Selasa, 27 Mei 2008

No Pain No Gain

Sudah dua hari aku menyendiri seperti ini. Dua tahun berpisah adalah waktu yang cukup lama. Dan sesungguhnya, cukup lama bagiku untuk melupakannya dan memulai yang baru.
Di taman hijau Square du Vert-Galant yang terletak di ujung barat Ile de la Cite di sungai Seine aku berdiri menatap angsa Inggris yang sedang menikmati jernihnya sungai Seine. Pemandangan yang indah itu bisa melupakan rasa bimbangku untuk sesaat hingga Julia hadir di sisiku.
“Kebiasaan lama, ya?” kata Julia. “Kamu selalu mencari taman seperti ini. Entah di Jakarta, di Paris.”
“Apa yang kamu inginkan?”
“Sudah kebiasaan kamu juga untuk bicara langsung tanpa basa-basi seperti ini. Karena kamu bertanya, akan aku jawab. Aku ke sini untuk mencari kamu, Alex.”
Tangannya mulai menggerayangi tanganku.
“Sudah lama kita tidak seperti ini, sejak, ...”
“Sejak Carlos,” selaku, sebelum ia mengatakan hal yang tidak benar.
“Benar,” akunya. “Tidak heran kamu masih mengingatnya. Aku tahu saat itu aku yang salah. Aku sangat menyesal. Dan aku tidak marah kalau kamu mencari pelarian, asalkan itu bisa membuatmu memaafkan aku. Dan aku tahu kamu melakukannya. Sekarang, maukah kamu memaafkan aku?”
“Kamu tahu bagaimana perasaanku ketika itu?”
“Dan apa kamu tahu apa yang aku rasakan saat ini? Selain sakit hati aku juga menangis dalam hati memohon maaf kamu.”
Aku mulai menghindari tubuhnya secepatnya. Dan aku harap dengan berpindah sejauh lima kaki aku bisa berhenti mendengar suaranya. Semua hal ini sangat membuatku merasa bersalah, di saat aku berharap sebaliknya.
“Aku ingin kamu tahu, aku masih mencintai kamu,” katanya. “Berikan aku petunjuk untuk mengetahui perasaanmu terhadapku.”
Aku berdiam sebentar setelah mendengar pengakuannya terhadapku. Aku berpikir sejenak memikirkan apa yang bisa aku katakan. Cinta? Sudah dua tahun aku tidak mengenali tanda-tandanya.
Tapi Julia secara fisik tidak berubah. Ia masih cantik dengan mata indah yang dulu selalu aku tatap. Rambut yang selalu diikat simpel sangat cocok untuknya. Gaya berpakaiannya juga demikian. Ia sangat suka rok pendek dan kaus lengan panjang atau tanpa lengan dan terkadang dengan headscarf yang selalu menggantung. Hanya sepatu yang berubah. Aku tak pernah melihatnya memakai sepatu bot di Jakarta. Wajar saja, karena ini musim gugur.
Tapi lebih dari fisik yang indah itu, ia tetap dengan semua hal yang aku sukai. Ia selalu bicara lebih banyak dari yang aku lakukan dan tidak pernah menyembunyikan isi hatinya, terutama kepadaku.
Dan aku ragu untuk menerimanya lagi. Sudah terlalu sakit hati ini dan aku meragukan kesetiannya. Karirnya sebagai presenter televisi internasional sangat menggoda setiap pria yang mengenalnya.
“Aku juga menginginkan kehidupan kita kembali seperti dulu,” kataku. Dan aku bisa melihat senyum sekilasnya itu.
“Sudah lama sekali. Sudah lama sekali kita tidak bersama. Dan aku sangat senang kamu mengatakan itu. Aku juga ingin kehidupan kita yang dulu kembali.”
“Walau itu menyakitkan?”
“Seberapapun menyakitkan hal itu, akan aku lalui demi bisa bersamamu lagi. Tanpamu, tak ada lagi yang lebih menyakitkan.”
Kata-katanya sangat berarti. Aku bisa melihat keseriusannya. Tapi masih ada yang membuatku ragu. Mungkin ini masalah subjektif, pelarianku masih berlanjut.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Aku harus pergi. Aku harus mengajar.”
“Apakah kamu akan kembali?”
“Ya.” Aku jawab demikian dengan keraguan.
“Aku akan menunggu hingga kamu datang.”
Dua minggu yang lalu ia hadir di depan mukaku dalam sebuah acara diskusi yang dipandunya dan diselenggarakan oleh sebuah stasiun TV internasional Prancis tempatnya bekerja. Karirnya begitu cemerlang hingga mereka merekrutnya jauh-jauh dari Indonesia.
Sedangkan aku? Sudah dua tahun aku menjadi pengajar di Paris University. Sebagai doktor di bidang Biologi aku sangat ingin menurunkan ilmuku. Dan aku selalu mengatakan “No Pain No Gain” kepada seluruh muridku untuk menggambarkan seluruh kerja keras yang aku lakukan bahkan hingga saat ini.
Dan menjadi dosen di kota ini memang benar-benar membuatku lupa sesaat kepada Julia. Apalagi selama di Paris aku menjalin hubungan dengan dosen yang lebih “junior”. Sebagai dosen pindahan, sebelum di Paris aku telah mengajar tujuh tahun sembari meraih gelar doktorku.
Dan perempuan Paris itu bernama Katherine. Rambut panjang lurus, senyum menawan, dan sikapnya sangat anggun. Ia sering dikira mahasiswa karena selain dari gaya berpakaiannya, ia terlihat sepuluh tahun lebih muda dari usianya yang telah menginjak dua puluh delapan tahun. Aku saja terkejut setelah mengetahui ia hanya tujuh tahun lebih muda dari pada aku.
Dan aku senang hari ini Katherine mengajar. Aku tidak ingat ia mengajar mata kuliah apa. Ia dosen di fakultas Engineering jurusan Environment Engineering. Gedung yang bersebelahan memungkinkan kami untuk bertemu setiap saat. Dan setidaknya seminggu sekali kami secara tidak sengaja hanya berdua saja di lift dalam gedung rektorat, seolah sudah ditakdirkan demikian.
Tapi kali ini kami bertemu di kafetaria.
“Hi Katherine,” sapaku.
Ia tidak menjawab sapaanku. Ia perlu membawa nampannya ke meja yang sudah dikuasai teman-temanya. Ia sedang marah. Ia tahu mantan kekasihku datang dan menginterupsi kehidupannya. Mereka sudah beberapa kali bertemu di kampus ini dan di tempat lain secara tidak sengaja, tapi perkenalannya di kampus ini. Hubungan kami sangat harmonis sebelum Julia datang. Mungkin akan tetap demikian seandainya aku menjawab pertanyaannya itu, pertanyaan bahwa apakah aku masih mencintai Julai atau tidak. Hingga kini aku tidak pernah menjawabnya.
Dan aku tidak bisa duduk bersamanya. Teman-temannya jelas-jelas tidak menyukai hubungan ini sebelumnya. Dan ketika hubungan ini menjadi seperti ini, mereka tetap menatapku seperti itu, karena aku telah menyakiti Katherine. Apapun yang terjadi pada hubungan ini mereka akan tetap seperti ini.
Hubungan antara dosen “senior” dan “junior” seperti ini seolah dilarang karena dapat menyebabkan kolusi dalam pembagian riset. Dan faktanya, Biologi dan Environment memang saling terkait.
Tapi faktanya lagi, aku baru bekerja sama dengannya dalam dua riset yang keduanya mengenai peran bioteknologi dalam lingkungan. Dan aku memilihnya karena aku tidak bisa mencari yang lebih baik mengenai lingkungan selain ia memiliki mahasiswa terbaik, meski, ya, itu terjadi setelah aku memulai hubungan itu.
Aku tidak bisa berdiri selamanya seperti ini tanpa tanggapan apapun dari Katherine. Sepertinya ia tidak akan menatapku seperti yang selalu ia lakukan padaku dulu.
Tapi itu menjadi tidak benar setelah aku mendengar teriakan Mrs. Bell, rekan kerjaku di fakultas yang sama, di gedung rektorat sesaat sebelum aku naik lift. Terlihat tidak ada hubungannya karena ia selalu meneriakkan kebenciannya terhadap kerja kerasku meski tetap sebagai teman, tapi benar itu terjadi setelah ia berseru “Go home, you research digester!” Itu cukup beralasan karena aku sering kali mengambil riset yang masih lowong hingga hampir tidak ada kesempatan untuk yang lain.
“I’m already in love with Paris!” balasku. Dan fakta bahwa hampir tak ada dosen yang bekerja pada jam tiga sore membuat apapun yang aku lakukan terlihat aneh.
Pintu lift akhirnya terbuka. Kosong. Aku masuk, tapi segera menghentika pintu lift begitu tahu akan ada yang masuk. Katherine. Ia cukup ragu untuk masuk karena keberadaanku, tapi aku pun ragu ia akan menggunakan tangga.
“I can use stairs if you mind,” kataku. Tapi ia terlihat tidak keberatan satu lift denganku.
Di kota Paris ini, lift gedung rektorat adalah yang paling lambat. Bahkan lift khusus pasien di Paris Central Hospital masih lebih cepat. Tapi aku tidak peduli. Aku bisa lebih lama bersamanya, dan aku bersyukur untuk itu.
“I’m going to 8th. You?” kataku di second floor.
“Listen to me,” katanya tiba-tiba. “I’m tired. My energy seems gone away! My student has drugs problem, another just had an abortion, and another again has extreme scores degradation. But hating you is the most tiring thing in my life!”
Ia lalu terisak di hadapanku, ketika lift menyentuh lantai tiga. Lambat sekali. Dan aku tak bisa berkata apa-apa hingga lantai empat, hingga ia menciumku. Ciuman itu bertahan satu lantai, tapi terasa seperti selamanya karena aku bisa merasakan penderitaannya dan rasa sakit hatinya.
“Don’t leave me,” pintanya dalam pelukanku. Tapi sepertinya akan ada banyak kata-katanya yang tak bisa aku balas atau aku jawab.
“I’m going to seventh, file room,” katanya sambil menekan angka tujuh di lift pad.
Tak ada lagi kata-kata hingga ia keluar dari lift.
Ternyata urusanku di lantai delapan tidak lama. Hanya melihat progres para dosen dan aku masih di urutan pertama dalam beberapa hal dan secara keseluruhan. Aku lupa apa urusanku yang sebenarnya di lantai ini, tapi sepertinya tidak penting. Aku segera turun lewat tangga menuju lantai tujuh, menemui Katherine. File room terletak di sebelah tangga.
Setelah melewati izin karyawan yang selalu berdiam di ruang itu dengan mencantumkan nama, jabatan, dan tanda tangan, aku bisa masuk. Dan aku temukan Katherine sedang berada di depan komputer.
Aku menyapa dan dia balas menyapa. Rasanya seperti pertama kali. Dan dia bilang sebentar lagi ia usai. Ia juga bertanya mengapa aku berada di file room.
“I’m here for you,” jawabku.
Ketika itu kami seperti kembali seperti dulu. Bisa aku lihat dari senyumnya, perasaannya terhadapku telah kembali tanpa aku melakukan sesuatu terhadapnya selain menyapa dan menerima ciumannya. Aku tidak menghitung kehadiranku di file room ini demi dirinya.
Setelah itu kami berdua turun dari gedung rektorat bersama-sama. Bahkan kenyataannya ia mengundangku ke kediamannya. Dan aku setuju di tempat.
Kami sampai tepat ketika hujan turun. Rumahnya sangat besar dan ia tinggal sendiri di tempat itu. Kedua orang tuanya sudah meninggal sebelum ia menjadi pengajar dan itu adalah rumah warisan orang tuanya.
Hari tidak berakhir secepat itu. Ia memasak karena tahu aku orang yang cepat lapar. Meski sering mengaku ia bukan orang yang jago memasak aku selalu dengan senang hati memakan apapun yang dimasaknya. Ia tahu aku sangat menyukai apapun yang terbuat dari sayuran dan hewan air.
“Sandwich with smoked salmon, fried onion ring, dan veggies, your favorite!” serunya sambil menyajikan. Pasti akan sangat menyenangkan jika aku bisa tinggal bersamanya selamanya.
“How’s the sandwich?”
“Great, as usual.”
Ia menerima pujianku dengan senyuman yang sangat aku sukai itu.
Dan hingga sandwich itu habis, kami hanya membicarakan riset, mahasiswa, dan segala kehidupan di kampus. Hingga ia beranjak menuju ke dapur setelah merapikan meja makan. Sambil menunggunya aku berdiri di balkon dan melihat halaman luas yang hampir tidak terurus itu. Katherine hanya sempat menyingkirkan sampah-sampah. Hujan masih turun meski tidak sederas sebelumnya.
“Alex, would you live with me?” tanyanya ketika hadir di sisiku.
Pertanyaan yang lagi-lagi sangat sulit untuk aku jawab.
“I’m still not really sure with my own feeling,” kataku. Aku sudah membuatnya sedikit bimbang dengan kata-kata itu.
“I saw you this morning. When I was in Ponts des Arts, I saw you and Julia in Square du Vert-Galant. Do you still love her?”
Lagi-lagi aku teringat dengan Julia, yang justru menambah keraguanku terhadap Katherine.
“Listen to me, Katherine. We can’t make it. I don’t think we can. I like you, you have to know that. But I still doubt my own feeling. I never doubt how much you love me. You are the best thing in my life, and you are too good for me. Don’t be mine, I’m a faith-ass guy.”
Aku segera meninggalkan Katherine dan pergi ke suatu tempat. Sudah jam enam sore dan matahari sudah tak terlihat. Dan hujan turun makin deras.
Di tengah jalan aku membeli payung. Aku terus jalan menuju Square du Vert-Galant. Selama di jalan aku teringat dengan Julia dan kata-katanya tadi pagi. Ia sangat mengharapkanku. Dulu aku pernah berjanji akan menepati semua janjiku terhadapnya. Di Paris aku tak pernah membuat janji apapun, terutama dengan Katherine.
Aku masih melihat Julia di taman di sungai Seine itu. Ia masih menungguku hingga basah kuyup dan tanpa menangis. Aku baru pertama kali melihatnya sekuat ini. Hujan masih turun dan ia masih menatapku seperti itu, tidak berubah, masih dengan rasa cinta.
“Aku pernah bilan aku kaan terus menunggumu hingga kamu datang,” katanya setelah aku menghampirinya.
Aku duduk di sampingnya untuk melindunginya dari tetesan hujan sambil berkata “Walau menyakitkan?”
“Ya. Dan seharusnya kita sudah puas saling menyakiti satu sama lain.”
Aku memberinya pelukan hangat. Tangisnya mulai terdengar dan sangat menyayat hatiku. Seharusnya aku juga menangis.
Lampu taman mulai menyala. Hingga hujan berhenti aku merenungkan diriku sendiri. Akulah yang paling bersalah dalam hal ini. Aku sangat keterlaluan. Ia hanya menyakitiku satu kali, tapi aku selain menyakitinya dengan menjalin hubungan dengan Katherine, ia juga memohon kepadaku untuk kembali kepadanya. Dan kini, ia tidak keberatan disakiti lagi hingga aku bisa memaafkannya.
Aku tak bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik. Akan sangat keterlaluan bila aku tidak menerima Julia sekali lagi.

