Sabtu, 21 Juni 2008

Dermaga Merah Tua

Laut biru yang indha. Entah mengapa aku berpikiran seperti itu, padahal jelas sedang tidak terlihat demikian. Di dermaga itu, laut selalu terlihat merah tua setiap sore sepanjang tahun. Aku hanya ingin sesuatu berjalan seperti biasa, meski aku tahu yang sedang aku lihat bisa lebih indah.
Dermaga itu sudah tua. Dermaga yang hanya terdiri dari jembatan kayu yang panjang menghubungkan dua tanjung yang berdekatan, memisahkan teluk dengan lautnya, hampir tidak terpakai lagi. Hanya dipakai untuk berlabuh kapal-kapal nelayan tradisional, itu pun hanya sebagai tempat berisitirahat karena ada pondok tua berdiri di dekatku.
Tapi bukan berarti tempat itu sepi. Ada tempat wisata berjarak seratus meter dari dermaga, danau air asin yang indah yang mengalami pertukaran air hanya pada saat air pasang saja. Tempat yang indah, penuh dengan kura-kura, ubur-ubur, dan rumput laut. Tidak heran jika ada beberapa wisatawan lewat dermaga itu sesekali.
Dan aku senang tidak sedang sendiri. Aku tidak menghitung keberadaan para nelayan yang sedang merokok di pondok dermaga, tapi aku melihat ada tiga orang perempuan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Mereka wisatawan, aku tahu itu. Bukannya aku bukan wisatawan, hanya saja aku lahir di desa dekat danau air asin itu. Tapi aku keluar desa hingga ke kota besar untuk mengejar pendidikan. Sudah delapan tahun aku tidak kembali. Begitu hadir kembali, aku tidak hanya dibuat takjub oleh keindahan kampung halamanku, tapi juga oleh seorang perempuan cantik bersama dua orang temannya itu.
Mereka juga sedang melihatku. Mungkin aku, yang berambut tipis, berkulit coklat gelap dengan kemeja tanpa kancing dan celana selutut cukup menarik bagi mereka. Tapi aku merasa tidak sebanding dengan perempuan berambut lurus hitam sempurna, mata yang indah, dan senyum yang sangat menarik. Kedua temannya juga tahu aku sedang terfokus padanya.
Dan ia seolah memberikan aku tantangan. Melihat senyumnya, aku tahu ia memintaku untuk mengikutinya. Aku tahu, bahkan ketika ia belum berkata. Bahkan kedua temannya pergi seolah mendukung aksi kejar-kejaranku dengannya.
Ia berjalan dengan pelan dan anggun sambil sedikit menggodaku dengan senyumnya. Aku tak ingin terburu-buru, aku suka melihatnya seperti itu. Hingga papan kayu terakhir dermaga ia masih ingin aku mengejarnya.
Sampailah kami di pantai berpasir putih. Kami yang pertama berjalan di pantai itu sejak pasang terakhir, tak ada jejak lain selain jejak kaki kami. Dan pantai itu seolah milik kamu.
Perempuan itu berhenti di batu karang berbentuk strato setinggi tubuh manusia. Batu karang itu tertutupi kerang yang terjebak oleh air pasang. Ia berhenti seolah sedang menikmati batu karang yang indah itu, tapi sebenarnya ia menungguku. Ketika aku sudah cukup dekat dengannya ia memutar ke balik karang. Matanya terus memandangiku.
“Siapa namamu?” tanyaku. Aku mengikutinya berputar searah dengannya.
“Sandra. Tapi teman-temanku memanggilku Sandy.”
“Sandy. Aku Jonathan. Panggil aku Jo. Boleh aku menggenggam tanganmu?”
“Kenapa?”
“Sebagai tanda bahwa kita sudah berkenalan.”
“Kamu pasti punya niat lain, kan?”
“Iya. Kamu cantik banget sih.”
Ia sedikit tersipu. “Kenapa kamu mengikutiku?”
“Kamu yang memintaku.”
“Aku tak pernah mengatakan itu.”
“Matamu yang mengatakan itu.”
“Kamu pria yang manis. Buat aku terkesan dengan apa yang bisa kamu lakukan. Perlihatkan padaku. Aku tahu kamu berasal dari tempat ini.”
Apa yang bisa membuatnya terkesan? Keahlian lokal apa yang aku miliki dan bisa membuatnya terkesan? Sepertinya aku tahu. Ia pasti belum pernah melihatnya.
Aku membuat garis lurus dengan tanganku sejauh beberapa langkah. Ia mengamatiku dari balik karang ketika aku berhenti di suatu titik, lalu aku menggali titik itu. Aku menemukan kulit kerang berbentuk tanduk yang berwarna sangat putih. Tapi bukan hanya itu kejutannya. Aku menghancurkan kernag itu, lalu muncul sebuah benda berbentuk diamond dengan warna yang sama yang merupakan bagian paling keras dari kerang itu.
“Kamu membunuh kerang itu?”
“Setelah mencapai karang, kulit kerang itu sudah tidak bernyawa. Kepiting pasir jantan yang menguburnya untuk membangun sarang dan menarik perhatian kepiting betina,” seperti yang sedang aku lakukan.
Dan ia menerima perhiasaan kerang itu. “Terima kasih,” ucapnya.
“Kamu lapar?”
“Kamu membawa makanan?”
“Di sini makanan banyak.”
Aku membuktikannya dengan mencongkel salah satu kerang yang menempel di batu karang itu, lalu membukanya dari bagian bawahnya yang datar. Ada daging kerang yang keluar dan aku memakannya.
“Rasanya seperti telur asin, hanya lebih lembek saja,” kataku, menanggapi ekspresi jijiknya.
Setelah itu aku memperlihatkan satu lagi keahlian lokal yang aku dapatkan ketika tinggal di desa selama 12 tahun itu. Aku menggambar lukisan besar dengan menggunakan jari di atas pasir. Aku membuat garis yang tidak terputus, tapi menjadi suatu bentuk seni yang sangat indah seperti lukisan. Aku katakan bahwa itu menggambarkan keserasian antara alam dan manusia yang sangat dihormati di desaku.
Kami berdua ngobrol bersama dan seolah saat itu menjadi selamanya. Aku tentu saja sangat menginginkan itu terjadi selamanya. Tapi senja harus berganti menjadi malam. Kebersamaanku dengannya harus berakhir dengan tenggelamnya matahari dan terbitnya bulan dari arah sebaliknya. Aku tidak akan melupakan saat-saat ketika aku duduk bersama dengannya di dermaga, mencelupkan kaki ke air laut sambil menghadap teluk dan menunggu bulan muncul di hadapan kami.
“Aku harus pulang,” katanya.
“Aku antar kamu.”
“Tidak usah. Jangan.” Kata-kata itu keluar ketika aku menggenggam tangannya dengan maksud mengantarnya.
“Kenapa?”
“Karena, ...” ia terus memandang tangannya yang aku genggam itu.
Aku juga mencoba untuk mencari tahu apa yang menyebabkan kebimbangannya itu. Mungkin aku salah dalam bersikap. Awanya aku berpikir ia tidak suka disentuh seperti itu. Tapi aku salah. Ekspresinya berubah dan sedikit memalingkan muka ketika aku melihat ada cincin di jari manisnya.
“Aku senang sekali hari ini, sungguh,” katanya. “Tapi aku sudah dimiliki oleh seseorang. Dan ia sedang menungguku.”
“Tidak apa-apa. Aku tidak memikirkan itu. Sekarang sudah gelap, aku antar kamu sampai desa.”
Memang berat. Bisa dibayangkan seperti apa rasanya jika setelah akrab dan merasa yakin bisa memilikinya, ternyata tidak bisa. Bisa dibayangkan jika cinta berbunga pada satu hari saja, tapi sakit hati selama sisa hidup yang ada. Aku tak akan melupakan Sandra. Ia memang secantik dermaga merah tua yangs angat aku banggakan. Bersamanya, dermaga terasa lengkap.

Tidak ada komentar: