan yang ber-AC kencang. Tapi bukan karena temperatur udara yang tidak bersahabat, melainkan karena khayalanku terjadi.
Selama lima menit itu berjalan, aku melihat perempuan cantik yang sedang berjalan menuju ATM. Butuh waktu cepat baginya untuk mengambil sejumlah uang lalu menjauhi ATM. Dan ketka itulah mataku bertemu dengan matanya.
Tapi karena sikap terburu-burunya itu, ia menjatuhkan sesuatu di depan mesin ATM. Sesuatu yang jatuh dari bindernya adalah kertas berbentuk persegi panjang yang dilipat dua dan berwarna ungu cerah. Ingin aku memanggilnya, tapi ia sudah meraih bus. Aku terlalu asik memperhatikannya.
Aku ambil kertas itu, dan jika penting dan ada alamat atau nomor yang bisa dihubungi, akan aku kembalikan. Tidak ada nomor telepon, tapi ada alamat, yang jaraknya enam puluh kilometer jauhnya. Dan itu bukan kertas biasa, itu kertas undangan pesta ulang tahun. Pestanya empat tahun lagi.
“Sayang!! Sini!” kekasihku memanggilku. Urusannya di ruang sejuk itu sudah selesai. Aku tidak marah, karena perempuan itu sudah membuatku lupa pada energi kalor yang terus merasuki tubuhku ini. Aku lebh mengkhawatirkan kecurigaan kekasihku yang melihatku memasukkan kertas ungu itu ke dalam saku. “Apa itu? Yang kamu sembunyikan.”
“Orang buang sampah sembarangan. Aku hanya memungutnya untuk menjaga kebersihan,” jawabku bohong.
“Ih, kamu baik hati banget sih,” katanya sambil mencubit pipiku. Rasanya selalu sakit setiap kali ia melakukan itu.
Aku hanya bersyukur ia tidak curiga karena selain bank itu punya petugas kebersihan sendiri, sesungguhnya ada banyak sekali sampah yang berserakan di sekitarku, dari kertas kecil pembungkus makanan hingga baterei yang mengandung mercury.
Viani Rivera, itulah nama perempuan itu berdasarkan kertas undangan itu. Mungkin saja ia memiliki setengah darah Spanyol atau Latin. Pantas saja ia begitu cantik. Tapi, apakah itu suatu kebetulan? Karena aku, Andre Shiyazov, memiliki setengah darah Rusia, dan kekasihku, Courtney Cyrill memiliki ayah asal Australia.
Aku memang cukup penasaran dengan perempuan itu. Kata-kata yang tertulis dalam undangan itu cukup persuasif, bahkan mampu membuat orang yang tidak mengenalnya seperti aku, ingin hadir ke pestanya.
Dan aku putuskan akan menghadirinya, walau tempatnya sangat jauh. Dan bukan berarti aku langsung memutuskan demikian segera setelah menemukannya. Sikap Courtney kepadaku di hari-hari menjelang hari ulang tahun perempuan itu membantu mendorong niatku itu. Seperti yang terjadi pada hari kamis, ketika aku sedang praktikum di lab aerodinamika.
Ketika aku harus mengukur perubahan arah angin setiap tiga puluh detik selama setengah jam, ponselku berbunyi di detik 445. Aku mengambil ponselku dan melihat nama Courtney. Ponselnya sedang tersambung dengan ponselku. Aku meng-cancel-nya, dan stopwatchku sudah menyentuh detik 463. Karena hal itulah aku harus mengulang percobaannya.
“Aku kira kamu sedang tidak di lab,” jawabnya simpel ketika aku menemuinya di apartemennya. Padahal aku sudah memberikan jadwal lengkapku dalam satu semester itu.
Hal itu bukan satu-satunya yang terjadi selama tiga hari ini. Ketika kuliah Mekanika Mesin II, ponselku berdering karena dia. Sang dosen yang tak ingin kegiatan mengajarnya terganggu menyuruhku untuk menerima ponsel yang berbunyi itu di luar kelas. Aku tidak melakukannya dan mentup ponselku lalu mematikannya.