Senin, 12 Mei 2008

Cinta, Akankah Aku Berubah?

Aku tak mengerti apa yang terjadi padaku. Sesuatu datang, hendak merasuki dan meracuniku. Tapi aku tak bisa menolaknya. Ini seperti candu.
Tahu apa aku soal candu? Aku bukan anak kedokteran, hanya perempuan tomboy 19 tahun yang kuliah di teknik mesin. Dan yang merasukiku adalah cinta, hal yang tak bisa kujelaskan tapi bisa kurasakan. Seharusnya aku masuk psikologi.
Adalah Alex, laki-laki tampan bertubuh kekar berusia 20 tahun yang juga orang teknik mesin. Dua hari yang lalu ia mengajakku jalan dengannya. Dan sudah hampir jam delapan malam, atau sepuluh menit lagi ia akan datang. Aku butuh waktu! Dua hari terlalu cepat. Aku harap dia tidak datang tepat waktu.
Biasanya aku santai dikejar deadline bertenggat dua jam sekalipun. Tapi kali ini beda. Alex, terlalu tampan untukku. Aku harus berubah untuknya, menjadi lebih feminim. Dan dua hari terlalu cepat untukku karena aku tak tahu caranya menjadi perempuan!
“Vi, kita mau lihat hasilnya,” kata temanku, Fina, sambil mengetuk pintu kamar kostku.
Aku harap Fina, Zen, Alisha, Frida, dan Yeni tidak tertawa melihatku. Tapi aku juga tak mengharapkan pandangan aneh yang telah mereka lakukan saat melihatku.
“Apa yang salah, ya Zen?” tanya Fina.
“Ngga tahu deh. Make up nya sudah bener.”
“Gw tahu yang salah, yaitu semua make up ini dan keinginan loe untuk berubah,” kata Alisha.
Alisha, adalah perempuan tercantik di kost putri ini. Dia kuliah Sastra Jepang di universitas berbeda. Meski begitu dia adalah mantannya Alex. Aku berpikir ia mengatakan ini karena aku adalah alasan Alex putus dengannya.
“Loe ngga ngomong begini untuk menjatuhkan gw, kan?” tanyaku.
“Vi, loe tahu ngga alasan ia memilih gw dulu? Karena gw di Sastra Jepang, yang menurutnya unik. Tapi kini gw sadar ada yang lebih unik, yaitu loe yang tomboy. Cewek satu-satunya di Teknik Mesin,” katanya sambil menghapus lipstik di bibirku.
“Gw setuju dengan Alisha. Selama ini perempuan sering mempercantik diri untuk mencari perhatian pria. Dan loe satu-satunya cewek yang gw kenal ngga berpikiran seperti itu,” kata Yeni memberi dukungan.
“Itu unik,” kata Frida.
“Loe semua salah. Laki-laki mengejar kecantikan. Begitu juga Alex.”
“Apa yang membuat loe lebih mengenal Alex dibanding Alisha yang sudah lima bulan bersamanya?” tanya Zen.
“Gw ngga peduli. Gw cuma mau lebih cantik dari sekarang! Kalo ngga ada yang mau bantuin gw, ngga apa-apa. Gw bisa sendiri.”
“Gw bantuin loe, meski sebenarnya gw setuju dengan Alisha. Gw hanya ngga mau loe lebih aneh dari sekarang,” kata Frida.
“Thanks Frid.”
Aku tak mau ingin kaca di hadapanku saat Frida merias diriku. Ini pertama kalinya seseorang meriasku. Bahkan pertama kalinya aku ingin dirias.
“Vi, mereka benar. Secantik apapun loe dirias, loe akan tetap terlihat aneh. Karena semua orang sudah terbiasa dengan loe yang dulu, tomboy. Image itu ngga akan bisa hilang,” komen Frida padaku.
Semakin lama mereka semakin mempengaruhiku. Kenapa mencintai saja bisa seperti ini?
“Vi, Alex datang?” kata Zen.
Aku semakin berdebar. Baru pertama kalinya aku seperti ini. Kenapa aku seperti ini?
“Frid, udah selesai kan?” tanyaku.
“Loe yakin ngga mau bercermin dulu?”
“Ngga sempet ah.”
Alasan aku menghindari cermin sebagian besar karena aku tidak sabar. Dan sebagian lagi karena aku tak ingin menjadi yang pertama melihat diriku. Nanti saja setelah mendapat dukungan dari yang lain.
Aku membuka pintu. Bisa kulihat Alex datang dengan gayanya yang seperti biasa: rambut berantakan, dagu yang perlu dicukur, kaus tanpa lengan, dan sedikit bau keringat. Dan ia sedang bicara dengan Alisha. Sepertinya sudah selesai. Aku hanya mendengar suara berbau maaf dari Alex.
“Hai Alex,” sapaku.
“Hai. Loe,.. agak berubah ya?”
Bahkan Alex pun berpandangan aneh padaku. Semakin aneh saat mendekatiku. Apa rok jeansnya yang salah?
“Lex, gw cantik kan sekarang?”
Alex malah tertawa aku bertanya seperti itu. Aku percaya tak ada yang salah dengan riasanku. Frida tak mungkin mempermainkanku. Ia sendiri sudah biasa mendandani Alisha.
“Vi Natasha. Loe aneh. Loe kira gw mau ngajak loe dinner? Bioskop? Ke taman? Ngga, Vi,”
“Ke mana?”
“Vi. Gw juga pernah seperti loe. Gw yang dulu terbiasa berantakan seperti sekarang pernah mencoba berubah karena mencintai seseorang cewek,” katanya sambil melirik Alisha. “Tapi itu sia-sia. Untuk apa berubah bila orang menjadi tidak mengenali kita?”
Barisan kalimat Alex mempengaruhiku sekali. Entah harus berkata apa lagi. Aku hanya bisa berkata “Terus, kita mau ke mana?”
“Ke laut. Sana ganti baju loe.”
Aku menurutinya. Aku ke kamarku untuk mengganti pakaianku. Pakaian yang biasa aku kenakan, jeans dan kaus, tanpa make up.
“Jadilah diri sendiri. Itu yang terbaik,” katanya saat menerima aku yang biasa terlihat di matanya. Kini matanya berbeda. Tampaknya aku tahu bagaimana pandangan seseorang yang mencintaiku.

Jumat, 25 April 2008

My Tale

Tengah malam ia datang.
Membawa black forest dengan 17 buah lilin berwarna pink terang.
Tepat di malam Sabtu. Ia rela datang dari jauh hanya untuk merayakan ultahku. Dia tampan sekali malam ini. Dan kami merayakan pesta saat itu juga, berdua, dengan pengawasan mommy tentunya.
Ronny bukan orang asing buat mommy. Justru aku yang merasa mommy mengenalnya lebih dulu dari pada aku. Keluarga kami memang cukup dekat. Wajar bila aku merasa bahwa aku dijodohkan, apalagi setelah pengalamanku yang pertama ketahuan mommy.
Whatever has happened, I love him anyway.
“Happy birthday, hani,” katanya sambil menciumku. Mencium pipiku tentunya, bukan bibir. Seandainya ngga ada mommy.
“Thanks, beib,” jawabku sambil tersenyum. Aku tahu senyumanku adalah baterai untuk nyawanya. Ia pernah bilang, senyumanku amat manis.
Tepat setelah aku meniup semua lilin yang lucu dan menggoda itu, aku mendengar bel berbunyi. Dia datang, masa laluku. Tengah malam ini ia berusaha untuk menemuiku. Aku tahu itu sangat berat untuknya.
Ia tidak berbuat apa-apa, tapi ia seperti sedang menghalangi bayangan masa depanku dan berusaha menarikku untuk mengalami masa itu lagi. Syukurlah aku masih bisa menyadari apa yang sedang terjadi meski ku akui, itu sangat rumit. Sesaat pandanganku buyar oleh masa lalu.
Itulah Indra, masa laluku. Dia datang tidak sendiri. Bersama Dimas , ia datang membawa sebuah kado. Kado berukuran gede banget, yang membuatku penasaran apa isinya.
“Happy birthday, Eska,” katanya sambil memberi kado. Suaranya begitu lemah. Aku tak merasakan semangat cintanya. Bila saja ia masih milikku, mengecupku tak akan menjadi hal yang luar biasa baginya. Tapi sekarang baginya itu adalah hal yang mustahil. Saat itu aku hanya bisa memberi senyuman manisku, yang seolah seperti permintaan maaf. Aku mengerti itu tidak cukup untuknya. Ditambah lagi ia telah melihat Ronny, masa kini dan masa depanku.
Memikirkan itu, tiba-tiba pikiranku melayang ke masa lalu.
Oktober 4 tahun lalu. Sebelumnya bagiku ia hanyalah atlet basket sekolah yang dekil dan sering berantem. Tidak terlalu ganteng. Tapi entah kenapa aku menukar kata-kata cintanya dengan ‘iya’-ku.
Aku percaya saat itu ada sesuatu yang membuatku mengatakan iya, tapi aku tak tahu apa. Semakin lama aku bersamanya aku semakin penasaran. Dan kulalui itu semua melawan ejekan teman-temanku mengenai hubunganku dengannya.
“Eska, loe pantas mendapatkan yang lebih baik.”
“Eska, kenapa dia?”
“Eska, putusin dia gih. Cari yang lain. Mau gw kenalin?”
Masih banyak deh rentetan penolakan teman-temanku mengenai hubunganku dengannya. Semakin lama itu semakin mempengaruhiku, hingga akhirnya aku berani selingkuh setelah 6 bulan bersamanya.
Dan itu ketahuan olehnya. Aku masih bisa mengingat dengan jelas momen itu.
“Eska, gw tahu gw bukan apa-apa dibandingkan semua cowok yang loe kenal. Kalau loe ngga mencintai gw lagi, cukup bilang aja. Gw bisa terima walau gw harus merasakan pedih. Gw tulus mencintai loe.“
Air mataku keluar. Mataku sudah berkaca-kaca mendengarnya memohon seperti itu. Mungkin aku hampir menangis. Tapi sesungguhnya, aku tahu, hatinya menangis lebih deras dariku. Seolah saat itu aku merasakan setitik pedihnya. Aku tak tahu kenapa aku tega.
Aku seperti ingin memarahi diri sendiri. Dia tulus mencintaiku. Dia setia. Mungkin hanya sedikit yang seperti dia.
Mungkin itu yang membuatku memilihnya.
Dan kuputuskan untuk tetap bersamanya.
Tapi itu tak berlangsung selamanya. Beberapa bulan yang lalu, mommy mengetahui hubunganku dengannya, dan mommy tidak menyetujuinya. Masalah utama adalah perbedaan agama. Masalah ini satu-satunya yang ku punya dan tak bisa dipersalahkan. Why mom? Why?
However, she’s my mommy.
“Dra, sorry. Ini perintah mami gw,” kataku melalui hubungan seluler.
“Gw mencintai loe, Ka. Gw ngga mau putus”
“Gw ngga mau melawan mami gw”
“Apa loe ngga mencintai gw?”
“Bukan begitu.”
“Kita bisa backstreet. Mami loe ngga perlu tahu.”
Aku bisa merasakan dia begitu serius. Aku setuju backstreet, tapi aku tahu ini tak akan berjalan mulus. Mungkin ia serius mencintai ku, tapi karena backstreet, cintaku tak sebesar dulu. Memang aku yang salah, tapi kan tak mungkin Indra melakukan sesuatu yang lebih ekstrim? Kawin lari misalnya, atau membuatku hamil. Hell no way!
Ini tak bertahan lama. Segera setelah mommy menyuruhku putus aku bertemu dengan cowok lain yang lebih ganteng, ialah Ronny. Aku bertemu dengannya saat mengikuti suatu kegiatan di gereja. Awalnya sih kami hanya belajar bareng, dll. Tapi kenyataan berjalan terlalu jauh.
Bagaikan terulang lagi, aku selingkuh dengannya. Keberadaan Ronny membuatku melupakan Indra. Aku tak tahu kenapa aku seperti ini. Mungkin memang sudah menjadi sifat alamiku untuk tidak ingin mengalami kekosongan cinta walau cuma sesaat.
Dan beralas pada kenyataan bahwa keluarga Ronny dekat dengan keluargaku, aku jadi tidak heran bahwa tidak perlu waktu lama bagiku dan dia untuk jadian. Terkesan dijodohkan? Aku tahu. Tapi perjodohan tidak pernah seindah ini. Jujur aku bahagia bersamanya.
Back to the present time, aku sedang memotong black forest itu dengan disaksikan oleh my mommy, my dear Ronny, my ex darling Indra, and the friend of my ex darling Dimas. Potongan kue pertama sudah tentu untuk my mommy, kedua untuk my dear Ronny, ketiga untuk my ex Indra, dan keempat untuk Dimas. Sisanya untukku! Rakus amat sih aku ini.
Sayangnya, di pesta ini hanya ada satu kado, yang dari Indra. Kado gede ini, aku hampir melupakannya karena aku sudah tertelan dalam suasana birthday party ku. Jadi tidak enak dengan Indra.
Kado gede itu, isinya sebuah boneka anjing berwarna biru yang gede banget! Dan yang paling penting, lucu. Aku senang Indra masih ingat dengan benda favoritku, warna kesukaanku, dan binatang kesayanganku.
Diam-diam aku merasakan ketegangan di antara Indra dan Ronny. Ronny berusaha menunjukkan bahwa aku ini miliknya. Dan Indra mengerti mengenai hal itu. Tak masalah baginya, meski hatinya teramat panas ketika Ronny menyuapiku.
Tak lama kemudian Indra dan Dimas mohon pamit. Aku rasa ia memintanya di waktu yang tepat. Aku tak tega membiarkannya merasakan sakit yang lebih parah. Mungkin setelah ini, namaku akan menjadi jarum di hatinya, yang membuatnya sakit saat mengingatnya. Sementara aku hanya akan tertelan dalam rasa bahagia bersama Ronny yang mungkin akan membuatku lupa padanya.
Aku mengantar mereka berdua ke pintu gerbang. Ini adalah saat-saat terakhirnya aku melihatnya memandangku begitu intens dan dalam. Aku sudah bisa mengira-ngira apa yang akan dikatakannya.
“Sekali lagi, happy birthday. Semoga loe bahagia.”
Semoga bahagia? Ia masih memikirkanku di tengah sakit hatinya? Padahal aku yang membuatnya begini.
Mungkin ia mengira Ronny lah penyebabnya. Mungkin ia sudah melupakan semua kesalahanku. Mungkin sakit hatinya tak sebesar yang aku kira. Atau mungkin, ia benar-benar hanya memikirkanku? Hanya ada aku di hatinya?
Oh ya, aku baru tersadar. Mungkin ia melupakan sepatah kata dari harapannya tentangku. ‘Semoga loe bahagia bersamanya’ mungkin itu maksudnya.
However, he’s gone, forever, from my life. I just hate it when someone’s leaving.

Selasa, 15 April 2008

Siapa Sih Loe Sebenarnya?

