Di suatu siang di stasiun yang ramai, aku baru saja keluar dari kereta subway. Aku berjalan ditemani suhu udara yang panas, karena itulah aku menuju mesin penjual minuman.
Ada dua belas jenis minuman kaleng yang bisa aku beli. Terkadang aku sulit dalam memilih ketika aku dihadapkan oleh banyak pilihan walau aku ingat apa yang sering aku minum.
Ketika aku masih dalam keadaan bingung dengan pilihan-pilihan itu, ehembus angin lewat di belakangku. Itu berarti ada orang yang baru saja lewat dekat punggungku. Ya, memang ada. Seorang laki-laki berambut coklat dengan tubuh yang agak kurus baru saja berjalan melewatiku lalu ke mesin penjual minuman yang kedua yang bersebelahan denganku.
Pada awalnya aku tak peduli hingga satu kaleng yang ia pilih dengan cepat keluar dari mesin. Ia membukanya, lalu meminumnya. Dan tanpa sengaja mata kami bertemu.
Sebagai perempuan, aku merasa mata coklat itu sanga menarik.
Aku mengedipkan sebelah mataku sebagai ucapan ‘hai’, tapi ia malah menoleh ke belakang karena mengira aku mengedip ke orang selain dia. Wajah lugunya menandakan bahwa ia tidak bisa berkata apa-apa.
Setelah menekan tombol untuk memilih satu jenis minuman kaleng aku menggerakkan jariku untuk menyuruhnya mendekatiku. Ia hanya tersenyum aneh sambil benar-benar berjalan mendekatiku, dengan langkah yang agak kaku.
Aku tidak mengerti mengapa aku melakukan ini. Ada sesuatu yang menarik pada dirinya. Aku pun tahu ia juga menginginkanku.
Sepanjang hari hingga malam aku bersamanya. Aku tahu ia meluangkan waktu untukku seperti yang aku lakukan untuknya. Dan selama itu pula ia masih bertingkah malu-malu seolah aku adalah seniornya dan aku seperti tante genit yang menggoda remaja. Tapi aku yakin bahwa ia lebih muda dariku.
Tapi perpisahan harus selalu ada mengiringi suatu pertemuan, dan tidak aku sangka akan secepat ini.
“Aku harus pergi sekarang. Sesuatu telah terjadi,” katanya setelah menerima telepon.
“Tapi kita bisa bertemu lagi kan?”
Ia diam. Aku berharap ia mengatakan sesuatu.
“Aku mengetti,” kataku. Lalu aku memberikannya ciuman yang lembut di bibirnya. Ia tidak menampakkan ekspresi apapun selain suatu ekspresi yang menunjukkan bahwa itu adalah ciuman pertamanya. “Dengan begini kita memiliki ikatan.”
Lalu tiba saatnya ia benar-benar pergi. Tapi sebelum pergi, ia mencium tanganku dengan lembut. “Ia sudah belajar banyak dariku,” bisikku dalam hati. Ia sudah agak berubah dari laki-laki lugu dan pemalu menjadi sesuatu yang lain. Tapi aku tetap menginginkannya.
Dan langkahnya mulai bergerak menjauhiku dengan begitu cepat. Aku tak ingin menyadari bahwa itu sedang terjadi.
Keesokan harinya aku ke stasiun subway seperti hari kemarin. Aku ingin menemuinya lagi. Lalu aku menuju mesin penjual minuman kaleng yang sama, tapi ia belum datang. Maka aku menunggunya sambil duduk di bangku panjang yang berada di depan mesin penjual minuman kaleng dan menenggak satu kaleng minuman yang aku beli dari mesin itu. Aku meminumnya perlahan-lahan.
Satu jam aku telah menungggu. Setiap orang yang lewat di depanku. Setiap orang yang lewat di depanku, setiap laki-laki yang membeli minuman di mesin itu aku perhatikan terus karena mungkin itu adalah dia.
Dua jam berlalu, tapi dia belum muncul. Betapa bodohnya aku, tidak menanyakan alamat rumah atau nomor teleponnya, atau apapun yang bisa membuatku bisa bertemu dengannya lagi. Aku terlalu yakin ia dan aku akan bertemu lagi.
Tanpa aku sadari aku telah melepaskan air mata. Seharusnya sih tidak. Aku merasa tidak punya alasan untuk itu. Entahlah, aku tidak tahu.
Aku meninggalkan tempat itu dengan segera meski masih ada keinginan untuk menunggunya. Aku merasa telah melakukan hal yang sia-sia.
Tiga tahun kemudian aku sedang menunggu kereta yang menuju ke tempat kerjaku. Aku berdiri menghadap rel karena lima menit lagi keretaku akan datang jika sesuai jadwal.
Tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang dan mencium bahuku yang terbuka. Lalu ia membisikkan namaku dengan lembut, dan aku segera mengetahui siapa itu. Pria berambut coklat itu, yang sudah tiga tahun ak tunggu.
Aku berbalik dan menciumnya sebagai balasan. Tapi lebih lama karena aku telah menunggunya sangat lama. “Ada banyak hal yang harus kita bicarakan,” kataku.