“Maaf deh, kalau kamu marah. Tapi kamu ngga biasanya seperti ini, kan?”
Aku memang menyadari hal itu. Tapi sekarang adalah waktunya untuk mengubah hal ini.
Aku berdiri, memandanginya dengan wajah amarah dan mulai memarahinya. “Dengar! Aku adalah mahasiswa teknik dirgantara yang akan lulus Cum Laude. Aku menjadi asisten dosen sejak semester tiga. Aku lulusan olimpiade sains nasional bidang fisika. Sedangkan kamu? Kamu mahasiswi manajemen yang malas, yang jarang mask kelas, yang tidak lulus banyak mata kuliah. Kamu tidak pernah memasak, ataupun mencuci baju. Kamu adalah sumber kekacauan. Tapi, ...” aku diam sejenak, berusaha memahami arti tatapan yang dikeluarkan Courtney yang tidka kumengerti, hingga aku mengakhiri pidatoku. “Tapi aku mencintaimu.”
“Ok,” jawabnya simpel.
“Lalu apa yang membuatmu tidak bisa memberikan aku ruang dalam satu hari saja?”
“Apa kamu bisa hidup tanpaku dalam satu hari saja? Aku tidak bisa, karena aku sangat mencintai kamu.”
Aku juga pernah mengatakan itu, tapi sudah saatnya menghilangkan efek surga dunia itu dan kembali ke dunia nyata, karena hidup tidak bisa begitu mudha mendatangkan surga. “Dengar! Kita harus istirahat sejenak. Aku tidak bisa seperti ini selamanya. Kamu harus menghormati ruang yang aku punya. Besok, dalam 24 jam aku tak ingin mendengar suaramu. Aku ingin kamu berusaha untuk tidak bergantung kepadaku.” Lalu aku menuju pintu, hendak pergi dari unit apartemennya.
“Besok kan hari Sabtu. Apakah kamu berusaha untuk meninggalkan aku?” itu adalah kata terakhir yang aku dengar sebelum aku menutup pintu.
Berusaha meninggalkannya? Aku tak pernah memikirkan itu. Tapi, memang ad alasannya aku menjauhinya dalam 24 jam itu. Aku ingin tahu rasanya tidak diganggu olehnya selama 24 jam, dan aku ingin menghadiri pestanya Viani Rivera. Meski terdengar seperti aku akan meninggalkannya, aku tak pernah berniat demikian.
Hari Sabtu, jam empat sore. Aku siap berangkat ke kediaman Viani Rivera yang jauh itu. Pestanya dimulai jam tujuh malam. Aku percaya perjalananku akan lancar karena jalur macet di sore hari hanya terjadi ke arah sebaliknya.
Dan seharian ini aku tidak mendengar suara Courtney. Ia berkali-kali menghubungiku, tapi aku selalu menolak untuk mengangkatnya dnalangsng meng-cancel-nya. Aku harap ia tidak menggangguku selama pestanya Viani Rivera berlangsung.
Aku sampai tepat waktu. Agak sulit mencarinya, karena terletak di pedalaman. Ya, rumahnya memang jauh dari peradaban. Tetapi untuk masuk ke rumahnya aku harus menghadapi gerbang besar.
Ya, rumahnya memang sangat besar. Segala landscape yang aku lihat sepanjang jalan menuju rumahnya, yang hanya dipagari oleh pagar bambu sederhana, adalah halaman rumahnya. Dan istana yang terdang benderang dalam malam itu adalah rumahnya. Akupun takjub melihat air mancurnya, belum bagian dalam rumah itu. Inikah keajaiban yang biasa ada ketika engkau jauh dari peradaban?
Security officer menambutku dan mobilku dengan ucapan “Bienvenido,” suatu salam dari bahasa Spanyol yang tidak aku mengerti artinya, padahal ia bertampang melayu.
Tempat parkir yang luas dan tertib itu akan memanjakan mobilku, sekaligus membuatnya iri karena banyak mobil yang lebih mewah dari volvo s180 milikku.
Dan pintu besar layaknya pintu surga karena keindahannya terbuka. Mereka dibukakan oleh dua penjaga pintu yang stand by selalu. Dan lagi, salam berbahasa spanyol yang sama diucapkan kepadaku, mengiringi langkahku. Aku hanya tersenyum karena tidak tahu artinya dan tidak tahu bagaimana membalasnya.