Siang yang cerah dengan warna langit yang sebiru laut pasifik. Cahaya cukup dan beberapa percikan air akan menyegarkan bunga-bungaku. Sambil bernyanyi laguya Natalie Imbruglia yang berjudul Wrong Impressions aku memaniskan pagi ini.
Aku, Angel Scesia, perempuan manis berusia 17 tahun merasa terlalu dini untuk diganggu pengamen!
Eh, tapi ngga apa-apa deh, karena ia menyanyikan lagu yang cukup bagus. Superman, by Five for Fighting. Aku sengaja memperlama langkahku untuk memperdengarkan lagunya. Jarang banget ada pengamen yang menyanyikan lagu barat.
Tapi, aku harap pengamen ini punya tombol off-nya. Sudah kubayar, tapi ia tidak berhenti bernyanyi. Ia malah mengganti lagu. Sekarang judulnya You’re Beautiful, by James Blunt. Tadinya kupikir uangnya kurang. Tapi aku segera menyingkirkan pemikiran itu setelah kutambah upahnya. Ia ganti lagu lagi, I Knew I Loved You Before I Met You, by Savage Garden.
“Mau loe apa sih?” tanyaku.
“Nyanyi.”
“Kan udah gw bayar, kenapa ngga pergi?”
“Siapa yang minta bayaran? Gw cuma mau ngelatih diri gw. Setidaknya gw tahu lagu gw dihargai seribu satunya. Lumayan untuk beli rokok.”
“Sialan!”
Setelah itu, pengamen itu langsung pergi.

Keesokan harinya, aku dan temanku Dina jalan-jalan di hutan kota. Ia yang mengajakku. Entah kenapa, katanya sih untuk ‘menghijaukan’ perasaan aja.
Di pusat keramaian hutan kota itu kami tertarik untuk membelanjakan sedikit uang kami di stan-stan yang berdiri di sana. Di sana terdapat penjual T-Shirt, penjual tanaman, penjual jajanan, bahkan pelukis jalanan.
“Angel, ke sana yuk,” ajak Dina ke satu-satunya tenda berisi seorang pelukis. Ngakunya lima belas menit langsung jadi. Tapi tak kusangka apa yang kutemukan. Tepatnya siapa.
“Hei, loe kan pengamen yang kemarin!” tunjukku pada pelukis bertopi pemancing itu.
“Iya,” jawabnya gampang.
“Loe kenal dia?” tanya Dina.
Kuceritakan padanya apa yang terjadi kemarin di depan rumahku. Dan setelah kuceritakan, Dina malah tertawa. Apanya yang lucu?
“Jadi dilukis, ngga?” tanya pelukis a.k.a pengamen itu
“Loe minta bayaran ngga?” tanyaku balik.
“Dua puluh ribu aja.”
Aku dan Dina mulai berpose untuk dilukis di depannya. Selama dilukis aku berpikir, jodohkah aku dengannya? Kenapa tidak? Aku sudah 17 tahun ngejomblo, dan dia lumayan good looking juga. Jangan-jangan aku,...
“Model yang jatuh cinta pada pelukisnya itu tabu, loh,” kata pelukis itu.
Aku kaget. Ia seperti bisa membaca pikiranku. “Idiih, ge-er loe!”
Dina malah tertawa.
Selesai. Hasilnya? Sangat bagus. Aku baru pertama kali melihat orang yang bisa bermusik dan melukis dengan sama indahnya.
“Ngomong-ngomong kita belum kenalan,” tanyanya.
Suatu kebetulan ia mengajak kenalan, karena aku juga berpikir seperti itu. Ia seperti bisa membaca pikiranku. “Gw Angel.”
“Gw Anthony.”
Nama itu terdengar cukup familiar, hanya saja aku lupa.
Hari itu berakhir dengan lukisan diriku dan Dina, yang didapat dengan harga yang cukup murah.

Keesokan harinya gw ke hutan kota lagi dengan Dina. Ini menimbulkan kecurigaan baginya. Ia malah mengira aku ada rasa dengan Anthony. Memang benar sih, tapi masa sih aku ngaku?
Tapi sial bagiku, tendanya sudah tidak ada lagi. Masa sih dia ganti profesi lagi?
Oh ya, dia ganti profesi lagi. Di belakang tempatku berdiri menatap tenda yang seharusnya atau kuharap ada, ia menepuk pundakku. Ia sudah berganti kostum, dan kemungkinan juga profesinya.
“Foto langsung jadi, goceng,” tawarnya sambil menenteng polaroid.
“Apa lagi sekarang?” tanyaku.
Aku lucu dengan kelakuaknya itu. Ganti profesi setiap hari setelah tahu bahwa di hari sebelumnya ia menjalankannya dengan baik. Benar-benar makhluk multi-talented yang langka.
Aku bayar dia untuk memotretku seharian. Aku tidak peduli dengan Dina yang meninggalkanku sendirian. Sepertinya ia sengaja.
“Besok loe mau jadi apa?” tanyaku sambil berpose di pinggir danau cantik yang ada di hutan kota itu.
“Coba tebak,” katanya pada jepretan pertama.
“Jangan sam[ai deh gw ketemu loe di toilet umum.”
“Paling bagus, tempat sampah kok.”
Dua puluh menit itu aku serasa menjadi model sesungguhnya. Dua puluh menit bersamanya terasa sangat berharga. Aku merasa berbeda. Tapi sayangnya hari ini berakhir cepat.

Esok harinya lagi, aku ke salon bersama Dina. Aku ke sana dan mulai duduk di tempat yang tersedia agar rambutku ditata. Dan aku mulai curhat dengan Dina samil menunggu orang yang akan merawat rambutku. Ia sudah menduga aku akan curhat tentang Anthony.
“Din, nanti ke sana lagi yuk,” pintaku.
“Repot amat sih loe. Kenapa ngga minta nomor HP-nya kemarin?”
“Gw lupa.”
“Dan loe ngga tahu di mana tempat tinggalnya?”
“Iya. Kayaknya gw rindu deh.”
“Missing me?” sela sebuah suara seseorang di belakangku, yang ternyata setelah kulihat dari cermin adalah Anthony. Dengan seragam salon?
Aku berbalik. “Jadi apa loe sekarang? Pegawai salon?”
“Iya.”
“Gw heran, ternyata gampang juga mencari kerja jaman sekarang,” kataku sambil bersiap untuk dirapihkan.
“Asalkan pantang menyerah loe bisa jadi apa aja.”
“Oh ya? Minggu depan loe bisa kerja di reaktor nuklir?”
“Mungkin.”
Sekali lagi aku menikmati hasilnya. Seperti biasa, cukup memuaskan. Aku merasa cantik sekarang.
Kutanya akan jadi apa ia besok. Ia menjawab bahwa di manapun aku berada di situlah ia. Orang yang amat misterius.
Aku keluar salon dengan perasaan penasaran. Menjadi semakin tidak sabar untuk bertemu dengannya. Menjadi tidak sabar untuk mendapatkan hari esok. Dan karena memikirkan itu aku jadi lupa dengan menanyakan nomor HP-nya! Sudah terlambat aku baru ingat itu setelah sampai rumah.
Aku harap aku bisa menemuinya esok.

Sudah pagi! Aku siap untuk jalan-jalan. Hari ini malas untuk mengajak Dina. Rasanya jadi sedikit susah untuk dekat dengan Anthony bila ada dia. Kenapa ya?
Aku keliling mencari sarapan, tapi yang aku cari adalah yang ada Anthonynya. Bisa saja ia menjadi tukang bubur atau ketoprak hari ini. Rasanya ngga mungkin deh.
Sudah setengah jam aku berkeliling, tapi belum menemukan Anthony dengan profesi barunya. Karena perut sudah tidak tertahankan aku mampir saja ke Coffee Shop untuk mengisi tenaga untuk pencarian berikutnya. Duh, antriannya panjang banget!
Di dalam Coffee Shop aku terkejut menemukan Anthony sedang melayani antrian yang panjang itu. Dan entah kebetulan atau bukan, aku berada di barisannya!
“Giliranku tiba. “Hai!” sapaku.
“Eh, hai.”
“Rasanya memang benar ya? Di manapun gw berada pasti ada loe.”
“Bukannya loe yang mencari gw?”
Aku juga ingin menjawab itu. Sebenarnya memang aku mencarinya sejak tadi. Tapi apakah bukan kebetulan ketika aku sedang istirahat dalam pencarian ini aku menemukannya?
“Terserah deh. Cappucinno dan Croisant.”
“Ok.”
Aku memilih meja di dekat kaca supaya bisa melihat-lihat keluar. Aku terus bertanya-tanya kapan ia selesai bekerja. Bila rata-rata orang bekerja delapan jam, berarti aku harus menunggu hingga sore. Aku berniat mengajaknya jalan. Ih, kok cewek sih yang ngajak jalan? Tapi bila aku cuek terus kapan selesainya? Maksudnya, masa jombloku ini.
Suapan terakhir Croisantku. Roti Prancis ini memang enak banget, meski aku tidak yakin apakah ini berasal dari Prancis atau bukan. Kata orang sih begitu. By the way, selagi aku menghirup kopi Italiaku aku mulai mendengar suara petikan gitar. Aku malas menoleh karena mungkin itu adalah orang lain yang sedang bermain di dalam kafe. Tapi saat aku mendengar suara yang akrab menyanyikan lagunya Jesse McCartney, Beautiful Soul, aku menoleh. Itu adalah Anthony, yang menyanyikan lagu itu untukku dengan masih berseragam waiter. Aku sudah yakin saja itu lagu untukku.
Tiap bait lagu kupandangi ia dengan seksama. Ternyata ia cukup manis. Aku suka.
Selesai lagu ia berlutut di hadapanku. Sambil menggenggam tanganku ia berkata, “Angel. Lima hari ini gw sengaja berganti-ganti profesi untuk mengejar loe. Saat gw tahu loe ada di rumah, gw jadi pengamen. Saat gw tahu loe ke hutan kota, gw meminjam stan teman gw dan juga pekerjaannya. Begitu juga setelah gw tahu loe ke salon temen gw.”
“Temen loe banyak banget ya?” aku sengaja mengganti tema karena tidak tahu harus ngomong apa. Nervous banget! Tapi akhirnya aku bertanya, “Kenapa?”
“Gw sudah lama ingin melakukan ini. Loe ingat, Anthony the Florist?”
Anthony the Florist? Itu kan toko bunga yang sering aku kunjungi untuk membeli bunga hidup. Dan aku ingat, Anthony adalah penjual bunga itu. Kenapa aku bisa lupa?!
“Jadi itu loe? Waktu itu gw belum mengenal loe, jadi,..”
“Gw suka sama loe. Loe seperti bunga-bunga itu. Indah, cantik, harum, cerah. Please, be my girl.”
Apa yang bisa kulakukan? Tak ada selain mengangguk dengan senyum tentunya. Ia pun mencium tanganku. Dan setelah itu semua pengunjung Coffee Shop bertepuk tangan ke arah kami. Ternyata mereka juga teman-temannya Anthony. Aku tahu karena setelahnya mereka memberi selamat kepadanya.
“Anthony, loe harus jelasin semuanya.”
“Ok, sambil jalan, ya? Ke hutan kota.”
Hari ini ia menjebakku. Kok aku bisa sebodoh itu sih bisa masuk ke Coffee Shop temannya ini. Kemarin juga di salon temannya. Tapi aku akhirnya bersyukur dengan kebodohanku ini.
Akhirnya aku dapat cowok.

Jumat, 28 Maret 2008

Can’t be forever in Love

20 November, aku berkenalan dengan seseorang di kantin. Ternyata ia anak Teknik Sipil. Berarti gedungnya bersebelahan dengan denganku yang merupakan siswa Teknik Lingkungan tahun kedua ini. Namanya Lisa, dan ia sering bersama-sama kawan-kawannya. Aku sering mengajaknya pulang bersama.
Dua minggu kami menjalin hubungan yang cukup dekat. Awalnya aku senang kami cukup dekat. Tapi entah kenapa, aku merasa bosan. Dan rasa itu tiba-tiba hilang begitu saja.
Karena cinta tak ada, Lisa dan aku hanya berteman, dan masih bertahan hingga kini. Aku tak pernah lebih. Dan aku tak pernah tahu bagaimana perasaannya kepadaku.
Lalu hadirlah Selna di hatiku. Itu terjadi pada 14 Desember saat kami dalam satu kelompok dan melakukan studi lingkungan di sekitar kawasan pusat kota.
Studi selesai, kami masih jalan. Tapi itu tidak lama. Tiga hari kemudian aku sudah hampir lupa bahwa aku pernah mencintainya kemarin. Dan bisa ditebak, rasa itu hilang lagi.
31 Desember, kampus mengadakan prom nite dan acara menyaksikan kembang api di hutan kampus. Keadaan yang remang-remang di sana sangat sempurna untuk menyaksikan kembang api.
Lalu, Eska yang malam itu datang dengan gaun putih menarik perhatian semua orang, termasuk gw. Dan aku berhasil menjadi orang satu-satunya yang menemaninya. Kenapa? Mudah saja. Bila setiap mata memperhatikannya, jadilah si pemilik mata yang menatap sebaliknya. Aku sudah tahu bagaimana Eska.
Acara selesai, tapi kami belum. Beberapa hari setelahnya kami seperti sedang memiliki hubungan spesial.
Dia begitu cantik, manis, dan sikapnya benar-benar seperti perempuan. Tapi kekagumanku hanya tiga minggu lamanya. Kami belum sempat jadian karena aku berpikir hubungan kami sudah lebih dari cukup. Dan karena hal itu pula aku merasa tak memiliki ikatan yang kuat dengannya setelah rasa itu hilang.
Memandang masa lalu seperti memiliki jendela waktu di depan mata. Mungkin mataku membaca tiap baris novel yang berada di depan mukaku. Tapi pikiranku melayang melintasi waktu.
“Gw harus menghentikan ini semua,” gumamku sambil menutup novel. Sulitnya mempertahankan cinta memang membuat stress. Seperti orang gila yang mengaku memiliki tujuan hidup, begitu pikirku. Tapi perempuan memang bukan tujuan hidupku. Mungkin itu penyebabnya aku tak bisa mencintai perempuan secara permanen.
“What’s up bro? Bengong aja nih!” seru seorang temanku yang super aktif ini. Agak berlawanan denganku, meski tidak terlalu. Bila aku berkutub S, dia belum tentu U. Bisa saja T, tengah.
Oh iya. Namanya Troy, anak Psikologi di kampus yang sama. Hanya beda gedung aja.
“Ngga ada apa-apa kok,” jawabku santai.
“Oh iya, Shed. Gw mau menjadikan loe bahan studi gw. Boleh ga?”
“Selama tidak mengganggu hidup gw.”
Aku menunduk, menghela napas, dan memandang rerumputan di bawahku. Hijau sekali. Menutupi tanah dengan sempurna. Tapi sejauh apapun aku membuang pikiranku, Troy masih bisa membaca kegalauanku. Aku tak akan bisa menutupinya. Ia tahu aku masih memikirkan masalah perempuan itu.
“Shed, coba deh ambil sisi positif dari semua ini.”
“Apa?”
“Akhirnya pendapat gw benar. Manusia mempunyai kecenderungan untuk berganti pasangan.”
“Gitu?”
“Iya. Kenyataannya hanya empat persen dari seluruh spesies mamalia yang setia pada pasangannya sampai akhir, belum termasuk manusia.”
Mungkin pendapatnya memang benar. Aku hanya binatang. Memikirkan itu malah membuatku semakin down. Troy sepertinya tidak berbakat menjadi psikolog. Tidak ada psikolog yang membuat pasiennya semakin down, kecuali dengan beberapa alasan.
Aku segera meninggalkannya berlalu menuju mobilku yang terparkir sejah lima meter dari tempatku duduk. Begitu aku menyentuh setir, tanpa kusadari Troy telah berada di sampingku. “Numpang ya?” tanyanya, dan itu mengagetkanku.
“Aku tak menjawab. Hanya langsung tancap gas, berharap ia segera turun dari mobilku.
Lisa, Selna, Eska, dan juga cewek yang lain yang aku lupa namanya, memang amat cantik. Menurut Troy aku memang ngga normal, bisa bosan dengan perempuan secantik mereka. Ku rasa aku bukannya bosan. Bukan juga karena mereka tidak suka. Hanya rasa itu yang pergi entah ke mana.
Kalau aku bisa memerintahkan Cupid si dewa cinta, akan kusuruh dia memanahku dengan jangkar Titanic.
Tak perlu waktu lama bagiku untuk merasa kosong dalam penantian ini. Bukannya aku mengharapkannya, tapi rasa ini datang begitu saja dan awalnya begitu indah. Jujur saja, datang dan perginya rasa ini memang melelahkan hatiku.
Ada seorang perempuan lagi yang membuatku terpesona lagi. Dia berbeda dengan yang biasanya. Sungguh tak biasa. Aku pun heran kenapa bisa suka.
Kutemukan dia di seminar anti global yang diselenggarakan di fakultasku. Saat itu aku adalah salah pembicaranya. Ia berasal dari fakultas MIPA, dan mengajukan pertanyaan yang cukup menantang. Bisa dibilang, saat itu adalah perdebatan yang sangat panjang antara aku dan dia. Perempuan yang cukup menantang.
Selesai seminar aku menemuinya tepat di saat ia melewati pintu aula.
“Hai Tiara,” sapaku. Ya, namanya Tiara.
“Hai Shed. Seminar yang seru, ya?”
“Ya. Mau debat lagi?”
Ia menatapku dengan pandangan tidak percaya sekaligus kagum, seolah yang tadi diperdebatkan tidak cukup. Dan seolah ia kehilangan kata-kata. Padahal aku tidak tahu apa yang akan diperdebatkan nanti.
“Loe nantangin ya?” katanya.
“Ngga kok. Cuma mau mengajak makan siang aja.”
“Ngga lucu deh.”
“Kalau lucu, gw pasti tertawa. Jam 12 di kantin utara.”
Aku suka melihat senyumannya yang terbit sebelum ia berlalu. Aku bisa mendengar hatinya berkata “Dasar gila!”, atau “Ok deh gila!”? Keduanya terdengar sama.
Hingga akhirnya pada jam 12 siang aku yakin bahwa tadi hatinya berkata “See you there,” karena kenyatannya ia benar-benar datang. Tapi, mau apa sih dia membawa banyak buku yang rata-rata setebal kulit bumi?
“Semua ini buku yang gw pinjam dari perpustakaan. Mau debat kan?”
Perempuan ini memang ‘keras’. Sepertinya aku harus bersabar hingga dia mengerti maksud hatiku.
Tapi aku tak sabar. Aku tak peduli meski jarak fakultasnya sejauh setengah lingkaran bumi, aku datang menemuinya setelah jam kuliahnya usai. Tapi aku agak kecewa karena ia menolak pulang bersama.
“Kenapa?” tanyaku.
“Karena loe munafik. Katanya peduli pemanasan global, kok bawa mobil?”
“Kalo gw ngga bawa mobil, loe mau pulang bareng gw?”
“Ngga janji ya?”
Aku masih kuat menghadapinya. Aku rela tidak naik mobil dan berangkat naik motor Troy demi dia, demi pulang naik bus bersamanya.
“Shed, loe ngga perlu memaksakan diri. Gw ngga yakin orang yang biasa naik mobil kuat naik bus,” kata Troy.
“Peringatannya bukan omong kosong. Padahal bukan jam sibuk, tapi busnya penuh sesak. Aku ngga tahan dengan bau asap dan hawa panas yang kadang lewat dan menyerang. Tapi ini demi Tiara.
Benar-benar perempuan yang unik.
Minggu paginya aku menhubunginya. Aku berniat mengajaknya jalan-jalan.
“Kebun Raya Bogor?” tanyanya seolah ngga yakin.
“Iya. Gw yakin loe ngga ada kerjaan.”
“Dari mana loe tahu? Loe memata-matai gw ya?”
“Ngga juga. Jadi bagaimana keputusannya?”
“Gw ikut.”
“Kalau begitu sebaiknya loe cepat, karena gw sudah berada di depan rumah loe.”
Aku bisa melihat Tiara muncul di balkon kamarnya aku bisa melihat senyumnya itu, manis sekali.
“Ngga apa-apa kan pakai mobil?” tanyaku
“Ngga apa-apa. Kan ngga rutin.”
Hari itu adalah salah satu hari terindah dalam hidupku. Apalagi setelah tahu bahwa itu adalah tempat wisata favoritnya. Aku bisa merasakannya, meski sudah tengah hari tempat itu masih saja teduh. Entah bagaimana panasnya Jakarta pada saat yang sama.
“Kalau global warming sudah semakin parah gw akan mengungsi ke sini,” kataku, yang membuatnya tertawa kecil. Ia tahu aku bercanda karena bila global warming semakin parah, tumbuhan pun tidak akan ada yang hidup.
Hari itu sungguh amat berharga.
Hari esok akhirnya tiba juga. Aku sudah menunggu hari esok untuk bertemu Tiara, bukan untuk dinasehati oleh Troy. Rasanya aku ingin meneriakan kata-kata itu di pada jamur tempel ini.
“Saran gw,” katanya kepadaku, “cepet-cepet jadian deh sama cewek ini sebelum rasa itu hilang lagi,” lanjutnya. Mungkin ada benarnya juga. Selama ini aku cenderung tidak mengambil langkah penting itu.
Bisakah aku melakukannya? Seperti kebanyakan pria lain, rasa takut pun pasti ada. Rasa takut tidak diterima, dan lain-lain. Itu karena Tiara tidak seperti perempuan lain yang ada di dalam hidupku. Ia membantu berbuat ekstra agar mendapatkan perhatiannya.
Baru enam hari. Aku masih bisa melakukannya sebelum rasa itu hilang lagi. Masih ada kesempatan. Benarkah?
Setiap kali aku melihatnya, dan memikirkan kata-kata itu, aku menjadi gugup. Tidak semudah berdebat tentang global warming. Bahkan untuk berkata sesuatu seperti “Loe cantik,” dan sebagainya, butuh ketinggian tinggi.
Tak heran hingga hari kedua puluh satu aku belum mengatakannya. Tapi aku heran, untuk perempuan yang tidak secantik Eska, rasa untuknya bisa bertahan selama ini. Mungkin ini karena ia tidak seperti perempuan lain dalam hidupku. Aku sudah mengatakan itu berkali-kali dalam hatiku. Perempuan lain dirasakan begitu mudah untuk didapatkan, tapi ia?
Godaan pun datang.
“Shed, sudah lama kita ngga jalan. Gw lagi bosan nih, sendirian di rumah.”
Eska menghubungiku di malam aku sedang memikirkan Tiara. Kenyataannya aku memikirkan Tiara setiap malam.
Suara Eska malam itu sungguh menggoda. Aku membayangkan betapa mudahnya aku bisa bersamanya, membelainya, atau bahkan menciumnya.
Tapi, terlalu mudah.
“Sorry, gwbanyak tugas nih. OK? Bye,” jawabku singkat. Dan juga aku harus mempersingkat penderitaan ini sebelum rasa itu hilang lagi.
Masih jam tujuh. Aku mengambil kunci mobilku dan pergi. Ke rumah Tiara.
Aku sudah sampai di depan kediamannya. Aku langsung bisa melihatnya yang sedang berdiri di balkon kamarnya, begitu juga ia yang langsung mengenali mobilku. Dan ia pun segera turun menghampiriku setelah melihatku.
Aku sudah sampai di depan kediamannya. Aku langsung bisa melihatnya yang sedang berdiri di balkon kamarnya, begitu juga ia yang langsung mengenali mobilku. Dan iapun segera menghampiriku setelah melihat wajahku.
“Hai Shed,” sapanya.
Aku tak membalas sapaannya. Aku, yang biasanya selalu memikirkan sesuatu sebelum berbuat, langsung menggenggam tangannya. Sungguh aku melakukan itu tanpa memikirkan mengapa atau apa akibatnya. Seluruhnya murni impatiency.
“Gw suka loe, Tiara.”
Ia terdiam di tempat. Pandangannya menjauh dariku dan wajahnya tidak tersenyum. Aku tahu ekspresi wajah ini. Ekspresi takut mengecewakan. Tapi ia sudah mengecewakanku.
“Shed, mungkin loe sama sekali tidak memperhatikan, ...” lalu ia melepaskan tangannya dariku, “atau loe ngga tahu apa artinya cincin dijari manis.”
Aku memperhatikan tangan kirinya dengan seksama. Benar, ada cincin emas putih dengan berlian kecil. Sungguh aku tidak tahu ada cincin di jari itu. Aku tidak pernah memperhatikannuya. Dan sangat sulit dipercaya.
“Gw sudah bertunangan,” katanya. Tanpa mengatakannya pun aku sudah tahu.
Jadi inikah rasanya sakit hati? Troy tak akan percaya bahwa ini adalah sakit hatiku yang pertama. Aku pernah merasakannya sebelumnya, hanya saja yang sekarang jauh lebih sakit.
“Tapi sungguh gw merasa bahagia loe berada di sini gw. Kita masih berteman, kan?” kata Tiara.
Sambil tersenyum aku berkata, “Tentu saja.” Sungguh itu senyuman yang membutuhkan banyak energi untuk melakukannya.
Setelah itu aku langsung pergi dari hadapannya dengan tidak berharap akan menemuinya lagi. Tapi aku tidak berharap aku tidak akan menemuinya lagi. Bila diizinkan untuk berharap, aku ingin agar aku tidak jatuh cinta lagi.

Jumat, 07 Maret 2008

Gadis di Koridor Berbeda

Jam enam pagi. Aku harus kuliah untuk mengejar cita-citaku. Fakultas teknik tak mungkin menunggu. Aku harus pergi meski setiap hari bus penuh.
Aku sudah berdiri sepuluh menit di belakang platform busway. Dan aku perkirakan akan mendapatkan bus itu dalam waktu lima belas menit. Lama ya? Tapi aku masih lebih beruntung dari pada orang-orang di belakangku. Satu bus hanya menerima lima sampai sepuluh orang di halte ini pada jam ini.
Dan keberadaanku juga tak lebih baik dari yang antri di arah lain. Aku antri di arah Dukuh Atas dan yang kumaksud adalah yang antri di arah sebaliknya.
Ah tidak. Gadis itu lagi. Gadis SMA yang sangat cantik. Ia antri di barisan itu yang lebih sedikit sepi dari pada antrianku. Sudah berhari-hari aku memperhatikannya. Dia sering naik busway dari halte sesak ini.
Lama kelamaan ia hilang dari pandanganku karena mendapatkan busnya.
Keesokan harinya seperti biasa. Jam enam tepat aku harus sampai di halte itu. Jakarta seperti arena perlombaan terhadap waktu. Dan aku harus sampai di halte ini secepatnya hanya untuk berbaris, menandakan kekalahanku yang tidak begitu pahit juga. Tapi hari ini aku beruntung. Aku berpapasan dengan gadis di pintu masuk halte.
“Hai,” sapaku.
“Hai,” jawabnya. Tak kusangka suaranya manis sekali.
Tapi aku tak bisa selamanya bersamanya. Untuk hari ini hanya bisa menyapanya saja. Untuk hari lain aku berjanji akan lebih baik lagi. Hari ini hanya langkah pertamaku yang sangat berharga bagiku.
Esok harinya lagi aku datang lebih dulu daripada gadis itu. Meski kuliah hari ini tidak terlalu penting aku tampak terburu-buru. Padahal gadis itu lebih santai dari pada aku yang anak kuliahan ini.
Gadis itu datang, lalu mengantri. Itu membuatku meninggalkan antrianku untuk menhampirinya. Walau yang kudapat hanya sapaan saja, aku tak peduli. Padahal risikonya tinggi. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menghabiskan satu antrian dan aku berpotensi telat masuk kampus. Meski kuliah masih ada besok, aku belum punya kepastian akan melihatnya lagi besok.
“Hai,”
“Hai. Loe ngga ikut ngantri? Nanti telat loh,”
“Gw santai hari ini. Oh ya, siapa nama loe?”
Akhirnya hari ini aku bisa tahu siapa namanya. Serena. Nama yang manis, seperti orangnya.
Tapi hal ini tak bisa berlangsung lama. Benar-benar, tak bisa mempertahankannya. Aku tahu itu setelah menawarkannya untuk jalan bareng nanti siang.
“Sorry Ivan. Sepertinya kita sudah terlalu jauh,” katanya.
“Ngga tuh. Baru lima menit,”
“Bukan begitu,”
Ia langsung menunjukkan cincin putih berkilauan yang berada di tangan kirinya. Aku tidak heran ia punya cincin. Sudah banyak perempuan seusianya saat ini mempunyai cincin.
Ternyata yang dimaksud bukan wujudnya, tapi maknanya dan orang yang memberikannya.
“Gw sudah bertunangan. Sorry yah?”
Aku tak bisa berkata-kata. Dan ia langusng menyambut bus seolah ia mengerti aku tak bisa memberi salam perpisahan.

Minggu, 24 Februari 2008

Lovely Rush Hour

Rush hour, jam di mana transportasi adalah sektor tersibuk. Kebutuhan akan transportasi harus tercukupi dan sebisa mungkin harus cepat. Di jam inilah waktu teramat sangat dihargai.
Adalah Freddo, seorang yang terus mengalami hal yang sama di hari dan jam yang sama selama lima tahun hidupnya bekerja di kantor redaksi majalah. Setiap pagi ia harus mengejar waktu, berjalan melewati jalan yang sama, di stasiun yang sama, naik kereta yang berjurusan sama dengan tujuan yang sama pula : berusaha agar tidak terlambat masuk kantor.
Lalu ada seorang Shera, cewek yang masih kuliah di teknik metalurgi semester empat, yang juga ikut menikmati jam sibuk ini. Hanya saja berbeda dengan orang2 yang sudah bekerja,ia agak santai. Tentu saja begitu, karena bila terlambat, bukan pemotongan gaji sanksinya.
Keduanya naik kereta di stasiun yang samadi jam yang sama, kereta yang sama, dan turun di stasiun yang sama. Tapi mereka tidak saling mengenal, namun tanpa mereka sadari sebenarnya mereka sudah berkomunikasi sejak lama.
“Aduh! Hati-hati donk!” seru Shera setelah ditabrak seorang laki-laki berstelan jas abu-abu gelap, yang sebenarnya adalah freddo, yang baru turun dari kereta.
“Sorry girl. Buru-buru nih.”
Shera melepas headsetnya dan memberikan acungan jari tengah kepadanya meski Freddo sudah berbalik menjauhinya.
Tak jauh dari stasiun, Shera membeli burger ukuran small untuk dijadikan sarapannya. Tak lupa sekaleng kopi susu. Semuanya sepuluh ribu cukup.
Ia adalah cewek yang unik, ekspresif. Salah satu bentuk ekspresinya adalah curhatan yang ia tulis di selembar uang yang ia gunakan untuk membayar burger dankopi susu itu. Setelah selesai membayarnya, ia meneruskan perjalanannya menuju kampus.
Sementara itu, Freddo sedang berusaha meraih mesin absensi yang selalu menentukan berapa gajinya bulan ini.
“Haha! Kalau gw telat delapan belas detik lagi, gaji hari ini melayang.” komen Freddo sambil ngos-ngosan.
“Selamat! Sudah tujuh belas hari berturut-turut loe seperti ini. Rekor bro! Satu-satunya di kota ini yang sangat hampir telat dalam tujuh belas hari berturut-turut adalah loe.” komen Dave, rekannya yang sedang minum kopi susu di meja kerja.
Tapi, Fredo belum duduk di meja kerjanya, sudah ada memo berisi tugas.
“Wawancara pagi lagi. Belum sarapan pula.”
“Selamat bekerja.” Dave berkomentar lagi.
Freddo tidak sempat duduk. ia segera keluar mengejar kereta berikutnya. Tokoh yang sedang ia kejar terkenal tepat waktu. Tapi sebelumnya, ia harus sarapan dulu.
Ia membeli burger di tempat yang tak jauh dari stasiun, tempat Shera membeli sarapan beberapa saat yang lalu. Fredd membayar burger ukuran medium, dan ia mendapatkan kembaliannya karena uangnya lebih. Salah satunya adaah lembaran sepuluh ribuan yang berisi tulisan aneh curhatannya Shera. Freddo hanya membacanya sekilas tapi tak menanggapinya karena anonim.
Freddo kembali ke jalannya.
Oh iya. Selain wartawan, ia juga penulis kolom. Kolom terbarunya adalah tentang jam sibuk yang selalu ia alami setiap hari. Dan ia tidak tahu bahwa kolomnya mempunyai fans setia yang sedang membaca kolomnya, yaitu Shera.
Shera sedang membacanya di jam senggang kuliahnya.
“Pathetic ya? Kenapa harus terburu-buru? Santai aja kali.” katanya.
“Itu kan menurut loe.” komen seorang temannnya.
“Iya sih, kolom ini isinya kantorsentris banget.”
Siangnya, kuliah Shera sudah selesai. Ia pun makan siang di kafe dekat stasiun favoritnya. Sendirian. Ia memang biasa melakukan apapun sendirian.
“”I’ve never been so far from heaven like this. All I can breathe is this loneliness. I’m dead, I’m unexist. But I have to live to find out where my love is.” kalimat ini adalah bait lagu ciptaannya Shera sendiri. Senada dengan curhatan yang ia tulis di uang lembaran sepuluh ribu itu.
“Lagu yang bagus, Sher.”
“Oh, Debra. Shut up.”
“Seperti biasa kan?”
“Iya. Waffel dan cappucinno.”
Terkadang kita tak bisa menyalahkan siapapun, kenapa kita terus sendiri. Bosan, tak ada seseorang yang memberi kasih dan cinta sama sekali. Ingin sekali hal ini berubah. Shera merasakannya. Hanya dengan menyanyi dan menulis ia bisa mengurangi penderitaan ini.
“Hei, gw mulai suka dengan lagu ini nih. All I can breath is, ...” kata Debra sambil membawakan pesanannya Shera.
“Eh, inget hak cipta ya?”
Shera menikmati makan siangnya sambil menulis macam-macam isi hatinya di sebuah buku yang dipakai khusus untuk itu.
“Hai Shera!” sapa Mutia, seorang teman kuliahnya di metalurgi.
“Mau apa loe?”
“Ih, gw udah susah-susah nyariin loe, kok sambutannya begitu? Pantes aja loe ngga punya cowok. Belanja yuk.”
“Ngga mau. Loe ngga liat gw lagi makan?”
“Gw bantuin deh.”
Bantuan yang dimaksud tentu saja bantuan menghabiskan makan siangnya. Kapan lagi dapat waffel gratis? Makan siang Shera yang tinggal setengah itu langsung habis.
“Udah habis. Yuk.”
Mutia menarik Shera. Shera tak bisa menolak lagi. Dengan buru-buru ia merapihkan buku-buku yang ada di meja. Tapi tanpa ia sadari ia meninggalkan buku khusus curhatannya.
Sementara itu, Freddo sudah keluar dari keretanya. Ia sudah selesai mewawancarai klien yang penting itu.
“Sudah loe terima hasil wawancaranya?” tanya Freddo pada Dave melalui hubungan seluler.
“Sudah. Seperti biasa, memang cepat.”
“Ada memo lagi ngga di meja gw? Mumpung gw masih ada di jalanan.”
“Sepertinya ngga ada tuh. Loe ngga balik.”
“Ngga. Gw nongkrong dulu di kafe, nulis kolom lagi.”
Kafe yang dimaksud itu tentu saja adalah kafe dekat stasiun yang baru saja ditinggalkan Shera. Freddo tertarik pada sebuah meja di sisi jendela yang ada buku yang tertinggal itu. Itu bukunya Shera. Ia tidak mengenal buku itu atau milik siapa buku itu. Bukunya anonim.
Debra datang ke mejanya sambil menyanyikan lagunya Shera. Freddo langsung berkomentar, “Lagu yang bagus, Deb. Lagu siapa?”
“Lagu ciptaan salah seorang pelanggan perempuan. Pesan apa?”
“Kopi susu tanpa gula.”
“Ngga pake bon? Biasanya loe buru-buru.”
“Sekarang gw santai.”
Ia santai meski ia sebenarnya tidak memiliki inspirasi tentang apa yang akan ditulisnya dalam kolomnya nanti. Tapi, setelah mendengar secara lengkap lagu yang dinyanyikan Debra, membaca buku tak bernama itu, dan teringat pada uang bertuliskan curahan hati, ia akhirnya tahu apa yang harus ditulis di kolomnya untuk edisi minggu ini. Temanya: Kesendirian di Kota Sibuk.
Ia mengetik di laptopnya untuk kolomnya itu selama istirahat siangnya itu. Setelah selesai, ia membawa pulang buku itu ke apartemen kecilnya untuk menganalisa isinya itu agar tahu isi hati sang penulis buku anonim itu. Sebenarnya salah bila menganggap bahwa hati seseorang mudah ditebak. Freddo merasa bisa karena ia sudah banyak bertemu dengan banyak orang, banyak menulis kolom, dan banyak membaca buku.
Sesungguhnya ia juga tersentuh pada isi buku itu. Pada kolom itu, ia akan menulis tentang dirinya juga selain tentang orang yang menulis buku itu. Ia pun membuka laptopnya lagi dan mulai mengetik.
Dua hari kemudian, seperti biasa di pagi harinya. Rush hour lagi. Freddo meski bangun sepagi apapun tetap saja seperti itu. Dan Shera, bangun sesiang apapun tetap santai.
“Aduh!” seru Shera karena lagi-lagi ditabrak Freddo.
“Loe ngga apa-apa kan?”
“Loe lagi! Bosen gw ditabrak loe tiap pagi. Besok nabrak lagi gw hajar loe.”
Kejadian setelah turun dari kereta itu cukup menghambat Freddo. Tanpa sempat minta maaf ia segera berlari lagi.
Sementara Shera, setelah bertabrakan segera ke kios koran membeli majalah hasil kerja kantornya Freddo. Meski ia bilang membosankan, ia suka dengan kolomnya Freddo. Ia mau melihat dunia dari sisi yang belum ia capai.
Kini, ia terkejut. Ternyata Freddo punya sisi muda juga. Tapi yang paling menarik perhatiannya adalah temanya yang dia banget. Seandainya ia tahu bahwa Freddo adalah orang yang menabraknya setiap pagi. Dan kolomnya masih bersambung.
Seperti biasa, ia membeli burger sebagai sarapannya. Tapi tak seperti biasa, ia memanfaatan kertas roti dari burger itu untuk menulis setelah bukunya hilang. Ia menulisnya dengan saus dari burger itu dan tusuk gigi. Lalu dengan saus pula ia menempelnya di belakang kursi kayu yangs edang ia duduki itu. Entah kenapa ia jadi ingin semua orang tahu apa isi hatinya.
Beberapa menit kemudian Freddo dan rekan kerjanya, Dave, duduk di bangku kayu yang telah lima menit ditinggalkan Shera. Mereka sedang bersiap untuk mewawancarai lagi.
“Fred, seriuslah. Ini orang penting.”
“Ya, direktur utama perusahaan perkayuan yang didakwa illegal loging itu adalah orang penting.”
“Kenapa sih, akhir-akhir ini loe menjadi semakin malas mewawancarai? Loe sekarang lebih peduli dengan kolom loe.”
“Dia nyata Dave. Gw tahu dia ada.”
“Silahkan cari perempuan yang menulis buku itu, tapi jangan sekarang. Kita punya tugas.”
Freddo menengadahkan kepalanya, menggantung tangannya di sandaran kursi dan menghela napas. Tepat di saat itu ia menyadari ada sesuatu yang menempel di tangannya. Kertas roti peninggalan Shera. Orang biasa pasti sudah langsung membuang kertas itu, tapi Freddo tidak. Ia membacanya sekilas lalu membuangnya ke tempat sampah.
“Udah deh Fred. Loe seperti hidup dalam mimpi. Ayo jalan.” kata Dave sambil menarik Freddo untuk segera jalan.
Tulisan di kertas roti itu cukup berbekas di kepalanya meski ia hanya membacanya sekilas.
Siangnya, Shera sudah kembali dari kampus dan Freddo sedang istirahat siang. Shera membeli burger di tempat yang biasa, begitu juga Freddo. Karena tidak saling mengenal, mereka tidak peduli pada satu sama lain. Tepat ketika Shera ingin beranjak dari pedagang itu, Freddo datang sambil menyanyikan lagu yang didapatkannya dari Debra. Seandainya ia tidak menyanyikannya, Shera sudah pergi jauh dari situ.
“Sorry, apa gw mengenal loe?” tanya Shera pada orang itu karena heran lagunya dibajak.
“Ya, loe yang gw tabrak tiap pagi di stasiun. Sorry ya gw ngga sempat minta maaf.”
“Ya, gw paham. Orang kantoran itu memang selalu sibuk. Oh iya, apa gw menularkan sesuatu saat loe menabrak gw? Nasib atau penyakit hati, misalnya.”
“Ngomong apa sih?”
“Ngga ada apa-apa.”
Dan, seandainya tidak hujan, mungkin mereka tak akan terus bersama dengan berteduh di tempat yang sama. Juga bila Shera tidak sedang membawa majalah itu di lengannya, mereka akan melalui hujan tanpa topik.
“Suka membaca ya?” tanya Freddo, memulai topik.
Shera tahu ia bertanya karena majalah ini. “Iya. Ini majalah bagus banget. Gw paling suka kolom di halaman 20.”
Freddo mulai tersanjung ada yang memuji kolomnya. Dari perasaan itu berkembanglah sebuah obrolan. Tapi mereka masih saling merahasiakan sesuatu. Freddo merahasiakan namanya sendiri. Ia mengaku bernama Freddi dan bekerja di kantor percetakan. Sedangkan Shera mengaku tidak sedang mengalami apa yang tertulis di kolom itu.
“Hei, nama loe agak mirip ya dengan penulis kolom 20 majalah ini.” komen Shera.
Dan mereka juga bertukar nomor ponsel.
Di kantor, Freddo menceritakan tentang Shera pada Dave. Ia hanya berkomentar, “Go get her, man.”
Tiba-tiba saja ia merasa telah menemukan sesuatu untuk mendampinginya, atau tepatnya seseorang. Ia selama ini sendiri, tapi terkesan tidak peduli. Beda dengan Shera yang kesal dengan kesendiriannya. Tapi ia tak merasa Freddo akan mengakhiri kesendiriannya.
Kejadian siang ini juga mengubah kebiasaan Freddo pada keesokan paginya. Bila biasanya ia terburu-buru, kini ia santai. Setelah turun dari kereta ia mencari Shera. Sulit menemukannya di dalam kereta karena penuh sesak, tetapi bila di luar kereta lumayan gampang karena mahasiswa tidak begitu terburu-buru seperti orang kantoran.
“Hai Sher.”
“Apa? Mau nabrak lagi?”
“Seandainya boleh, iya.”
Freddo memanfaatkan momen itu untuk mengajaknya makan siang setelah Shera selesai kuliah. Seperti yang diduga, Shera menerima mengiyakan ajakan itu. Dan tempatnya adalah kafe tempat masing-masing biasa makan.
“Fred.”
“Ya?”
“Ngerasa ngelupain sesuatu ngga?”
Setelah beberapa detik berpikir, ia teringat telah melupakan sesuatu, yaitu mesin absensi. Telat tidaknya ia masuk kantor dan berapa besar gajinya bulan ini ditentukan oleh mesin itu. Ia pun segera berlari mengejar mesin sialan itu.
“Sampai nanti siang!” salam Shera.
Sudah siang. Shera sedang menunggu seseorang yang dikenalnya bernama Freddi dengan Cappucinno di depan mukanya. Dengan tusuk gigi ia melukis sesuatu di atas Cappucinno dengan busanya. Entah bentuk apa itu, maknanya hanya dia yang tahu.
“Hai, Sher. Udah lama?”
“Baru kok.”
Seorang waitress datang. Bukan Debra, tapi Fifi, teman kerjanya Debra. Debra sedang absen kerja hari ini. Fifi juga mengenal Freddo dan Shera karena pelanggan tetap. Makanya, demi menjaga kerahasiaan identitasnya, Freddo menghampiri Fifi sebelum mereka sampai di meja mereka dan menyapa.
“Fifi, di depan dia, gw adalah Freddi, OK?” bisiknya.
Fifi mengangguk.
Fifi memulai tugasnya dengan menyapa mereka dulu, sesuai aturannya Freddo. Barulah mereka ditanya mau makan apa.
“Tuna Sandwich aja deh.” kata Shera.
“Gw Cheese Sandwich.”
Seorang mahasiswa metalurgi dan seorang karyawan kantor redaksi majalah. Cocok. Itu bisa terlihat dari mereka yang begitu mudahnya akrab. Berkat Freddo yang berwawasan luas dan Shera yang serba ingin tahu, kecocokan mereka begitu terasa.
Acara makan siang mereka telah usai. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Shera pulang dan Freddo kembali ke kantornya.
Saat di stasiun Shera melihat seorang gadis kecil melukis sesuatu di tiang stasiun dengan spidolnya. Namun tidak lama karena ibunya segera melarangnya untuk berbuat itu. Setelah gadis kecil dan ibunya berlalu, Shera melihat gambar itu. Manis sekali, seorang anak kecil bisa menggambar sepasang sejoli yang sedang berduaan. Shera menambahkan simbol hati di atas gambar itu.
Lalu sorenya, Freddo pulang. Di stasiun, ia juga melihat gambar itu. Setelah diberi simbol hati oleh Shera, Freddo menambahkan gambar Cupid dan busur panahnya di tiang itu dengan anak panahnya yang menancap di simbol hati itu.
Tiga hari kemudian adalah hari di mana majalah terbitan kantornya Freddo terbit. Seperti biasa, Shera mampir di kios koran dekat stasiun untuk membeli majalah itu. Freddo sudah menunggunya di sana seolah tahu Shera akan membeli majalahnya.
“Hai.”
“Hai. Nanti siang ada waktu?”
“Ha, gw tahu loe mau apa. OK, gw tunggu di kafe itu nanti siang.”
Sebenarnya Freddo ada tugas nanti siang untuk mencari informasi tentang usaha agrobisnis bunga hias. Tapi Dave rela menggantikannya demi Freddo yang akan melepas masa lajangnya.
Di kafe, Shera sednag menunggu kehadiran Freddo dengan membaca majalah itu. Ia sedang membaca kolomnya Freddo di halaman 20 itu. Ia sudah membacanya dua kali dan seolah belum puas. Seolah ia membaca kehidupannya sendiri. Tentu saja, karena sumbernya adalah buku yang berisi curhatannya yang hilang itu dan ditemukan oleh penulis kolom bernama Freddo.
“Hai Sher.“ sapa Freddo.
“Hai.”
“Bagaimana majalahnya?” Freddo langsung to the point.
“Bagus. Mau baca?”
“Ngga deh. Gw udah baca tadi di kantor. Majalah temen.”
Freddo berbohong. Padahal majalah itu sih memang selalu tersedia di kantornya.
Masalah datang, hanya saja Freddo tidak menyadarinya. Debra, hari ini masuk kerja. Dan ia belum diberitahu tentang Freddo yang sedang dalam penyamaran itu.
“Hai Shera, Hai Freddo. Akhirnya kalian ketemu juga. Mau pesan apa?”
“Gw pesan, ... Eh, tadi loe manggil dia apa?”
“Freddo.”
Fifi segera menarik Debra dari hadapan mereka tapi. Terlambat, Shera merasa orang yang sedang berada di hadapannya harus menjelaskan banyak hal.
“Gw perlu banyak penjelasan.”
“OK, gw ngaku. Gw Freddo, penulis kolom itu. Gw merahasiakan nama gw agar dengan leluasa bisa ngobrol dengan loe soal majalah ini. Loe tahu kan bagaimana rasanya punya fans?”
“Ngga tahu tuh. Dan berbohong sejak awal bisa mempengaruhi hubungan kita.”
Lalu meraka diam. Seperti ada perubahan, tapi sebenarnya tidak. Karena lambat laun Freddo akan jujur juga. Ia pun merasa bingung, apa yang salah?
Shera juga begitu. “Apa yang salah?” pikirnya. Untungnya baru beberapa hari mereka seperti ini. Dan juga, Freddo dan Freddi, hanya berbeda satu huruf saja. Pemikiran yang simpel untuk memaafkan seseorang yang sudah berbohong beberapa hari.
“Gw akan memaafkan loe dengan satu syarat.”
“Apa itu?”
“Kolom itu favorit gw. Gw mau tahu dari mana sih loe dapat inspirasinya? Loe begitu mengerti sisi lain manusia.”
“Karena gw telah melihatnya.”
“Melihat apa?”
Freddo menunjukkan buku itu. Shera mengenal buku itu, tapi ia pura-pura tidak tahu untuk sementara, seperti Freddo.
“Menurut loe buku itu bagus?”
“Bukan buku ini, tapi isinya. Yang menulis ini sepertinya berperasaan banget. Menginginkan kehadiran kasih sayang seseorang yang orangnya belum ia ketahui siapa. Seandainya gw bisa bertemu dengannya.”
Lalu Shera mengambil buku itu dengan lembut sambil tersenyum tersanjung. “Orang itu ada di hadapan loe.”
Freddo malah salah menduga, meski bisa dibilang ia setengah mengerti. Ia mengira bahwa Shera memang menginginkan kasih sayang seperti pemilik buku itu. Dan itu yang membutanya ge-er.
Lalu Shera menunjukkan bukti bahwa buku itu memang miliknya. Ada suatu halaman yang kosong, tapi ternyata tidak benar-benar kosong. Ada suatu berkas kilauan yang terlihat begitu jelas bila diarahkan ke arah cahaya datang. Terlihat jelas namanya.
“No damn way.”
Shera tersenyum, tersipu malu, dan lain-lain. Freddo, seandainya bisa, ingin menarik pernyataannya tadi. Tapi untuk apa? Bukankah itu yang diinginkannya? Secara tidak langsung itu pernyataan suka pada Shera, yang suatu saat akan dikatakannya juga. Dan Shera menyukai pernyataannya itu.
“Freddo. Loe percaya ngga bila rush hour yang ternyata mempertemukan kita.”
Sejak saat itu mereka bersama untuk selamanya.