Minggu, 03 Agustus 2008

Summer Glow

Pindah jam siaran memang menyebalkan, tapi aku ingin membuktikan bahwa aku loyal terhadap pekerjaan.
Aku adalah Sergei Frost, penyiar radio yang biasanya membawakan musik yang direquest oleh para pendengar. Tapi karena musim dingin, banyak yang cuti sakit. Maka aku dipindahtugaskan ke acara yang katanya sangat penting bagi radio itu, yaitu My Diary. Aku bahkan belum pernah mendengarnya karena disiarkan jam sembilan malam pada akhir minggu, waktu di mana aku belum pulang ke rumah. Karena pemindahan waktu tugas ini, aku terpaksa mengorbankan jam mainku di akhir minggu ini. Meski belum pernah mendengarnya, secara garis besar aku tahu teknis acaranya dari produser pelaksanaku.
My Diary adalah acara yang membiarkan seorang pendengar menelepon ke stasiun radio dan menceritakan kisah-kisahnya yang paling berkesan di hati. Mendengar itu saja aku sudah merasa aneh. Aku harus merelakan jam mainku hanya untuk acara ini.
Tapi aku menjadi tertarik pada acara ini karena suatu hal, yaitu dengan siapa aku berbicara. Nickname-nya Summer Glow. Mengingatkanku pada sesuatu, tapi aku harus memastikannya dulu. Ia adalah perempuan berusia 22 tahun dan bekerja sebagai perawat. Tidak salah lagi.
“Selamat malam para pendengar yang setia, gw Frostbite yang akan menjadi host kalian semua untuk malam ini,” salamku ketika siaran dimulai. Aku tak pernah menyebut nama asliku ketika siaran.
“Orang yang akan menceritakan kehidupannya kali ini adalah seorang perempuan ber-nickname Summer Glow, berusia 22 tahun yang bekerja sebagai perawat. Dia tidak ingin menyebutkan di mana tempat tinggalnya, tapi langsung saja kita sapa, Summer!”
“Hai!” jawabnya dengan ceria melalui telepon.
“Summer Glow, nick name loe unik sekali. Dari mana sih asalnya?”
“Gw ingat beberapa tahun lalu ada seseorang yang memanggil gw demkian di malam musim panas. Katanya, gw bersinar seperti fireflies. Tapi itu sudah lama sekali.”
“Dan loe mau menceritakan itu?”
“Bukan, tapi yang telah terjadi pada akhir musim panas lalu.”
“Kami semua siap mendengarkan.”
“Ok. Dua tahun yang lalu gw lulus akademi dan magang di sebuah rumah sakit. Gw bekerja 24 jam sehari dan setelah itu libur satu hari dan begitu seterusnya. Awalnya memang agak melelahkan, tapi tidak lagi sejak seorang dokter muda bidang general surgery mengisi hati gw. Sebut saja namanya Storm.”
“Storm dan Summer, sepertinya tidak cocok ya?”
“Andai gw tahu itu dari awal. Hubungan kami memang sempat naik turun. Dia sangat tampan sehingga banyak perempuan yang menyukainya. Tapi itu juga karena salah gw, yang sering kali tergila-gila pada pria tampan, bahkan pada dokter kucing gw.”
“Sepertinya sudah jelas kalian sulit untuk bersama.”
“Andai gw tahu itu dari awal, tapi dia sangat lovable. Gw ngga bisa lepas dari dirinya, hingga hari itu terjadi.”
Hening sebentar. Aku tahu ia sedang mempersiapkan emntalnya untuk menceritakan itu. “Kami siap mendengarkan.”
“OK. Waktu itu Sabtu malam tanggal 4 Agustus, di kafe pinggir muara sungai canal street. Satu setengah tahun hubungan gw dengannya bisa dihitung dengan dua tangan sudah berapa kali kami kencan, termasuk yang itu, karena selain shift yang berbeda frekuensinya, ia sangat sibuk bahkan di jam bebasnya. Makanya, setiap kali kencan, gw senang banget. Tempatnya pun sangat romantis.”
“Sepertinya loe senang sekali.”
“Tentu saja gw senang. Apalagi malam itu ia memberikan cincin berlian. Ia melamar gw ketika itu. Bisa dibayangkan betapa gw sangat bahagia ketika itu.”
“Oh, terus?”
“Tapi itu tidak lama. Esok paginya, gw berangkat kerja. Siangnya ketika ingin mempersiapkan ruang operasi untuk korban tembak, gw menemukan Storm sedang bermesraan dengan, sebut saja Lily, dokter prenatal surgery, di ruang operasi itu. Gw berusaha menahan rasa sakit, dan tetap profesional sambil berkata ‘Dokter Storm, anda akan mengoperasi korban luka tembak. Bersiap-siaplah.’ Gw sakit hati banget! Gw sudah memberikan segalanya kepadanya, bahkan gw sudah tidur dengannya.”
“Apakah seluruh rumah sakit tahu hubungan kalian?”
“Ya, termasuk dokter prenatal surgery itu.”
“Lalu, apa yang terjadi.”
“Malamnya, gw ijin pulang karena merasa ngga enak badan. Mungkin implikasi dari kejadian siang itu. Tapi langit tidak mengijinkan gw pulang, hujan deras datang ketika itu. Dan Dokter Storm sudah berada di belakang gw ketika gw sedang menunggu hujan. Gw tidak ingat dia bilang apa, tapi dia hanya mengaku menyesal. Gw sudah mendengar itu ribuan kali, dan gw ngga tahan lagi. Gw banting cincin itu di hadapannya, lalu pergi. Itulah terakhir kalinya gw melihatnya. Gw bahkan sampai pindah kerja. Sekarang gw kerja di Whitedale Hospital.”
“Deket dengan kantor pusat radio ini donk.”
“Oh ya? Seberapa dekat?”
“Sepuluh menit naik bus. Lalu apa yang akan loe lakukan dengan kehidupan loe? Sudah siap untuk jatuh cinta lagi?’
“Gw akan hidup seperti biasa. Masalah laki-laki, gw belum tahu. Gw masih trauma.”
“Sebelum loe mengakhiri siaran ini, bisa loe ceritakan dari mana asal nickname Summer Glow itu?”
“Ok. Seseorang, sebut saja Frost, memberikan nama itu di pertengahan musim panas lima tahun lalu, tepat sebelum gw masuk akademi. Dia laki-laki yang baik, ramah, dan tidak mudah tergila-gila pada perempuan. Dia teman gw sejak kecil, jadi gw tahu hal itu. Di suatu malam, ia mengajak gw ke tempat di mana fireflies biasa muncul. Banyak sekali, sangat indah. Dan tepat ketika itu, ia memanggil gw Sumer Glow. Sebenarnya ia memberikan satu nickname lagi.”
“Apa itu?”
“Rahasia dong. Yang jelas, jika bisa gw ingin sekali bertemu lagi dengannya.”
“Kenapa?”
“Rahasia dong.”
“Rahasia terus sih. Ya udah, masih ada lagi yang ingin diceritakan?”
“Sepertinya ngga ada deh. Sudah dulu ya. Kalau ada cerita lagi, gw telepon deh.”
“Baiklah. Sampai jumpa, Summer Sunshine!”
“Bye! Eh?”
Hubungan telepon sudah terputus, dan aku siap untuk menutup acara. “Inilah akhir dari acara My Diary, semoga malam kalian cukup menyenangkan. Terutama karena ini weekend, ngga ada salahnya dong bersenang-senang di rumah sambil mendengarkan acara radio ini. Kita bertemu lagi minggu depan. Bye.”
Aku langsung mengambil jaketku yang tebal dan berwarna hitam segera setelah aku keluar dari ruang siaran. Aku ingin pergi, ke Whitedale Hospital. Akulah Frost dalam cerita Summer Glow.
Elena Summer, itulah nama aslinya. Dan benar aku memberikan nama itu tepat sebelum ia pergi ke luar kota untuk belajar di akademi keperawatan. Summer Glow dan Summer Sunshine. Nama asli Dokter Storm adalan Jack Storm, kakak dari teman kuliahku. Aku tahu hubungan itu, tapi ia tidak tahu aku tahu.
Tapi sekarang ia sendiri. Dan aku sudah mendengar bahwa ia ingin bertemu denganku. Mungkin ia sedang tidak bekerja, tapi aku bisa tahu di mana tempat ia tinggal.
Elena Summer, perempuan kecil yang selalu ceria dan bersinar di mataku. Itulah mengapa aku memanggilnya Summer Glow. Dan aku masih menginginkannya.

