Tapi aku mungkin tidak keluar kelas teralhir kali ini, setidaknya tidak sendiri. Indri menghampiriku ketika ruang kelas hampir sepi. Ia mengingatkanku pada satu hal: kemarin adalah hari seleksi menjadi enggota Dewan Perwakilan Mahasiswa. Apakah ia ingin membicarakan hal itu?
”Hai, Dick. Bagaimana wawancaranya?”
Bagaimana? Setelah mengenai siksaan mental dan fisik setelah mengalami ospek lagi, aku tak bisa mengatakan bahwa wawancara itu menyenangkan. Tentu saja, segala siksaan dunia itu untuk meyakinkan semua peserta bahwa menjadi anggota DPM adalah kerja keras sekaligus juga mengeliminasi yang mentalnya lemah. Terhitung ada tiga belas orang yang mengundurkan diri pasca diberitahukan kerugiannya menjadi anggota DPM yang diantaranya tidak lulus mata kuliah, melewatkan praktikum, bahkan ke-DO karena masalah akademis yang tidak mencukupi. Kesimpulan yang bisa aku katakan untuk Indri: “Menyenangkan.” Sebenarnya interview oleh anggota DPM itu hanya lima belas menit dari acara keseluruhan yang berlangsung selama tiga jam yang sebagian besar diisi oleh siksaan mental dan fisik itu. Oh ya, dan juga suntikan doktrin dari mereka, yang sebenarnya juga bagian dari siksaan mental.
“Lucu juga sih loe.”
Entah sejak kapan ia menjadi ramah. Bahkan sikapnya jauh dari yang seperti ini sebelum persaingan menjadi anggota DPM dimulai. Mungkin setelahnya, setelah ia sadar bahkan setelah tahu ia tidak bisa menjegalku selama masa pengumpulan berkas persyaratan itu. Atau setelah wawancara itu, yang aku tahu perempuan mendapatkan siksaan leabih ringan. Atau setelah pikirannya tercemar doktrin anggota DPM. Atau setelah ia tahu bahwa kecil kemungkinannya aku akan mencintainya meski ia sangat cantik, kaya, dan berbakat. Aku tidak tahu.
“Esok adalah pengumumannya. Loe siap?” katanya.
“Diterima atau tidak, gw tahu apa yang harus gw lakukan.”
“Sepertinya loe calon terbaik untuk menjadi anggota DPM. See you.”
Setelah ia pergi, aku masih belum mengerti apa arti dari perkataannya. Apakah anggota DPM itu adalah mahasiswa yang selalu duduk di belakang di setiap mata kuliah dan tidur di setiap mata kuliah yang dianggapnya tidak ada hubungannya dengan jurusan yang ditekuninya? Apakah anggota DPM itu mahasiswa yang tidak bisa merapihkan kamarnya sendiri dan jarang mandi sore? Apa tujuannya memujiku setinggi langit?
Bahkan menurutku, jabatan anggota DPM itu lebih pantas disandang oleh mereka yang selalu datang ke kelas lebih awal dan merebut kursi terdepan, rajin bertanya pada dosen, serta bisa merapihkan kamarnya sendiri. Aku yakin itu adalah Indri.
Dan aku semakin lagi setelah apa yang kulihat setelah kelas kimia pangan. Aku meihat Indri sedang di meja koridor gedung, sibuk dengan laptopnya. Tiba-tiba ada seorang mahasiswa membuang puntung rokok di dekatnya. Indri mengambil inisiatif dengan menginjak puntung rokok itu sampai baranya mati lalu membuangnya ke tempat sampah. Tidak lupa ia juga menutup hidung dan mulutnya ketika melakukan semua itu. Perempuan yang cerdas.
Ia mengingatkanku pada seseorang di masa laluku. Seseorang yang tanpa sepengetahuannya telah menjadi acuan kesuksesan banyak orang, yang tidak pernah terlewati. Yang tanpa sepengetahuannya telah menjadi pujian bagi sekolahnya. Yang tanpa sepengetahuannya telah aku cintai hingga ia tahu karena aku mengungkapkannya.
Terlepas dari berbagai kemungkinan yang mungkin aku rasakan terhadapnya, ia adalah kandidat terbaik untuk menjadi anggota DPM. Mengalahkannya, ataupun dikalahkan olehnya akan sama membanggakannya.
Dan hari pengumumannya tiba. Pengumumannya segera setelah dosen Biodigesti mengakhiri kelasnya dan seorang anggota DPM maju ke ruang kelas. Sudah jelas ia akan mengumumkannya.
“Saya tidak ingin membuang waktu. Kalian tahu tujuan saya di sini,” katanya. Seperti biasa, anggota DPM selalu serius. Mungkin akumulasi dari efek buruk kesibukan selama masa baktinya.
Aku sedikit harap-harap cemas menunggunya, dan entah apa yang dirasakan Indri. Mungkin seperti alunan musik tango, biasanya semerdu itulah detak jantung orang baik. By the way, mengapa aku harap-harap cemas? Aku bahkan tidak tahu motivasiku mencalonkan diri. Seingatku, aku hanya menjawab tantangannya Indri.
“Ada sedikit masalah. Ada kelas yang tidak menghadirkan calonnya dalam seleksi, dan juga proses penilaian bagi calon yang mengikuti seleksi agak sulit dilakukan karena memang sangat kompetitif. Dan akhirnya kami putuskan, ...”
Tiga detik, lima detik, sepuluh detik suasana sepi seolah mengundang teror bagi seisi kelas. Katanya tidak mau membuang waktu?
“Antara Indri dan Dicky, kami memutuskan bahwa kalian berdua lulus.”
What? Bagaimana bisa? Bukankah dalam satu kelas hanya ada satu wakil? Itu ketentuan pokoknya.
Terlepas dari masalah itu, ternyata cukup membanggakan juga tidak mengalahkan maupun dikalahkan oleh Indri. Aku dianggap sejajar dengan perempuan berbakat itu.
Tapi bagaimana mungkin dalam satu kelas terdapat dua wakil? Syukurlah Indri menanyakan itu sesegera mungkin.
“Ketentuan pokok masih berlaku,” jawabnya. “Untuk itu, kami mengharapkan kerelaannya bagi salah satu dari kalian untuk pindah ke kelas yang tidak menghadirkan wakilnya dalam seleksi. Ada yang bersedia?”
Dengan segera aku mengangkat tangan, menunjukkan bahwa aku bersedia. Aku sudah berpikir, di jeda tiga detik sebelum aku mengangkat tangan itu.
Lalu akupun maju ke mimbar kelas, sekedar untuk memberi salam terakhir mungkin.
“Kalian tahu siapa gw, mahasiswa aneh yang selalu memilih tempat duduk yang terbelakang. Mungkin beberapa dari kalian terkejut gw terpilih, tapi itu menunjukkan bahwa gw ngga main-main dalam menjadi anggota DPM. Tidak ada yang spesial dari apa yang gw miliki, selain keinginan gw untuk menjadi seperti Indri, mahasiswi yang kalian tahu sangat berbakat. Meski saat ini gw sudah disejajarkan oleh Indri, gw belum selesai.
“Kelas ini menyenangkan. Kalian bisa membayangkan bagaimana rasanya pindah dari kelas yang menyenangkan ini. Itulah yang gw rasakan, meski gw terlihat seperti mahasiswa yang akan di-DO.
“Alasan gw mengajukan diri untuk pindah kelas adalah karena gw ngga ingin perempuan mengalami kesulitan yang lebih berat. Ya, gw ngga ingin Indri mengalami kesulitan dengan masalah pindah kelas ini.”
Aku bisa melihat Indri tersenyum terharu terhadap yang aku katakan. Itu semua aku lakukan sebagai laki-laki. Dan juga sebagai penghormatanku terhadap apa yang bisa ia lakukan terhadap kampus ini. Aku tidak terlalu yakin ada alasan lain.
Pindah kelas memang merepotkan. Jika DPM tidak memfasilitasi, aku harus melapor ke direktorat kemahasiswaan, ke berbagai lab yang terkait mata kuliahku, dan para asisten dosen. Mungkin akan memakan banyak waktu.
Indri masih menunjukkan senyum itu. Cantik sekali. Perempuan seperti dia memang pantas mendapatkan yang terbaik.
“Kalau kalian merindukan gw, gw belum berpikir untuk mengganti nomor ponsel dalam waktu dekat.”
Beberapa tertawa mendengar itu. Indri termasuk yang tertawa itu.
Aku telah mendapat instruksi untuk mempercepat proses perpindahan kelas itu paling lama tiga hari lagi dan segera memperkenalkan diri kepada kelas yang baru itu. Juga kami diberitahu kapan rapat perdana akan diberlangsungkan. Lalu seisi kelas diijinkan bubar. Tapi Indri masih menungguku. Ia ingin mengucapkan sesuatu.
“Tidak salah kalau gw ingin loe menyukai gw. Atau dengan kata lain, ...”
“Ya, gw tahu.”
“Ketika mengetahui itu tidak mungkin, rasanya memang menyebalkan. Andai ada kemungkinan hal itu bisa berubah.”
Aku berpikir sebentar, lebih lama dari jeda tiga detik itu. Lalu aku menjawab, “Mungkin bisa.”
“Benar?”
“Loe tahu apa yang gw inginkan, yang gw sukai.”
Entah apa yang aku katakan benar, aku sendiri tidak yakin. Yang aku yakini adalah Indri pasti mengetahui maksud dari perkataanku. Tapi satu hal yang aku tahu, itu bisa memotivasi dirinya untuk menjadi seseorang yang jauh lebih baik dariku. Dan aku tentu saja tidak akan membiarkan itu terjadi, ia telah menjadi acuan kesuksesanku. Aku akan bersaing, dengan cara yang sehat, hingga ia menyerah.
Setelah aku yakin Indri cukup jauh dariku, aku melihat ke layar ponselku. Aku memandang foto seseorang yang mirip Indri. Bukan mirip secara fisik, tapi secara sikap, perilaku, bakat, dan kecerdasan.
“Thy, do you see me?” itulah yang selalu kukatakan pada Tiara. Dan kini aku berhadap ia benar-benar melihatku.