“Ya,” jawabnya.
Ada dua belas jenis minuman kaleng yang bisa aku beli. Terkadang aku sulit dalam memilih ketika aku dihadapkan oleh banyak pilihan walau aku ingat apa yang sering aku minum.
Ketika aku masih dalam keadaan bingung dengan pilihan-pilihan itu, ehembus angin lewat di belakangku. Itu berarti ada orang yang baru saja lewat dekat punggungku. Ya, memang ada. Seorang laki-laki berambut coklat dengan tubuh yang agak kurus baru saja berjalan melewatiku lalu ke mesin penjual minuman yang kedua yang bersebelahan denganku.
Pada awalnya aku tak peduli hingga satu kaleng yang ia pilih dengan cepat keluar dari mesin. Ia membukanya, lalu meminumnya. Dan tanpa sengaja mata kami bertemu.
Sebagai perempuan, aku merasa mata coklat itu sanga menarik.
Aku mengedipkan sebelah mataku sebagai ucapan ‘hai’, tapi ia malah menoleh ke belakang karena mengira aku mengedip ke orang selain dia. Wajah lugunya menandakan bahwa ia tidak bisa berkata apa-apa.
Setelah menekan tombol untuk memilih satu jenis minuman kaleng aku menggerakkan jariku untuk menyuruhnya mendekatiku. Ia hanya tersenyum aneh sambil benar-benar berjalan mendekatiku, dengan langkah yang agak kaku.
Aku tidak mengerti mengapa aku melakukan ini. Ada sesuatu yang menarik pada dirinya. Aku pun tahu ia juga menginginkanku.
Sepanjang hari hingga malam aku bersamanya. Aku tahu ia meluangkan waktu untukku seperti yang aku lakukan untuknya. Dan selama itu pula ia masih bertingkah malu-malu seolah aku adalah seniornya dan aku seperti tante genit yang menggoda remaja. Tapi aku yakin bahwa ia lebih muda dariku.
Tapi perpisahan harus selalu ada mengiringi suatu pertemuan, dan tidak aku sangka akan secepat ini.
“Aku harus pergi sekarang. Sesuatu telah terjadi,” katanya setelah menerima telepon.
“Tapi kita bisa bertemu lagi kan?”
Ia diam. Aku berharap ia mengatakan sesuatu.
“Aku mengetti,” kataku. Lalu aku memberikannya ciuman yang lembut di bibirnya. Ia tidak menampakkan ekspresi apapun selain suatu ekspresi yang menunjukkan bahwa itu adalah ciuman pertamanya. “Dengan begini kita memiliki ikatan.”
Lalu tiba saatnya ia benar-benar pergi. Tapi sebelum pergi, ia mencium tanganku dengan lembut. “Ia sudah belajar banyak dariku,” bisikku dalam hati. Ia sudah agak berubah dari laki-laki lugu dan pemalu menjadi sesuatu yang lain. Tapi aku tetap menginginkannya.
Dan langkahnya mulai bergerak menjauhiku dengan begitu cepat. Aku tak ingin menyadari bahwa itu sedang terjadi.
Keesokan harinya aku ke stasiun subway seperti hari kemarin. Aku ingin menemuinya lagi. Lalu aku menuju mesin penjual minuman kaleng yang sama, tapi ia belum datang. Maka aku menunggunya sambil duduk di bangku panjang yang berada di depan mesin penjual minuman kaleng dan menenggak satu kaleng minuman yang aku beli dari mesin itu. Aku meminumnya perlahan-lahan.
Satu jam aku telah menungggu. Setiap orang yang lewat di depanku. Setiap orang yang lewat di depanku, setiap laki-laki yang membeli minuman di mesin itu aku perhatikan terus karena mungkin itu adalah dia.
Dua jam berlalu, tapi dia belum muncul. Betapa bodohnya aku, tidak menanyakan alamat rumah atau nomor teleponnya, atau apapun yang bisa membuatku bisa bertemu dengannya lagi. Aku terlalu yakin ia dan aku akan bertemu lagi.
Tanpa aku sadari aku telah melepaskan air mata. Seharusnya sih tidak. Aku merasa tidak punya alasan untuk itu. Entahlah, aku tidak tahu.
Aku meninggalkan tempat itu dengan segera meski masih ada keinginan untuk menunggunya. Aku merasa telah melakukan hal yang sia-sia.
Tiga tahun kemudian aku sedang menunggu kereta yang menuju ke tempat kerjaku. Aku berdiri menghadap rel karena lima menit lagi keretaku akan datang jika sesuai jadwal.
Tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang dan mencium bahuku yang terbuka. Lalu ia membisikkan namaku dengan lembut, dan aku segera mengetahui siapa itu. Pria berambut coklat itu, yang sudah tiga tahun ak tunggu.
Aku berbalik dan menciumnya sebagai balasan. Tapi lebih lama karena aku telah menunggunya sangat lama. “Ada banyak hal yang harus kita bicarakan,” kataku.
“Ya,” jawabnya.