Minggu, 13 Juli 2008

Hanya Ingin Bertemu

Baru sehari aku menginjakkan kaki di asrama kampus, aku sudah memikirkan si dia. Dia bukan kekasihku, hanya seseorang yang sangat aku impikan. Sudah enam tahun tidak bertemu. Ya, bisa ditebak bahwa terakhir kali aku bertemu dengannya adalah pada perpisahan kelulusan SD.
Tapi sekarang aku punya kesempatan untuk bertemu denganya, tapi aku belum tahu caranya. Aku melihat namanya di daftar mahasiswi yang masuk kampusku. Ia tinggal di asrama putri, sepuluh menit berjalan kaki dari asrama putra. Tapi putra tidak bisa begitu saja masuk ke asrama putri. Sambil terbaring di tempat tidurku di asrama, aku terus memikirkan hal itu.
Lalu aku teringat, aku memiliki teman perempuan di asrama putri. Aku hubungi saja dia.
“Jeng, apa kabar?”
“Langsung aja deh. Pasti ada maunya.”
“Iya. Gw mau minta tolong. Gw ingin loe berteman dengan perempuan yang bernama Neva. Setidaknya cari tahu nomor ponselnya deh.”
“Kenapa?”
“Dia cinta pertama gw. Pasti ngga sulit untuk orang yang agak ekstrovert seperi loe.”
“Ekstrovert? Apaan tuh?”
“Bukan apa-apa. Bisa, kan?”
Ajeng terdiam sebentar, lalu berkata “Gw ngerti. Gw dapet hadiah apa?”
“Nasi goreng, sampai delapan ribu rupiah.”
“Plus kentang goreng dan es krim.”
Dalam hati aku mengutuk Ajeng yang seenaknya saja menambah syaratnya. Tapi bertemu Neva lebih penting dari pada kehilangan lima belas ribu. “OK, tapi setelah gw bertemu dengannya.”
“Itu bisa diatur.”
Aku sangat mengandalkan Ajeng. Dia memang perempuan yang mudah mencari teman, walaupun agak gendut. Tapi dia sebenarnya enak untuk diajak bicara, dan orangnya fleksibel. Dia bisa beradaptasi dengan kondisi pertemanan apapun juga.
Satu hari berlalu, dan aku belum mendapat kabar dari Ajeng.
“Jeng, bagaimana?”
“Gw masih mencarinya. Orangnya pergi melulu, jarang berada di asrama.”
“Begitu ya.”
“By the way, dia itu seperti apa sih?”
“Yang gw tahu dan kemungkinan masih benar, dia orang yang sangat cantik, kaya raya, suka senyum, dan suaranya merdu. Selain itu, gw ngga tahu karena sudah enam tahun ngga bertemu.”
“Sejak SD dong? Cinta monyet tuh.”
“Bukan, gw yakin bukan.”
“Terserah loe deh. Bye.”
Benar, dia sangat cantik. Tapi terakhir kali bertemu dengannya, yang sangat aku ingat adalah ia perempuan yang sangat ceria, lugu, dan baik hati. Rasa ingin tahunya juga tinggi. Tapi manusia bisa berubah seiring waktu menempa. Aku harap ia tidak berubah, aku menyukai dirinya yang dulu.
Hari berikutnya.
“Bagaimana, Jeng?”
“Gw lagi jalan bareng dia,” jawabnya sambil bisik-bisik.
“Di mana?”
“Di pasar raya. Dia baik banget mau mentraktir semua temanya, termasuk gw.”
“Ya udah. Semoga sukses.”
Pasar Raya, adalah seperti festival yang berlangsung tujuh hari dua puluh empat jam. Ketika malam lebih ramai. Makanan di sana memang murah, tapi bagi penghuni asrama masih cukup mahal karena harus bertahan hidup dulu sampai kiriman orang tua yang selanjutnya datang. Bagi Neva tidak demikian. Dan ia memang cukup baik
Hari berikutnya, dua hari menjelang hari kuliah pertama. Dan aku semakin ingin bertemu dengannya.
“Jeng, ada celah ngga untuk bertemu dengannya?”
“Bisa. Jam enam besok pagi kita mau lari pagi. Loe stand by aja di depan asrama putri besok.”
“OK, tapi loe harus on time.”
“Belum tentu. Namanya perempuan pasti perlu dandan dulu, bahkan sebelum lari pagi.”
“Sialan.”
Dan sesuai instruksinya, aku stand by di depan asrama putri esok paginya. Mengenakan kaus tanpa lengan warna putih dan celana bela diri warna hitam, aku berusaha untuk terlihat mencolok. Thanks to teman sekamar yang mau meminjamkan celana panjangnya.
Sambil berpura-pura instirahat aku duduk di depan asrama putri. Agar tidak bosan menunggu aku mendengarkan musik lewat MP3 player. Aku tahu aku terlalu cepat, tapi lebih baik begitu dari pada terlambat.
Aku bisa melihatnya. Itu Neva! Astaga, dia semakin cantik, semakin dewasa. Benar-benar perempuan idaman seluruh pria. Dan ia masih menyukai warna merah cerah, seperti warna pakaian yang sedang dikenakannya. Model rambutnya tidak berubah, masih pendek seperti dulu.
Ajeng memberi aba-aba untuk mencegatnya
“Hai Neva,” sapaku.
“Hai.”
Aku seperti kesulitan bicara. Siapa yang tidak jika berhadapan dengannya?
“Kita pernah bertemu?” tanyanya.
“Ya. Masih inget kan?” aku tak mampu menjelaskan siapa diriku. Aku benar-benar grogi.
Neva masih berusaha mengingat siapa aku, tapi sepertinya tidak berhasil. “Berikan aku satu petunjuk.”
“Teman SD, jarang mengerjakan PR, sering terlambat, jahil, dekil, tidak disukai guru.”
“Itu bisa siapa saja.”
“Di lapangan sepak bola, ketika itu ada seseorang yang menyelamatkan loe dari bola yang mengarah ke loe, dan loe tetap menangis.”
“Dan ketika itu orang itu membelikan aku permen agar aku diam. Andre?”
“Iya.”
Tepat setelah itu seorang pria besar, lebih besar dariku, memeluk tubuh Neva yang mungil dari belakang, sambil menyapa “Hai sayang.”
“Hai,” balasnya dengan suara yang merdu sekali, yang aku harap untukku. Tapi bukan. Itu adalah kekasihnya, yang juga masuk kampus sama. Tubuhnya yang kecil seolah tertelan oleh pria besar itu.
“Dre, kalau ngga ada urusan yang penting, aku pergi dulu ya?”
“Ya.”
Ia dan kekasihnya lalu pergi berolah raga bersama, meninggalkan aku dan Ajeng. Mereka terlihat sangat bahagia. Aku sangat ingin berada di sisinya, aku bersumpah akan membahagiakannya dengan sepenuh hati melebihi siapapun. Tapi itu akan sangat sulit terwujud, aku tahu itu.
“Sabar ya, Dre.”
“Ya.”
“Traktirannya jadi, kan?”
“Ya. Gw hanya ingin bertemu dengannya saja kok.”

Sabtu, 28 Juni 2008

Aku Tak Bisa Mengingatnya

“Kathy, di mana file klien yang terakhir!?” seru seorang temanku, Sandra.
“Aku lupa, San.”
“Mana mungkin bisa lupa? Baru satu jam yang lalu kamu berhadapan dengannya.”
Aku berdiri di depan komputerku dan berusaha mengingat dengan melihat seluruh ruangan yang terlihat berantakan itu. Dari sepuluh meja itu, mejakulah yang paling berantakan. Dan aku masih tidak bisa mengingatnya.
“Di mana ya?” tanyaku pada diriku sendiri, sementara Sandra masih menunggu kembalinya ingatanku.
“Mungkin kamu mau sedikit curhat?” tanyanya.
“Untuk apa?”
“Orang bodoh pun tahu kamu sedang bermasalah. Pakaian kamu ngga matching, rambut kamu ngga rapi, dan kamu menjadi pelupa. Syukur deh kamu tetap on fire ketika berhadapan dengan klien tadi.”
“Aku ngga ada masalah kok, swear.”
“Yakin?”
“Iya. File klien itu masih di depan mesin fotokopi. Sekalian kopikan, ya? Mungkin aku lupa tadi,” kata-kataku tadi bisa meyakinkannya bahwa aku sedang tidak bermasalah. Aku sedang tidak cukup bermasalah dengan putusnya aku dan Andrei. Aku sedang tidak cukup bermasalah bila Andrei kembali ke mantannya. Aku sedang tidak cukup bermasalah dengan naiknya tagihan listrikku. Aku sedang tidak cukup bermasalah dengan hadirnya klien yang memiliki masalah finansial yang sangat parah. Bila dipikir-pikir, klien itu lebih bermasalah.
“Kathy, kamu pasti bermasalah deh,” katanya sambil memebrikan kopian file klienku beserta beberapa file aslinya.
“Kenapa?”
“Begitu aku sampai, file itu sudah terkopi. Apa mungkin orang yang tidak tahu hal ini mengkopinya?”
Tapi Sandra enggan melanjutkan pembicaraan, karena ia tahu aku tidak akan bicara. Aku hanya bicara banyak pada klien yang sedang mengalami masalah finansial dan memberi solusi, karena itulah pekerjaan konsultan.
Tapi aku sedang terganggu oleh sesuatu, entah apa itu. Gangguannya makin terasa ketika aku melihat foto besar wajah Andrei, yang aku harap mau mencukur dagunya lebih rajin. Kenapa setengah tahun perasaan yang dibangun dengan indah menuju suatu kesempurnaan bisa runtuh dalam beberapa detik saja oleh kata-katanya. Aku memang sedang bermasalah. Entah sampai berapa lama aku akan terus menyangkalnya.
Hidup memang tak adil. Sudah cukup aku mengetahui keistimewaan Andrei, seorang pemilik perusahaan alat tulis terkenal, yang memulai segalanya dari nol sampai angkasa dalam waktu singkat, orang kaya yang selalu memberikan setengah pendapatannya untuk amal, dan aku tak ingin mengetahui keistimewaan Lucia, pengacara terhebat yang selalu berpihak pada orang miskin dan selalu memenangkan kasus. Mereka berdua sungguh serasi. Berbeda sekali dengan aku yang selalu membantu orang-orang yang terlanjur bangkrut karena sikap boros mereka.
Tidak adil, karena Andrei sendirilah yang mengatakan tentang Lucia kepadaku ketika aku sedang minum kopi di kafe dan ia tidak sengaja menemukanku, seperti pertemuan pertama kami. Dan etnah mengapa pembicaraan menuju ke arah itu. Ketidaksengajaan juga?
“Kenapa kamu mengatakan itu kepadaku?” tanyaku.
“Aku hanya ingin kamu tahu, dia membosankan,” jawabnya.
“Menolong orang tidaklah membosankan. Itu sikap yang mulia.”
“Seperti yang kamu lakukan? Lama kelamaan kamu juga merasa bosan.”
“Aku menolong orang yang sudah terlanjur berdosa. Apa yang aku lakukan tidaklah sebanding dengan apa yang ia lakukan. Perbuatanku terlihat mulia, padahal tidak.”
“Begitu juga denganku. Ketika aku beramal, aku tidak tahu ke mana uang itu pergi. Kios rokok? Penjual minuman? Penyalur narkoba?”
“Orang miskin punya hal yang lebih penting dari itu semua.”
“Kamu tidak tahu apa-apa. Karena miskin mereka bodoh dan tidak tahu cara hidup yang benar.”
“Lalu apa yang salah dengan Lucia?”
“Kamu tahu dia pengacara.”
“Yang berpihak pada orang miskin.”
“Semua pengacara sama saja. Mereka memutarbalikkan kebenaran. Siapapun yang mereka bela, mereka selalu ingin menang. Mungkin mereka tahu siapa yang sebenarnya benar, tapi mereka tidak peduli. Orang miskin pun bsia berbuat salah.”
Aku menghela napas, membenarkan perkataannya. Tapi aku masih belum mengerti. “Kenapa kamu mengatakan ini?”
“Aku hanya ingin kamu tahu, semua yang terlihat baik di luar, belum tentu di dalamnya demikian. Aku pernah mengatakan kepada kamu bahwa perempuan itu, ...”
“Makhluk yang luar biasa, aku tahu,” dan membuatku jadi teringat pada Lucia yang berambut coklat dengan mata kebiruan yang selalu aku impikan. Begitu juga dengan tubuhnya yang selalu terlihat sempurna dan ia selalu tahu kapan waktu yang tepat untuk tersenyum manis.
“Aku hanya ingin bilang, kamu luar biasa.”
“Tapi kamu tetap tidak ingin meninggalkannya?”
“Jika ada pilihan yang lebih mudah, aku tidak akan melepaskanmu.”
Aku masih ingin bicara, tapi hari harus berakhir. Aku akan sangat merindukannya. Aku menyesal tidak berlama-lama bicara padanya ketika masih sempat. Dan perasaan itu semakin terasa ketika aku bertemu bosku. Dan ia mengatakan sesuatu yang tidak ingin didengar sebagian besar kaum pekerja.
Aku akan dimutasi, tidak lama lagi.
“Please tell me it’s not true,” kataku ketika menghadapi kenyataan itu. “Apa ini karena penurunan kemampuan saya dalam bekerja? Karena saya menjadi pelupa akhir-akhir ini, atau yang lainnya?” tanyaku pada bosku yang merupakan perempuan paling bergaya dalam gedung tempatku bekerja.
“Yang lainnya. Aku memutasi kamu karena di tempat itu memang butuh seorang yang berpengalaman. Aku tidak bohong.”
Ya, dia memang tidak bohong. Bahkan ketika ia mengatakan bahwa Andrei adalah investor baru di tempatku bekerja, aku kembali berkata, “Please tell me it’s not true.”
Kenapa? Kenapa ini bisa terjadi? Menajdi investor baru dengan saham mayoritas akan menjadi bos.
“Kamu kenapa lagi, Kat?” tanya Sandra, memahami kesedihanku.
“Andrei akan menjadi bos di tempat ini.”
“Bukankah itu bagus?”
“Tapi aku akan dimuatsi sebelum ia menjadi bos di tempat ini.”
Mungkin ia akan menjadi bos, tapi ia tak bisa begitu saja menghentikan mutasiku dan beberapa orang lainnya, karena itu adalah keputusan rapat pemegang saham.
“Tapi kamu masih bisa bertemu dengannya.”
Tepat setelah ia mengatakan itu, Andrei sudah berada di belakangku. Ketika aku berpaling, Sandra pergi meninggalkan kami berdua.
“Aku sudah dengar gosipnya,” kata Andrei.
Aku tak bisa berkata-kata. Ia bisa membaca semua pikiran dan kesedihanku. Ia tahu, ia mengerti aku.
“Padahal aku berinvestasi agar bsai dekat denganmu,” katanya, dan aku tahu ia bohong. Keputusannya berinvestasi bukan karena itu. Ia tidak pernah berbuat bodoh seperti itu. Berapa banyak uang dan usaha keras yang harus ia keluarkan untuk mendapatkan saham mayoritas?
“Begitu? Bagaimana dengan Lucia?”
Aku bisa melihat wajah kecewanya. “Baiklah,” jawabnya sambil berpaling dan pergi melangkah meninggalkanku.
“Tunggu!” Aku tentu saja tidak bsia membiarkanya pergi. Aku memanggilnya kembali setelah ia melangkah beberapa kaki.
Ia berbalik menghadapku, tapi ia membuatku kesulitan berkata-kata.
“Aku tak bisa mengingatnya,” kataku.
Ia tidak mengerti. Tentu saja, aku kesulitan berkata-kata.
“Aku tidak bisa mengingat, kapan terakhir kali kamu memelukku. Aku akan dimutasi, dan hal terakhir yang ingin aku lakukan di sini adalah mengingat saat terindah dalam hidupku. Dan aku tidak bisa.”
Ia hanya tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya yang tadi tertunda, menjauhiku.
Aku kecewa. Aku langsung duduk di kursiku. Aku tidak tahan, ingin rasanya menangis. Tapi sebuah suara menghentikan hal itu.
“Waktu itu hari Rabu. Malam itu hujan deras dan kita sedang berteduh di rumahmu setelah kita berwisata di kapal feri. Kamu memakai pakaian berwarna biru. Dan setelah kita berciuman, aku memberimu anting mutiara. Dan aku lihat kamu masih memakainya.”
Aku berbalik memandangannya. Ternyata ia masih di sana.
“Aku juga ingat, aku merasakan manisnya buah peach di bibirmu.”
“Itu buah strawberry.”
“Apa?”
“Lipstikku rasa strawberry.”
Ia terdiam sebentar. Aku rasa ia sedang berusaha mengingat momen itu, mengingat bagaimana rasanya. Aku juga sedang mengenang momen itu.
“Baiklah.”
“Ya,” jawabku.
Lalu ia pergi dari hadapanku. Ia benar-benar mengerti aku, yang tidak ingin meninggalkannya dengan beban begitu berat. Sudah cukup bagiku untuk tahu bahwa Andrei bukanlah milikku.

Sabtu, 21 Juni 2008

Dermaga Merah Tua

Laut biru yang indha. Entah mengapa aku berpikiran seperti itu, padahal jelas sedang tidak terlihat demikian. Di dermaga itu, laut selalu terlihat merah tua setiap sore sepanjang tahun. Aku hanya ingin sesuatu berjalan seperti biasa, meski aku tahu yang sedang aku lihat bisa lebih indah.
Dermaga itu sudah tua. Dermaga yang hanya terdiri dari jembatan kayu yang panjang menghubungkan dua tanjung yang berdekatan, memisahkan teluk dengan lautnya, hampir tidak terpakai lagi. Hanya dipakai untuk berlabuh kapal-kapal nelayan tradisional, itu pun hanya sebagai tempat berisitirahat karena ada pondok tua berdiri di dekatku.
Tapi bukan berarti tempat itu sepi. Ada tempat wisata berjarak seratus meter dari dermaga, danau air asin yang indah yang mengalami pertukaran air hanya pada saat air pasang saja. Tempat yang indah, penuh dengan kura-kura, ubur-ubur, dan rumput laut. Tidak heran jika ada beberapa wisatawan lewat dermaga itu sesekali.
Dan aku senang tidak sedang sendiri. Aku tidak menghitung keberadaan para nelayan yang sedang merokok di pondok dermaga, tapi aku melihat ada tiga orang perempuan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Mereka wisatawan, aku tahu itu. Bukannya aku bukan wisatawan, hanya saja aku lahir di desa dekat danau air asin itu. Tapi aku keluar desa hingga ke kota besar untuk mengejar pendidikan. Sudah delapan tahun aku tidak kembali. Begitu hadir kembali, aku tidak hanya dibuat takjub oleh keindahan kampung halamanku, tapi juga oleh seorang perempuan cantik bersama dua orang temannya itu.
Mereka juga sedang melihatku. Mungkin aku, yang berambut tipis, berkulit coklat gelap dengan kemeja tanpa kancing dan celana selutut cukup menarik bagi mereka. Tapi aku merasa tidak sebanding dengan perempuan berambut lurus hitam sempurna, mata yang indah, dan senyum yang sangat menarik. Kedua temannya juga tahu aku sedang terfokus padanya.
Dan ia seolah memberikan aku tantangan. Melihat senyumnya, aku tahu ia memintaku untuk mengikutinya. Aku tahu, bahkan ketika ia belum berkata. Bahkan kedua temannya pergi seolah mendukung aksi kejar-kejaranku dengannya.
Ia berjalan dengan pelan dan anggun sambil sedikit menggodaku dengan senyumnya. Aku tak ingin terburu-buru, aku suka melihatnya seperti itu. Hingga papan kayu terakhir dermaga ia masih ingin aku mengejarnya.
Sampailah kami di pantai berpasir putih. Kami yang pertama berjalan di pantai itu sejak pasang terakhir, tak ada jejak lain selain jejak kaki kami. Dan pantai itu seolah milik kamu.
Perempuan itu berhenti di batu karang berbentuk strato setinggi tubuh manusia. Batu karang itu tertutupi kerang yang terjebak oleh air pasang. Ia berhenti seolah sedang menikmati batu karang yang indah itu, tapi sebenarnya ia menungguku. Ketika aku sudah cukup dekat dengannya ia memutar ke balik karang. Matanya terus memandangiku.
“Siapa namamu?” tanyaku. Aku mengikutinya berputar searah dengannya.
“Sandra. Tapi teman-temanku memanggilku Sandy.”
“Sandy. Aku Jonathan. Panggil aku Jo. Boleh aku menggenggam tanganmu?”
“Kenapa?”
“Sebagai tanda bahwa kita sudah berkenalan.”
“Kamu pasti punya niat lain, kan?”
“Iya. Kamu cantik banget sih.”
Ia sedikit tersipu. “Kenapa kamu mengikutiku?”
“Kamu yang memintaku.”
“Aku tak pernah mengatakan itu.”
“Matamu yang mengatakan itu.”
“Kamu pria yang manis. Buat aku terkesan dengan apa yang bisa kamu lakukan. Perlihatkan padaku. Aku tahu kamu berasal dari tempat ini.”
Apa yang bisa membuatnya terkesan? Keahlian lokal apa yang aku miliki dan bisa membuatnya terkesan? Sepertinya aku tahu. Ia pasti belum pernah melihatnya.
Aku membuat garis lurus dengan tanganku sejauh beberapa langkah. Ia mengamatiku dari balik karang ketika aku berhenti di suatu titik, lalu aku menggali titik itu. Aku menemukan kulit kerang berbentuk tanduk yang berwarna sangat putih. Tapi bukan hanya itu kejutannya. Aku menghancurkan kernag itu, lalu muncul sebuah benda berbentuk diamond dengan warna yang sama yang merupakan bagian paling keras dari kerang itu.
“Kamu membunuh kerang itu?”
“Setelah mencapai karang, kulit kerang itu sudah tidak bernyawa. Kepiting pasir jantan yang menguburnya untuk membangun sarang dan menarik perhatian kepiting betina,” seperti yang sedang aku lakukan.
Dan ia menerima perhiasaan kerang itu. “Terima kasih,” ucapnya.
“Kamu lapar?”
“Kamu membawa makanan?”
“Di sini makanan banyak.”
Aku membuktikannya dengan mencongkel salah satu kerang yang menempel di batu karang itu, lalu membukanya dari bagian bawahnya yang datar. Ada daging kerang yang keluar dan aku memakannya.
“Rasanya seperti telur asin, hanya lebih lembek saja,” kataku, menanggapi ekspresi jijiknya.
Setelah itu aku memperlihatkan satu lagi keahlian lokal yang aku dapatkan ketika tinggal di desa selama 12 tahun itu. Aku menggambar lukisan besar dengan menggunakan jari di atas pasir. Aku membuat garis yang tidak terputus, tapi menjadi suatu bentuk seni yang sangat indah seperti lukisan. Aku katakan bahwa itu menggambarkan keserasian antara alam dan manusia yang sangat dihormati di desaku.
Kami berdua ngobrol bersama dan seolah saat itu menjadi selamanya. Aku tentu saja sangat menginginkan itu terjadi selamanya. Tapi senja harus berganti menjadi malam. Kebersamaanku dengannya harus berakhir dengan tenggelamnya matahari dan terbitnya bulan dari arah sebaliknya. Aku tidak akan melupakan saat-saat ketika aku duduk bersama dengannya di dermaga, mencelupkan kaki ke air laut sambil menghadap teluk dan menunggu bulan muncul di hadapan kami.
“Aku harus pulang,” katanya.
“Aku antar kamu.”
“Tidak usah. Jangan.” Kata-kata itu keluar ketika aku menggenggam tangannya dengan maksud mengantarnya.
“Kenapa?”
“Karena, ...” ia terus memandang tangannya yang aku genggam itu.
Aku juga mencoba untuk mencari tahu apa yang menyebabkan kebimbangannya itu. Mungkin aku salah dalam bersikap. Awanya aku berpikir ia tidak suka disentuh seperti itu. Tapi aku salah. Ekspresinya berubah dan sedikit memalingkan muka ketika aku melihat ada cincin di jari manisnya.
“Aku senang sekali hari ini, sungguh,” katanya. “Tapi aku sudah dimiliki oleh seseorang. Dan ia sedang menungguku.”
“Tidak apa-apa. Aku tidak memikirkan itu. Sekarang sudah gelap, aku antar kamu sampai desa.”
Memang berat. Bisa dibayangkan seperti apa rasanya jika setelah akrab dan merasa yakin bisa memilikinya, ternyata tidak bisa. Bisa dibayangkan jika cinta berbunga pada satu hari saja, tapi sakit hati selama sisa hidup yang ada. Aku tak akan melupakan Sandra. Ia memang secantik dermaga merah tua yangs angat aku banggakan. Bersamanya, dermaga terasa lengkap.

Rabu, 11 Juni 2008

A Love by Deadline

“Dua minggu?” seruku.
“Iya. Ngga susah kan? Apalagi buat orang yang pernah pacaran dengan selebritis seperti loe. Pasti gampang bila hanya mencari perempuan biasa untuk dijadikan kekasih.”
Kata-kata Amy barusan memang benar. Tidak sedikit perempuan yang sudah mengaku menyukaiku. Yang menjadi masalah adalah apakah dua minggu cukup bagiku untuk mencintai seseorang? Bahkan cinta gw yang sebelumnya tidak datang dalam satu kedipan, perlu dua tahun untuk terbiasa dengannya. Mencintai perempuan tidak mudah bagiku, bahkan itu adalah hal yang tersulit dalam hidupku.
Unit apartemen tempatku berada adalah tempat di mana keramaian sedang berlangsung. Mereka semua adalah teman-temanku, tapi aku yang terbaru di sini. Enam bulan. Tapi aku tidak suka tempat ini, yang lebih mirip tempat untuk memamerkan kekayaan dan pasangan baru. Mereka pikir aku tepat berada di sini. Tapi aku tak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Mereka adalah tim basketku.
Seharusnya aku tidak mengikuti permainan Dare or Truth ini. Permainan ini lebih seperti mengerjai orang dari pada bersenang-senang. Yang tidak kena giliran tentu saja bisa bersenang-senang.
Korban pertama adalah Merrick, pemilik tempat ini, yang paling sering berganti perempuan, dan yang paling kaya. Yang terakhir berlaku hingga aku datang, karena kecerobohan seseorang yang membuat Merrick mengikutiku hingga bandung tempat tinggalku yang sebenarnya hingga akhirnya ia tahu.
By the way, ia memilih Truth. Ketika menjawab pertanyaan berapa jumlah perempuan yang pernah ditidurinya, ia menjawab ”Sekitar tujuh.” Aku tidak peduli seberapa banyak, reputasinya memang sudah seperti itu. Bahkan ada yang menduga ia melakukan lebih banyak dari itu.
Korban kedua, Rylai. Seorang cowok yang setia kepada kekasihnya yang sangat cantik itu. Ia memilih Truth juga. Pertanyaannya menggoyang kesetiannya kepada kekasihnya, yaitu apakah ada kemungkinan ia akan putus dengan kekasihnya itu. Ia menjawab “Gw ngga akan pernah meninggalkan Silvia,” sambil memeluk kekasihnya itu.
Korban ketiga, Marco, cowok gendut yang sudah pasti hobi makan. Ia memilih Dare. Tantangannya adalah mengucapkan kata-kata cinta kepada Angel, yang tercantik dan juga dua tahun berturut-turut menjadi ratu sekolah. Tahun ketiga direbut oleh mantan kekasihku yang seorang selebritis dan murid pindahan dari sekolah lain. Sesaat suasana menjadi hangat karena tawa yang disebabkan oleh kelucuan Marco ketika ia mengucapkan kata-kata sakti itu, dan ia memang selalu begitu.
Korban keempat adalah aku. Aku memilih Dare, dan Amy yang mengatakan tantangannya, yaitu mencari perempuan baru dalam dua minggu. Aku baru seminggu putus dan ia ingin semakin membuat diriku dicap sebagai seorang yang gila perempuan.
“See you in next two weeks,” kata Amy.
Pasca pesta di unit apartemennya Merrick, aku langsung mencari perempuan baru. Meski semua orang menganggapnya mudah aku lakukan, tapi dua minggu memang waktu yang sempit.
Aku memutuskannya mencari lewat internet karena ingin mencari perempuan dari luar sekolah. Aku enggan memasang fotoku karena sebagai mantan kekasih seorang selebritis pasti sudah banyak yang mengenalku.
Aku beruntung. Tiga hari pasca permainan itu usaha ku selama berjam-jam di warnet berbuah hasil. Seseorang bernama Kathleen adalah orang yang siap aku incar. Ia juga enggan memasang fotonya. Meski begitu, aku yakin ia cukup cantik, dilihat dari namanya. Kathleen, perempuan berusia 14 tahun yang selalu menggunakan aku-kamu conversation. Hanya itu yang aku tahu karena aku tidak pandai menilai seorang perempuan dari sisi manapun. Tapi aku tidak peduli tentang kecantikan fisiknya yang belum aku ketahui itu karena ini hanya permainan Dare or Truth. Setelah permainan ini selesai aku akan segera putus dengannya.
Terdengar kejam? Bukankah perempuan sudah biasa diperlakukan demikian? Tapi aku tak biasa melakukan itu, meski kisahku yang terakhir berakhir akibat kekejamanku.
Pagi hari tiga hari kemudian, aku dan Kathleen berencana untuk bertemu selepas jam sekolah. Aku menyerahkan tempat pertemuan kepadanya. Amat mengejutkan ketika pada siang harinya ia berkata ingin bertemu di atas jembatan penyeberangan di depan sebuah pusat perbelanjaan. Sebuah tempat yang sangat tidak biasa untuk bertemu.
Dan di atas jembatan itulah aku langsung lupa dengan niat kejamku, ataukah sengaja melupakannya? Bagaimana tidak? Semua khayalanku tentang perempuan tercantik di dunia ada pada rini Kathleen. Rambut pendek hitam sempurna, mata yang indah, dan bibir yang tipis. Mirip sarah Utterback, hanya saja matanya lebih indah. Ia juga mengenakan sleeveless merah dan rok biru SMP. Tinggi badannya 15 cm lebih rendah dariku. Aku tak bisa berkata-kata memandang wujudnya, ditambah suaranya yang terdengar lebih merdu dari pada di telepon. Semua telah ia berikan kepadaku di detik itu membuat aku rela untuk tidak hidup lagi karena aku sudah merasakan surga di hadapanku.
Tapi tentu saja aku tidak mengatakan itu.
“Aku tak menyangka yang bernama Andre adalah orang yang seperti ini. Lebih baik dari bayanganku sebelumnya,” komennya tentangku.
“Gw juga begitu,” aku membalasnya secara simpel.
Tapi Kathleen memang tidak seperti perempuan yang aku duga. Ia canggung ketika aku ajak ke tempat-tempat terkenal. Ini mengejutkan mengingat setiap kali bertemu ia yang selalu membawa mobil. Aku bisa menyebutkan seribu alasan mengapa aku tidak membawa mobil, tapi bukan itu masalahnya. Awalnya aku menganggapnya wajar karena ia masih 14 tahun.
Meski demikian, aku tetap menginginkannya. Meski teman bandku (bukan Merrick dkk) merasa geli dengan aku-kamu conversation miliknya dan sahabatku, Sha-Sha, drummer perempuan satu-satunya di tempat kami, berkata bahwa Kathleen lebih tepat menjadi adikku, padahal aku sudah punya adik yang seusianya meski tidak tinggal bersamaku. Aku tetap jalan terus. Meski membosankan juga bersama Kathleen karena tak ada yang bisa aku nikmati selain wajah cantik dan sikap innocent-nya, aku tetap menginginkannya. Hingga akhirnya dia resmi menjadi milikku tiga hari sebelum tanggal yang ditetapkan Amy.
Dan hari itu tiba. Aku membawanya ke unit apartemen milik Merrick dengan rasa bangga karena tahu tidak ada perempuan seperti Kathleen lagi di dunia. Kathleen bahkan lebih cantik dari pada mantanku. Jika sebelumnya mereka iri pada aku yang berpacaran dengan seorang selebritis, kali ini mereka pasti lebih iri.
Dan mereka memang terkejut, kecuali Amy yang malah tertawa. Tapi ekspresi terkejut mereka bukan pada hal yang aku duga sebelumnya, tapi pada hal lain. Aku tidak melihat ekspresi Kathleen hingga ia keluar dari unit apartemen itu tiba-tiba tanpa memperdulikan keberadaanku. Ia bahkan meninggalkanku di tempat.
Aku mengejarnya. Dan setelah meraihnya aku malah berdebat dengannya di depan lift.
“Ada apa, Kat?”
“Aku akan sangat terkejut kalau kamu ngga tahu siapa aku, padahal mereka teman-teman kamu.”
“Gw ngga tahu.”
Lalu Kathleen meninggalkanku menuju lift yang terbuka. Seperti akan selamanya ia seperti itu.
Aku kembali ke unit apartemen itu untuk mencari tahu yang sebenarnya. Mereka masih berdebat mengenai aku dan Kathleen.
“Apa di sini hanya aku yang ngga tahu siapa Kathleen?”
“Mungkin,” kata Marco.
“Siapa dia sebenarnya?”
Lalu Amy mendekatiku dan mengalungkan tangannya di leherku. Aku ingat, ia hanya satu tahun lebih tua dari pada Kathleen sehingga ia mungkin tahu lebih banyak. Tapi ia hanya berkata, “Apakah dunia yang sempit dan kemampuan loe memikat perempuan membuat loe mendekati adiknya Merrick? Untuk apa? Mencari tantangan baru?”
Dari dialah aku tahu bahwa ia adalah adiknya Merrick, yang justru membuatku semakin bertanya-tanya. Mengapa kakak adik terlihat banyak perbedaannya? Selain kekayaan dan gen fisik yang sempurna tentunya, keduanya sangat berbeda. Sering berganti pasangan, merokok, minum, dan sangat populer adalah sifat Merrick yang jauh dari bayang-bayang Kathleen.
Merrick sednag terpaku di balkon. Entah apa yang sedang ia rasakan dan pikirkan. Aku juga memiliki seorang adik perempuan seusia Kathleen yang tinggal di Bandung. Dan aku cukup protektif pada apapun yang terjadi pada adikku. Pertanyaannya, apakah ia protektif juga terhadap Kathleen? Aku rasa tidak. Kathleen bahkan tidak pernah mengatakan sesuatu mengenai kakak.
“Rick, sorry banget. Gw ngga tahu kalau dia, ...”
“Pergi dari sini. Loe sudah cukup mempermalukan gw.”
Ternyata bukan sikap protektif yang membuatnya bersikap demikian, melainkan rasa malu. Entah malu kenapa, karena bukankah ia sudah terbiasa menjadi manusia yang paling merugikan?
Hari itu berakhir dengan kepergianku yang lebih awal. Aku masih berharap bisa bertemu Kathleen lagi, tapi bagaimana caranya? Ia sudah terlanjur membenciku.
Keesokan harinya di sekolah, gosip tentang aku yang mendekati adiknya Merrick sudah tersebar di antara siswa populer. Ada yang mengira aku menjadi lebih berkuasa dari pada Merrick sehingga berani melakukan itu. Ada juga yang mengira hal yang lain, yang sama sekali jauh dari kenyataan.
Tapi dari semuanya, hanya Jane, perempuan pertama Merrick, yang mau bicara langsung kepadaku.
“Gw bisa paham, loe belum mengenal Kathleen ketika itu. Yang gw ngga ngerti, kenapa loe baru menyadarinya seminggu setelah kenalan?”
“Dia ngga pernah mengatakan tentang kakaknya. Dia mengatakan semuanya kecuali tentang keluarga dan kekayaannya.”
“Ya, benar. Mungkin ini semua karena gw. Sebelum jadian sama Merrick, ...”
“Itu tiga tahun lalu.”
“Ya, sudah lama sekali. Sebelum itu, Merrick sangat innocent. Rokok pun tidak pernah didekatinya. Kurang lebih ketika itu dia seperti loe. Dan ketika itu gw sudah mengenal Kathleen, hingga sekarang.”
“Waktu ia sebelas tahun.”
“Tapi tidak menutup kemungkinan ia tahu yang namanya kesepian. Ayah dan ibunya terlau sering bekerja dan tak punya waktu untuknya. Singkatnya ketika itu, gw merebut kakaknya yang merupakan satu-satunya teman bermain baginya. Dan ketika Merrick menikmati waktunya bersama gw, dia juga menemukan hidup yang baru dan melupakan adiknya yang kesepian. Dan Kathleen semakin ditinggalkan. Sepertinya semua karena kesalahan gw,” jawabnya sambil sedikit tersenyum sinis.
“Lalu apa yang terjadi selama tiga tahun itu?”
“Kathleen mencari teman baru dari luar, tapi hanya sedikit yang benar-benar cocok untuknya. Yang kaya hanya mementingkan kekayaan dan popularitas yang jelas-jelas bukan Kathleen banget. Dan yang tidak kaya tidak mau berteman dengannya karena masalah kekayaan itu. Tapi akhirnya ia punya beberapa teman sejati, yang tidak peduli pada popularitas dan kekayaan. Tapi akibatnya ia menjadi tidak gaul, tidak tahu banyak hal. Hanya saja ia masih menginginkan sosok seorang kakak seperti Merrick yang dulu, dan ia masih mencarinya.”
“Maksud loe?”
“Setiap kali ada seorang cowok yang dekat dengannya, ia merasa betah.”
“Dan Kathleen merasa betah bersama gw?”
“Mungkin itu juga sebabnya ia langsung menerima loe sebagai kekasihnya seketika, agar bisa lebih lama bersama loe.”
Andre kini sadar, ternyata bukan ketampanannya yang membuatnya diterima perempuan secantik dan semuda Kathleen.
“Gw bukan yang pertama, kan?”
Jane menggeleng, ”Bukan, tapi loe yang pertama selamat dari amukan Merrick. Ia selalu menghajar setiap cowok yang mendekati adiknya sekaligus mengancamnya. Itu dilakukannya diam-diam tanpa diketahui Kathleen. Dan sepertinya Merrick melakukan itu agar ia tidak begitu gaul. Ia takut Kathleen menjadi seperti dirinya.”
“Dua kalimat loe yang terakhir, itu hanya dugaan loe aja kan?”
“Itu terlihat jelas, kok. Apa yang akan loe lakukan setelah ini?”
“Gw ngga tahu.”
Lalu dari kejauhan terlihat Merrick ingin datang ke hadapanku. Wajahnya terlihat sangat kesal. Bila ingin berantem, Andre siap. Tapi kenyataannya tidak seperti itu.
Merrick tanpa diduga langsung berlutut di hadapan Andre. Ia terlihat tidak peduli, padahal perbuatan itu sangat merugikan dirinya dan reputasinya. Banyak orang yang melihatnya berbuat itu, termasuk Jane, perempuan pertamanya, yang masih berdiri di dekat Andre. Jane bisa saja tertawa, membalas sakit hatinya dua tahun lalu.
“Jadilah kekasih Kathleen. Gw tahu hanya loe yang bisa menjaganya.”
Merrick terdengar seperti memohon, karena memang itu yang sedang dilakukan. Ia ingin aku menjadi kekasih adiknya. Dan apa yang akan aku lakukan? Aku tidak tahu. Untuk bertemu Kathleen pun sudah hampir tidak mungkin. Tapi aku tidak bisa membuat Merrick berlutut di hadapanku selamanya.
“Rick, berdiri. Gw ngga tahu bagaimana caranya agar Kathleen menyukai gw lagi. Itu akan sangat sulit.”
Itu memang benar. Membuat perempuan yang telah disakiti untuk jatuh cinta lagi jauh lebih sulit dari pada mencari yang baru.
“Ia sangat suka nonton. Hadiahkan ia DVD baru, ia pasti akan memaafkan loe.”
Itu adalah petunjuk dari seorang kakak yang ingin adiknya kembali bahagia. Dan juga cukup berguna bagiku, karena aku sangat ingin kembali ke bersama Kathleen.
Keesokan harinya aku ke kediaman Kathleen menggunakan mobil kawanku karena Hummerku telah aku hadiahkan kepada adikku. By the way, aku melakukan itu karena ingin bersama Kathleen lagi. Dan sesuai petunjuk Merrick, aku membawa DVD baru. Aku tidak tahu seperti apa seleranya, tapi aku hadiahkan saja film Hollywood yang bertema cinta.
“Ada apa?” katanya ketika aku temui di halaman depan rumahnya yang sangat luas itu. Aku bahkan hampir tidak bisa menemukannya karena tubuhnya yang mungil berselimut pakaian berwarna cerah biru hijau sangat menyatu dengan sekitarnya.
“Gw mau minta maaf.”
“Untuk apa? Kamu sudah mempermalukan aku di depan kakakku dan teman-temannya. Seolah aku hnaya seorang perempuan yang bisa dipermainkan begitu saja. ”
“Waktu itu gw ngga tahu bahwa loe adalah adiknya Merrick. Gw serius menyukai loe, tanpa syarat apapun. Dan gw tahu loe juga menginginkan gw.”
“Jangan katakan itu.”
Terlihat keraguan pada diri Kathleen.
“Bila ada sesuatu yang bisa emmbuat loe kembali kepada gw, katakan saja apa itu. Dan gw akan mengabulkannya.”
“Katakan saja apa yang bisa kamu lakukan untuk membuatku bahagia.”
Aku mengeluarkan DVD film Holywood, What Happened in Vegas. Terlihat seberkas cahaya dari wajah Kathleen, meski aku belum mengatakan apa-apa.
“Loe pernah mengatakan bahwa loe sangat suka DVD. Gw mau loe menerima ini, terserah apa loe akan memaafkan gw atau ngga. Tapi yang paling gw harapkan tentu saja agar gw bisa menontonnya bersama loe.”
Sebenarnya ia tidak pernah mengatakannya kepadaku. Tapi selama ia tidak tahu, tidak masalah. Terutama setelah ia tidak tahu bahwa aku mengetahuinya dari kakaknya.
Yang aku lihat selanjutnya adalah senyum Kathleen, yang membangkitkan semangatku terhadapnya. Bagaimanapun juga ia tetap gaids kecil yang gampang digoda, yang membutuhkan perhatian. Aku adalah orang yang sangat dibutuhkannya, tentu saja ia tidak dapat menahan godaan itu.
Yang terjadi selanjutnya adalah ia mengajakku ke dalam rumah, menuju teater kecil milik keluarganya. Rumahnya sedang sepi, dan aku bisa mengerti kenapa. Teater itu, dengan layar yang cukup lebar dan memakai proyektor LCD, rasanya memang seperti movie theater sungguhan. Tapi sofa yang ada hanya untuk lima orang. Berhubung yang menyaksikan hanya dua orang, Kathleen dan aku, sofa itu terasa lega.
Memang benar kata Jane. Kathleen membutuhkan perhatian. Ia langsung bersandar kepadaku ketika film dimulai. Tapi yang ingin aku berikan bukan hanya perhatian sebagai seorang kakak pengganti. Aku tahu Kathleen membutuhkan lebih. Ia memang kesepian, tapi perhatian yang dibutuhkannya tidak hanya itu. Ia sudah 14 tahun, sudah pasti ia tahu apa itu cinta. Tapi itu hanya pengertin cinta dari anak 14 tahun saja.
Dan hari-hari setelah itu aku lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya. Aku terus menjadi penjaganya, menuruti apa keinginannya, dan membuatnya bahagia. Aku pun senang melakukan itu untuknya, aku senang melihat senyumnya dan merasakan keceriannya. Lalu semakin banyak orang yang menganggap aku dan dia seperti kakak beradik. Tidak lagi Sha-Sha yang hanya berpendapat seperti itu, beberapa temanku juga berpendapat demikian.
Dan Merrick harus menjalani hidup dengan cara yang tidak seperti dulu lagi. Pasca berlutut di hadapanku, popularitasnya menurun. Sepertinya ia rela melakukan apapun agar adiknya tetap innocent seperti dulu, tapi dengan menjadikan aku sebagai kekasih Kathleen bukanlah jalan yang tepat. Ia sadar, Kathleen sudah membencinya sejak lama sehingga ia tidak bisa berbuat lebih banyak seperti yang diharapkannya.
Tapi lama kelamaan aku sadar, ada hal yang aku tidak mengerti. Seperti apa cara pandang Kathleen terhadap hubungan ini belum aku ketahui. Dan aku tidak ingin menanyakannya, meski aku tidak ingin juga bila ia hanya menganggapku sebagai kakak pengganti. Aku tidak bisa terus-terusan bersama seorang perempuan cantik hanya karena ia menganggapku sebagai kakak. Ini bukan pertanyaan bagi perempuan 14 tahun. Au tidak menginginkan hubungan seperti kakak beradik, meski melaju lebih jauh juga bukan agendaku. Mungkin belum saatnya hingga aku tahu apa yang sebenarnya aku rasakan terhadap Kathleen.
Dan hari untuk mengetahui jawabannya telah tiba. Kathleen menciumku ketika kami sedang berada di taman rumahnya. Itu ciuman orang dewasa, bukan ciuman dari seorang adik terhadap kakaknya. Bukan pula di pipi. Dan aku bisa membedakan rasa dan maksudnya. Bagaimana itu terjadi, tentu saja karena aku laki-laki. Hanya orang bodoh saja yang tidak menginginkan Kathleen memulainya. Tapi ini membuktikan bahwa Kathleen tidak se-innocent dulu, yang diharapkan Merrick.
“Ini ciuman pertama aku,” katanya. Dan tentu saja aku percaya. Aku ragu ia pernah melakukannya sebelumnya. Dan ini mengubah caraku memandangnya. Bisa aku rasakan dalam pelukannya, ia menikmati besarnya tubuhku yang tergolong atletis. Aku bisa menduga mengapa ia menjadi seperti ini. Mungkin dari teman-temannya atau dari kebiasaannya menonton DVD. Kathleen juga bisa dewasa, dan Merrick tak bisa menahan proses itu. Menjadi masalah bila terjadi terlalu cepat.
Apa yang sebenarnya tidak seperti yang terlihat. Kathleen tidak terlihat seperti perempuan berusia 14 tahun lagi dengan senyum kecilnya. Hubungan ini tidak lagi terlhat seperti kakak beradik. Dan aku yang terlihat sangat menyayanginya, tidak lagi. Bila aku adalah kakaknya, aku akan membiarkannya berjalan sendiri, tentu saja dengan sedikit pengawasan. Takdir seorang anak yang kaya raya tidak akan berubah.
“Kathy,” aku memanggil nama kecilnya.
Kathleen terbangun. “Apa?”
“Gw mau kita berpisah sekarang.”
Tentu saja hal itu mengagetkannya dengan sangat. Baru dua menit berlalu setelah ciuman itu, dan ia harus menerima kata-kata pahit itu dariku. Tapi ia bersikap optimis, dengan menganggap aku hanya bercanda. Memang aku selalu bercanda dengannya, tapi kata-kata itu serius adanya.
“Kamu bercanda, kan?”
“Ngga.”
Kathleen butuh waktu untuk mengerti kenyataan yang aku buat. Langkah awal yang dilakukannya adalah melepas pelukannya.
“Apa ini karena Merrick?”
“Bukan.”
“Gw tahu, ini pasti karena dia. Sudah lama ia melakukan ini. Dia selalu menyingkirkan semua cowok yang mendekatiku. Dia tidak ingin aku bahagia.”
“Itu ngga benar, Kathy. Dia melakukannya demi kebaikan loe.”
“Dia tidak tahu apa-apa.”
“Dia adalah kakak loe. Dia akan melakukan apapun agar loe bahagia. Dia hanya memastikan loe mendapatkan cowok yang baik.”
“Seperti kamu?”
“Bukan. Gw telah gagal menajdi cowok yang baik.”
“Aku tidak mengerti.”
“Mengertilah, di luar sana masih banyak yang lebih pantas.”
“Tidak ada.”
“Jika menurut loe tidak ada, berarti memang loe tidak ingin bahagia. Loe perempuan yang sangat cantik, tanpa cela sedikitpun. Banyak yang menginginkan loe.”
“Aku hanya menginginkan loe.”
Au segera pergi dari hadapannya. Semakin lama bersamanya akan semakin sulit melepaskan diri meski aku juga akan semakin sadar bahwa aku tidak mencintainya. Aku pergi meski aku tahu ini tidak mudah baginya.

Selasa, 27 Mei 2008

No Pain No Gain

Sudah dua hari aku menyendiri seperti ini. Dua tahun berpisah adalah waktu yang cukup lama. Dan sesungguhnya, cukup lama bagiku untuk melupakannya dan memulai yang baru.
Di taman hijau Square du Vert-Galant yang terletak di ujung barat Ile de la Cite di sungai Seine aku berdiri menatap angsa Inggris yang sedang menikmati jernihnya sungai Seine. Pemandangan yang indah itu bisa melupakan rasa bimbangku untuk sesaat hingga Julia hadir di sisiku.
“Kebiasaan lama, ya?” kata Julia. “Kamu selalu mencari taman seperti ini. Entah di Jakarta, di Paris.”
“Apa yang kamu inginkan?”
“Sudah kebiasaan kamu juga untuk bicara langsung tanpa basa-basi seperti ini. Karena kamu bertanya, akan aku jawab. Aku ke sini untuk mencari kamu, Alex.”
Tangannya mulai menggerayangi tanganku.
“Sudah lama kita tidak seperti ini, sejak, ...”
“Sejak Carlos,” selaku, sebelum ia mengatakan hal yang tidak benar.
“Benar,” akunya. “Tidak heran kamu masih mengingatnya. Aku tahu saat itu aku yang salah. Aku sangat menyesal. Dan aku tidak marah kalau kamu mencari pelarian, asalkan itu bisa membuatmu memaafkan aku. Dan aku tahu kamu melakukannya. Sekarang, maukah kamu memaafkan aku?”
“Kamu tahu bagaimana perasaanku ketika itu?”
“Dan apa kamu tahu apa yang aku rasakan saat ini? Selain sakit hati aku juga menangis dalam hati memohon maaf kamu.”
Aku mulai menghindari tubuhnya secepatnya. Dan aku harap dengan berpindah sejauh lima kaki aku bisa berhenti mendengar suaranya. Semua hal ini sangat membuatku merasa bersalah, di saat aku berharap sebaliknya.
“Aku ingin kamu tahu, aku masih mencintai kamu,” katanya. “Berikan aku petunjuk untuk mengetahui perasaanmu terhadapku.”
Aku berdiam sebentar setelah mendengar pengakuannya terhadapku. Aku berpikir sejenak memikirkan apa yang bisa aku katakan. Cinta? Sudah dua tahun aku tidak mengenali tanda-tandanya.
Tapi Julia secara fisik tidak berubah. Ia masih cantik dengan mata indah yang dulu selalu aku tatap. Rambut yang selalu diikat simpel sangat cocok untuknya. Gaya berpakaiannya juga demikian. Ia sangat suka rok pendek dan kaus lengan panjang atau tanpa lengan dan terkadang dengan headscarf yang selalu menggantung. Hanya sepatu yang berubah. Aku tak pernah melihatnya memakai sepatu bot di Jakarta. Wajar saja, karena ini musim gugur.
Tapi lebih dari fisik yang indah itu, ia tetap dengan semua hal yang aku sukai. Ia selalu bicara lebih banyak dari yang aku lakukan dan tidak pernah menyembunyikan isi hatinya, terutama kepadaku.
Dan aku ragu untuk menerimanya lagi. Sudah terlalu sakit hati ini dan aku meragukan kesetiannya. Karirnya sebagai presenter televisi internasional sangat menggoda setiap pria yang mengenalnya.
“Aku juga menginginkan kehidupan kita kembali seperti dulu,” kataku. Dan aku bisa melihat senyum sekilasnya itu.
“Sudah lama sekali. Sudah lama sekali kita tidak bersama. Dan aku sangat senang kamu mengatakan itu. Aku juga ingin kehidupan kita yang dulu kembali.”
“Walau itu menyakitkan?”
“Seberapapun menyakitkan hal itu, akan aku lalui demi bisa bersamamu lagi. Tanpamu, tak ada lagi yang lebih menyakitkan.”
Kata-katanya sangat berarti. Aku bisa melihat keseriusannya. Tapi masih ada yang membuatku ragu. Mungkin ini masalah subjektif, pelarianku masih berlanjut.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Aku harus pergi. Aku harus mengajar.”
“Apakah kamu akan kembali?”
“Ya.” Aku jawab demikian dengan keraguan.
“Aku akan menunggu hingga kamu datang.”
Dua minggu yang lalu ia hadir di depan mukaku dalam sebuah acara diskusi yang dipandunya dan diselenggarakan oleh sebuah stasiun TV internasional Prancis tempatnya bekerja. Karirnya begitu cemerlang hingga mereka merekrutnya jauh-jauh dari Indonesia.
Sedangkan aku? Sudah dua tahun aku menjadi pengajar di Paris University. Sebagai doktor di bidang Biologi aku sangat ingin menurunkan ilmuku. Dan aku selalu mengatakan “No Pain No Gain” kepada seluruh muridku untuk menggambarkan seluruh kerja keras yang aku lakukan bahkan hingga saat ini.
Dan menjadi dosen di kota ini memang benar-benar membuatku lupa sesaat kepada Julia. Apalagi selama di Paris aku menjalin hubungan dengan dosen yang lebih “junior”. Sebagai dosen pindahan, sebelum di Paris aku telah mengajar tujuh tahun sembari meraih gelar doktorku.
Dan perempuan Paris itu bernama Katherine. Rambut panjang lurus, senyum menawan, dan sikapnya sangat anggun. Ia sering dikira mahasiswa karena selain dari gaya berpakaiannya, ia terlihat sepuluh tahun lebih muda dari usianya yang telah menginjak dua puluh delapan tahun. Aku saja terkejut setelah mengetahui ia hanya tujuh tahun lebih muda dari pada aku.
Dan aku senang hari ini Katherine mengajar. Aku tidak ingat ia mengajar mata kuliah apa. Ia dosen di fakultas Engineering jurusan Environment Engineering. Gedung yang bersebelahan memungkinkan kami untuk bertemu setiap saat. Dan setidaknya seminggu sekali kami secara tidak sengaja hanya berdua saja di lift dalam gedung rektorat, seolah sudah ditakdirkan demikian.
Tapi kali ini kami bertemu di kafetaria.
“Hi Katherine,” sapaku.
Ia tidak menjawab sapaanku. Ia perlu membawa nampannya ke meja yang sudah dikuasai teman-temanya. Ia sedang marah. Ia tahu mantan kekasihku datang dan menginterupsi kehidupannya. Mereka sudah beberapa kali bertemu di kampus ini dan di tempat lain secara tidak sengaja, tapi perkenalannya di kampus ini. Hubungan kami sangat harmonis sebelum Julia datang. Mungkin akan tetap demikian seandainya aku menjawab pertanyaannya itu, pertanyaan bahwa apakah aku masih mencintai Julai atau tidak. Hingga kini aku tidak pernah menjawabnya.
Dan aku tidak bisa duduk bersamanya. Teman-temannya jelas-jelas tidak menyukai hubungan ini sebelumnya. Dan ketika hubungan ini menjadi seperti ini, mereka tetap menatapku seperti itu, karena aku telah menyakiti Katherine. Apapun yang terjadi pada hubungan ini mereka akan tetap seperti ini.
Hubungan antara dosen “senior” dan “junior” seperti ini seolah dilarang karena dapat menyebabkan kolusi dalam pembagian riset. Dan faktanya, Biologi dan Environment memang saling terkait.
Tapi faktanya lagi, aku baru bekerja sama dengannya dalam dua riset yang keduanya mengenai peran bioteknologi dalam lingkungan. Dan aku memilihnya karena aku tidak bisa mencari yang lebih baik mengenai lingkungan selain ia memiliki mahasiswa terbaik, meski, ya, itu terjadi setelah aku memulai hubungan itu.
Aku tidak bisa berdiri selamanya seperti ini tanpa tanggapan apapun dari Katherine. Sepertinya ia tidak akan menatapku seperti yang selalu ia lakukan padaku dulu.
Tapi itu menjadi tidak benar setelah aku mendengar teriakan Mrs. Bell, rekan kerjaku di fakultas yang sama, di gedung rektorat sesaat sebelum aku naik lift. Terlihat tidak ada hubungannya karena ia selalu meneriakkan kebenciannya terhadap kerja kerasku meski tetap sebagai teman, tapi benar itu terjadi setelah ia berseru “Go home, you research digester!” Itu cukup beralasan karena aku sering kali mengambil riset yang masih lowong hingga hampir tidak ada kesempatan untuk yang lain.
“I’m already in love with Paris!” balasku. Dan fakta bahwa hampir tak ada dosen yang bekerja pada jam tiga sore membuat apapun yang aku lakukan terlihat aneh.
Pintu lift akhirnya terbuka. Kosong. Aku masuk, tapi segera menghentika pintu lift begitu tahu akan ada yang masuk. Katherine. Ia cukup ragu untuk masuk karena keberadaanku, tapi aku pun ragu ia akan menggunakan tangga.
“I can use stairs if you mind,” kataku. Tapi ia terlihat tidak keberatan satu lift denganku.
Di kota Paris ini, lift gedung rektorat adalah yang paling lambat. Bahkan lift khusus pasien di Paris Central Hospital masih lebih cepat. Tapi aku tidak peduli. Aku bisa lebih lama bersamanya, dan aku bersyukur untuk itu.
“I’m going to 8th. You?” kataku di second floor.
“Listen to me,” katanya tiba-tiba. “I’m tired. My energy seems gone away! My student has drugs problem, another just had an abortion, and another again has extreme scores degradation. But hating you is the most tiring thing in my life!”
Ia lalu terisak di hadapanku, ketika lift menyentuh lantai tiga. Lambat sekali. Dan aku tak bisa berkata apa-apa hingga lantai empat, hingga ia menciumku. Ciuman itu bertahan satu lantai, tapi terasa seperti selamanya karena aku bisa merasakan penderitaannya dan rasa sakit hatinya.
“Don’t leave me,” pintanya dalam pelukanku. Tapi sepertinya akan ada banyak kata-katanya yang tak bisa aku balas atau aku jawab.
“I’m going to seventh, file room,” katanya sambil menekan angka tujuh di lift pad.
Tak ada lagi kata-kata hingga ia keluar dari lift.
Ternyata urusanku di lantai delapan tidak lama. Hanya melihat progres para dosen dan aku masih di urutan pertama dalam beberapa hal dan secara keseluruhan. Aku lupa apa urusanku yang sebenarnya di lantai ini, tapi sepertinya tidak penting. Aku segera turun lewat tangga menuju lantai tujuh, menemui Katherine. File room terletak di sebelah tangga.
Setelah melewati izin karyawan yang selalu berdiam di ruang itu dengan mencantumkan nama, jabatan, dan tanda tangan, aku bisa masuk. Dan aku temukan Katherine sedang berada di depan komputer.
Aku menyapa dan dia balas menyapa. Rasanya seperti pertama kali. Dan dia bilang sebentar lagi ia usai. Ia juga bertanya mengapa aku berada di file room.
“I’m here for you,” jawabku.
Ketika itu kami seperti kembali seperti dulu. Bisa aku lihat dari senyumnya, perasaannya terhadapku telah kembali tanpa aku melakukan sesuatu terhadapnya selain menyapa dan menerima ciumannya. Aku tidak menghitung kehadiranku di file room ini demi dirinya.
Setelah itu kami berdua turun dari gedung rektorat bersama-sama. Bahkan kenyataannya ia mengundangku ke kediamannya. Dan aku setuju di tempat.
Kami sampai tepat ketika hujan turun. Rumahnya sangat besar dan ia tinggal sendiri di tempat itu. Kedua orang tuanya sudah meninggal sebelum ia menjadi pengajar dan itu adalah rumah warisan orang tuanya.
Hari tidak berakhir secepat itu. Ia memasak karena tahu aku orang yang cepat lapar. Meski sering mengaku ia bukan orang yang jago memasak aku selalu dengan senang hati memakan apapun yang dimasaknya. Ia tahu aku sangat menyukai apapun yang terbuat dari sayuran dan hewan air.
“Sandwich with smoked salmon, fried onion ring, dan veggies, your favorite!” serunya sambil menyajikan. Pasti akan sangat menyenangkan jika aku bisa tinggal bersamanya selamanya.
“How’s the sandwich?”
“Great, as usual.”
Ia menerima pujianku dengan senyuman yang sangat aku sukai itu.
Dan hingga sandwich itu habis, kami hanya membicarakan riset, mahasiswa, dan segala kehidupan di kampus. Hingga ia beranjak menuju ke dapur setelah merapikan meja makan. Sambil menunggunya aku berdiri di balkon dan melihat halaman luas yang hampir tidak terurus itu. Katherine hanya sempat menyingkirkan sampah-sampah. Hujan masih turun meski tidak sederas sebelumnya.
“Alex, would you live with me?” tanyanya ketika hadir di sisiku.
Pertanyaan yang lagi-lagi sangat sulit untuk aku jawab.
“I’m still not really sure with my own feeling,” kataku. Aku sudah membuatnya sedikit bimbang dengan kata-kata itu.
“I saw you this morning. When I was in Ponts des Arts, I saw you and Julia in Square du Vert-Galant. Do you still love her?”
Lagi-lagi aku teringat dengan Julia, yang justru menambah keraguanku terhadap Katherine.
“Listen to me, Katherine. We can’t make it. I don’t think we can. I like you, you have to know that. But I still doubt my own feeling. I never doubt how much you love me. You are the best thing in my life, and you are too good for me. Don’t be mine, I’m a faith-ass guy.”
Aku segera meninggalkan Katherine dan pergi ke suatu tempat. Sudah jam enam sore dan matahari sudah tak terlihat. Dan hujan turun makin deras.
Di tengah jalan aku membeli payung. Aku terus jalan menuju Square du Vert-Galant. Selama di jalan aku teringat dengan Julia dan kata-katanya tadi pagi. Ia sangat mengharapkanku. Dulu aku pernah berjanji akan menepati semua janjiku terhadapnya. Di Paris aku tak pernah membuat janji apapun, terutama dengan Katherine.
Aku masih melihat Julia di taman di sungai Seine itu. Ia masih menungguku hingga basah kuyup dan tanpa menangis. Aku baru pertama kali melihatnya sekuat ini. Hujan masih turun dan ia masih menatapku seperti itu, tidak berubah, masih dengan rasa cinta.
“Aku pernah bilan aku kaan terus menunggumu hingga kamu datang,” katanya setelah aku menghampirinya.
Aku duduk di sampingnya untuk melindunginya dari tetesan hujan sambil berkata “Walau menyakitkan?”
“Ya. Dan seharusnya kita sudah puas saling menyakiti satu sama lain.”
Aku memberinya pelukan hangat. Tangisnya mulai terdengar dan sangat menyayat hatiku. Seharusnya aku juga menangis.
Lampu taman mulai menyala. Hingga hujan berhenti aku merenungkan diriku sendiri. Akulah yang paling bersalah dalam hal ini. Aku sangat keterlaluan. Ia hanya menyakitiku satu kali, tapi aku selain menyakitinya dengan menjalin hubungan dengan Katherine, ia juga memohon kepadaku untuk kembali kepadanya. Dan kini, ia tidak keberatan disakiti lagi hingga aku bisa memaafkannya.
Aku tak bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik. Akan sangat keterlaluan bila aku tidak menerima Julia sekali lagi.

Senin, 12 Mei 2008

Cinta, Akankah Aku Berubah?

Aku tak mengerti apa yang terjadi padaku. Sesuatu datang, hendak merasuki dan meracuniku. Tapi aku tak bisa menolaknya. Ini seperti candu.
Tahu apa aku soal candu? Aku bukan anak kedokteran, hanya perempuan tomboy 19 tahun yang kuliah di teknik mesin. Dan yang merasukiku adalah cinta, hal yang tak bisa kujelaskan tapi bisa kurasakan. Seharusnya aku masuk psikologi.
Adalah Alex, laki-laki tampan bertubuh kekar berusia 20 tahun yang juga orang teknik mesin. Dua hari yang lalu ia mengajakku jalan dengannya. Dan sudah hampir jam delapan malam, atau sepuluh menit lagi ia akan datang. Aku butuh waktu! Dua hari terlalu cepat. Aku harap dia tidak datang tepat waktu.
Biasanya aku santai dikejar deadline bertenggat dua jam sekalipun. Tapi kali ini beda. Alex, terlalu tampan untukku. Aku harus berubah untuknya, menjadi lebih feminim. Dan dua hari terlalu cepat untukku karena aku tak tahu caranya menjadi perempuan!
“Vi, kita mau lihat hasilnya,” kata temanku, Fina, sambil mengetuk pintu kamar kostku.
Aku harap Fina, Zen, Alisha, Frida, dan Yeni tidak tertawa melihatku. Tapi aku juga tak mengharapkan pandangan aneh yang telah mereka lakukan saat melihatku.
“Apa yang salah, ya Zen?” tanya Fina.
“Ngga tahu deh. Make up nya sudah bener.”
“Gw tahu yang salah, yaitu semua make up ini dan keinginan loe untuk berubah,” kata Alisha.
Alisha, adalah perempuan tercantik di kost putri ini. Dia kuliah Sastra Jepang di universitas berbeda. Meski begitu dia adalah mantannya Alex. Aku berpikir ia mengatakan ini karena aku adalah alasan Alex putus dengannya.
“Loe ngga ngomong begini untuk menjatuhkan gw, kan?” tanyaku.
“Vi, loe tahu ngga alasan ia memilih gw dulu? Karena gw di Sastra Jepang, yang menurutnya unik. Tapi kini gw sadar ada yang lebih unik, yaitu loe yang tomboy. Cewek satu-satunya di Teknik Mesin,” katanya sambil menghapus lipstik di bibirku.
“Gw setuju dengan Alisha. Selama ini perempuan sering mempercantik diri untuk mencari perhatian pria. Dan loe satu-satunya cewek yang gw kenal ngga berpikiran seperti itu,” kata Yeni memberi dukungan.
“Itu unik,” kata Frida.
“Loe semua salah. Laki-laki mengejar kecantikan. Begitu juga Alex.”
“Apa yang membuat loe lebih mengenal Alex dibanding Alisha yang sudah lima bulan bersamanya?” tanya Zen.
“Gw ngga peduli. Gw cuma mau lebih cantik dari sekarang! Kalo ngga ada yang mau bantuin gw, ngga apa-apa. Gw bisa sendiri.”
“Gw bantuin loe, meski sebenarnya gw setuju dengan Alisha. Gw hanya ngga mau loe lebih aneh dari sekarang,” kata Frida.
“Thanks Frid.”
Aku tak mau ingin kaca di hadapanku saat Frida merias diriku. Ini pertama kalinya seseorang meriasku. Bahkan pertama kalinya aku ingin dirias.
“Vi, mereka benar. Secantik apapun loe dirias, loe akan tetap terlihat aneh. Karena semua orang sudah terbiasa dengan loe yang dulu, tomboy. Image itu ngga akan bisa hilang,” komen Frida padaku.
Semakin lama mereka semakin mempengaruhiku. Kenapa mencintai saja bisa seperti ini?
“Vi, Alex datang?” kata Zen.
Aku semakin berdebar. Baru pertama kalinya aku seperti ini. Kenapa aku seperti ini?
“Frid, udah selesai kan?” tanyaku.
“Loe yakin ngga mau bercermin dulu?”
“Ngga sempet ah.”
Alasan aku menghindari cermin sebagian besar karena aku tidak sabar. Dan sebagian lagi karena aku tak ingin menjadi yang pertama melihat diriku. Nanti saja setelah mendapat dukungan dari yang lain.
Aku membuka pintu. Bisa kulihat Alex datang dengan gayanya yang seperti biasa: rambut berantakan, dagu yang perlu dicukur, kaus tanpa lengan, dan sedikit bau keringat. Dan ia sedang bicara dengan Alisha. Sepertinya sudah selesai. Aku hanya mendengar suara berbau maaf dari Alex.
“Hai Alex,” sapaku.
“Hai. Loe,.. agak berubah ya?”
Bahkan Alex pun berpandangan aneh padaku. Semakin aneh saat mendekatiku. Apa rok jeansnya yang salah?
“Lex, gw cantik kan sekarang?”
Alex malah tertawa aku bertanya seperti itu. Aku percaya tak ada yang salah dengan riasanku. Frida tak mungkin mempermainkanku. Ia sendiri sudah biasa mendandani Alisha.
“Vi Natasha. Loe aneh. Loe kira gw mau ngajak loe dinner? Bioskop? Ke taman? Ngga, Vi,”
“Ke mana?”
“Vi. Gw juga pernah seperti loe. Gw yang dulu terbiasa berantakan seperti sekarang pernah mencoba berubah karena mencintai seseorang cewek,” katanya sambil melirik Alisha. “Tapi itu sia-sia. Untuk apa berubah bila orang menjadi tidak mengenali kita?”
Barisan kalimat Alex mempengaruhiku sekali. Entah harus berkata apa lagi. Aku hanya bisa berkata “Terus, kita mau ke mana?”
“Ke laut. Sana ganti baju loe.”
Aku menurutinya. Aku ke kamarku untuk mengganti pakaianku. Pakaian yang biasa aku kenakan, jeans dan kaus, tanpa make up.
“Jadilah diri sendiri. Itu yang terbaik,” katanya saat menerima aku yang biasa terlihat di matanya. Kini matanya berbeda. Tampaknya aku tahu bagaimana pandangan seseorang yang mencintaiku.