Seseorang berjas hitam selayaknya tuksedo menghampiriku. Dengan bahasa Spanyol ia mengatakan suatu kalimat yang tidak aku mengerti. Tapi tanpa sempat berkedip ia langsung mengatakan terjemahannya “Boleh saya minta kadonya? Akan saya letakkan di meja kado.”
Aku langsung menyerahkan kadoku yang berbentuk balok, terbungkus kado warna putih dengan pita merah muda. Isinya adalah kotak kaca berisi voucher belanja di toko boneka dekat kampusku. Meski sederhana, pengemasannya aku buat indah. Tapi aku yakin ini tak seberapa jika dibandingkan dengan kado lainnya yang mungkin berisi tiket Crusing Through Pacific, boneka Teddy Bear ukuran manusia, kunci mobil, atau berlian yang menempel di cincin.
Yang terakhir mungkin hanya diberikan oleh orang yang sangat spesial baginya, jadi aku buang jauh-jauh bayangan itu.
Ketika aku sedang menyesap sirup anggur asal prancis, aku mendengar seorang pria mengajak seorang pria mengajak seorang perempuan untuk berdansa, dalam bahasa Spanyol. Terdengar begitu lembut dan halus. Dengan cepat aku melatih lidahku untuk mengucapkannya karena mungkin saja aku akan memiliki kesempatan bertemu dengan perempuanb itu.
Dan kutemukan perempuan itu. Ia sedang sendir, tatapannya kosong memandang ke arah keramaian di sekelilingnya. Sesekali ia menjawab “Gracias,” ketika ada orang yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Banner besar bertuliskan “Felis Cumpleanos, Viana!” terbentang tinggi di belakangnya.
Tiga puluh detik mataku terpaku padanya dan penampilannya yang luar biasa dengan gaun putih berkilau motif kebaya tapi berkontur dan bersiluet gaun malam, hingga mataku dan matanya bertemu. Aku tak menyangka aku masih hidup setelah ditatap olehnya.
Ia menghampiriku. Dan aku mulai nervous.
“Bienvenida,” sapanya. Agak mirip dengan salam penjaga pintu dan security itu.
Setelah mengucapkan Hepi Bday-nya orang Spanyol, aku langsung mengucapkan kalimat ajakan berdansa itu. “Puede balio con usted?” kataku, dan aku agak ragu-ragu. Mungkin aku salah dalam mengucapkannya, atau salah kata-kata.
Dan mungkin itu juga yang membuat ia tertawa setelah mendengar kalimat ajakan itu. “You’re not Spaniard. Aku mengenal semua orang yang ada di sini, kecuali kamu. So, tell me. Como se llama usted? Siapa nama anda?” ketika bertanya itu, sikapnya agak formal.
“Andrei Shiyazov.”
“Ya, aku tak mengenal kamu. Seingatku aku tak pernah mengundang satupun orang Rusia. Kamu membawa kartu undangannya?”
Aku menunjukkan kartu undangan itu, kartu undangan berwarna ungu cerah. Ia terlihat agak shock ketika melihat itu. “Di mana kamu menemukan itu?”
“Di depan ATM dekat kampusku. Kenapa?”
“Oh.Pantas aku pernah melihat kamu.” Ia lalu menunjukkan sebuah kartu lain berwarna oranye seperti jeruk. “Ini kartu undangan yang aku kirim ke semua yang ada di sini. Yang kamu pegang itu adalah blue print dari desain undangan sebelumnya, yang hilang sebelum dicetak.”
“Oh, gitu. OK,” kataku. Sikapku seperti orang yang siap diusir oleh bodyguard-nya.
Tapi ia bukan memanggil body guardnya, melainkan mengambil kertas undangan berwarna ungu cerah itu dari tanganku. “Tapi kamu tetap sebagai tamuku. VIP, karena kamu telah mengembalikan desain yang aku buat dengan susah payah. Kartu oranye ini didesain percetakan, aku tidak suka.”
Lalu ia mengajakku ke balkon yang menghadap ke danau. Aku seperti berada di atas kastil Eropa yang berdiri di atas sungai atau di sebuah rumah di Venezia. Hebat sekali pemandangan di sini. Ia mengajakku karena ia mengerti aku datang tanpa teman dan bermodal nekat. Seolah aku menjadi lupa apa tujuanku pada mulanya, karena keberadaannya di sampingku.
Aku berbicara banyak dengannya, hingga aku tahu bahwa ia adalah mahasiswi seni rupa tahun pertama. Pantas saja ia sangat menyayangi desain kartu undangan buatannya itu. Selain itu, aku juga menjadi tahu bahwa ayahnya adalah pengusaha perkebunan anggur dan jeruk asal Spanyol dan ibunya adalah sarjana pertanian yang mengelola perkebunan itu. Itulah ceritanya hingga ia lahir ke dunia dengan paras jelita.
“Andrei, bagaimana menurut kamu mengenai pesta ini?” tanyanya kepadaku.
“Mewah, meriah, dan luar biasa,” kataku.
“Oh ya? Kalau bisa, aku justru ingin keluar dari pesta ini dan tidak mengalaminya lagi.”
“Mengapa?”
“Apa gunanya jika hanya membuang-buang uang. Memang aku menyukai dekorasi yang dilakukan perusahaan party maker, sangat kreatif. Tapi secara keseluruhan, membosankan.”
Alasan pertamanya yang disebut, membuang-buang uang, bukanlah alasan utamanya. Aku tahu itu. Ia hanya ingin menyebut sebanyak mungkin alasan agar aku percaya ia tidak menyukau pesta ini. Aku memang tidak mengerti mengapa ia tidak menyukai pesta di mana ia mungkin bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan tanpa perlu memanggil peri.
Aku pernah dengar bahwa, mahasiswa-mahasiswi seni adalah orang yang tidak bisa sedikitpun berdiam diri di suatu tempat yang membuatnya bosan dan tidak mendatangkan inspirasi. Bila dijelaskan dari sisi itu, aku percaya.
Tak lama kemudian, datang seorang pelayan yang tadi meminta kado dariku, yang baru aku sadari ia berwajah Eropa, mungkin Spanyol. Dan mungkin ia seaorang kepala pelayan. Dengan bahasa Spanyol ia mengatakan sesuatu kepada Viani, dan sudah pasti aku tidak mengerti.
“Tamu ini, tamu istimewa. Lakukan apapun yang ia minta, ya?” kata Viani.
“Si, seniorita,” jawab si pelayan.
“Andrei, aku ke dalam dulu ya,” katanya sebelum pergi dari hadapanku.
“Ya,” jawabku.
Lalu ia masuk ke dalam dengan wajah yang tidak seceria ketika ia bersamaku. Aku yakin itu, hingga aku penasaran apa yang ia lakukan di dalam sana.
“Aku sarankan anda tidak mengintip ke dalam dulu,” kata sang pelayan.
“Mengapa?” tanyaku. Padahal aku baru berjalan sedikit menghadap ke dalam ballroom yang mewah itu.
“Aku yakin anda tidak ingin melihatnya, karena aku tahu anda menyukai nona Viani.”
Aku tetap melangkah menerobos tirai putih. Dan di dalam aku melihat Viani sedang dicium pipinya oleh seorang laki-laki bertampang Spanyol. Itu agak membuatku jealous, tapi mungkin itu adalah kakaknya. Tapi kemudian, sekotak cincin berlian muncul dari tangan pria itu, menerbitkan ekspresi shock di wajah Viani. Itu memang yang tidak ingin aku lihat.
“Aku sudah memperingatkan anda. Itu adalah tunangan nona Viani.”
“Tunangan?”
“Ya.”
Sangat mengherankan sekali untuk seseorang perempuan yang tidak cukup cantik tetapi sudah mempunyai tunangan. Tidak cukup cantik? Aku sangat munafik sekali jika aku mengatakan itu, bahkan jika itu terjadi di dalam hatiku.
Setelah melihat kejadian itu, aku segera beranjak meninggalkan ballroom. Sudah cukup apa yang telah aku lihat. Ternyata untuk perempuan yang baru aku kenal bisa membuat hati sakit. Mungkin itu untuk membayar suatu rasa yang aku alami terhadapnya, yang sebenarnya tidak boleh ada.
Sang pelayan menghalangiku dengan halus. Ia tahu aku akan beranjak pergi dari ballroom itu. “Saya ingin nomor yang bisa dihubungi, karena saya yakin nona Viani belum memintanya dari anda.”
“Untuk apa?” tanyaku. Aku sempat berspekulasi bahwa pelayan ini sudah menghadapi banyak pria sepertiku, yang mengalami perasaan ini terhadap Viani.
“Mungkin ia menginginkannya.”
Aku memandang Viani sesaat setelah, mungkin menjadi yang terakhir kalinya sebelum aku menjawab permintaannya. “Tidak perlu, dia bisa mencarinya sendiri. katakan saja, Andre Shiyazov, mahasiswa semester enam teknik dirgantara,” karena aku dan dia satu kampus. Tapi aku tak yakin ia akan mencariku.
Aku sudah meraih mobilku dan melaju menjauhi rumah itu. Munkin aku akan melewatkan bagian yang paling meriah dari pesta itu, tapi sudah cukup. Aku tak sanggup berada di tempat itu lebih lama, dengan Viani dan tunangannya.
Jam sepuluh malam, aku sampai di kota tempatku tinggal. Cahaya masih terlihat di mana-mana seolah lebih terang dari cahaya matahari di siang hari. Cahaya-cahaya itu membuatku silau, tapi berhasil membuatku fokus pada statusku sebagai pengendara mobil di saat bayangan Viani memenuhi kepalaku.
Apartemennya Courtney sudah terlihat di depan mataku, sama terangnya dengan kondisi di sekitarnya. Sempat berpikir untuk mampir, mungkin ia belum tidur. Aku ingin mengucapkan maaf, karena mungkin ia marah.
Kamar 707. Unit apartemen dua lantai yang sangat disukainya. Ia pernah berkata bahwa ia butuh tiga minggu untuk menemukan tempat tinggal yang sesuai seleranya.
Tapi apa yang aku temukan sungguh sangat mengejutkan aku. Tidak jauh berbeda dengan apa yang aku lihat di istana Viani. Courtney sedang berciuman dengan pria lain di balkon apartemennya.
Courtney kaget melihat kedatanganku dan langsung melepaskan pria itu dari pelukannya. “Andrei!” serunya, dengan agak lirih dan penuh rasa menyesal.
Aku tak harus menjawabnya. Aku cukup meletakkan tanganku di saku jaket hoodie warna hitam yang sedang aku kenakan sambil memandang kosong ke arahnya. Aku biasa melakukannya jika aku merasa kesal terhadapnya. Dan aku memang sedang kesal.
“Drei, kamu ngga akan mengerti. Aku kesepian,” jawabnya. Ia harus berjuang untuk mengakui itu, aku bisa merasakannya, tapi apakah itu berguna?
“Akhirnya aku punya alasan untuk meninggalkan kamu,” kataku. Ya, akhirnya. Untuk perempuan yang sudah lama aku cintai, aneh sekali rasanya karena aku tidak merasakan sakit.
“Drei!” teriakan Courtney perlahan menghilang setelah aku menutup pintu dan menjauhi apartemennya.
Lima menit itu adalah waktu yang diberikan oleh kehidupanku untuk memilih jalan karena persimpangan menghadang. Tidak bisa lebih lama karena hidup pun tidak akan meminta usia lebih panjang. Manusialah yang memintanya. Hanya sementara, dan aku tidak ingin menyia-nyiakan lima menit itu. Aku bisa memilih jalan apapun, itu masih lebih baik dari pada diam sementara kehidupan masih ingin bergerak. Seberapa sulit jalan itu menentukan akan jadi apa aku nantinya.
Rasa sakit yang aku rasakan ketika melihat Viani dan kekasihnya hampir tak bisa aku terima. Ya, ini hanyalah persimpangan jalan. Seharusnya aku tetap lurus.

Tidak ada komentar: