Masa depan itu, baikkah diketahui? Secara akal sehat, masa depan tidak bisa diketahui karena belum terjadi. Tapi ada orang yang mengaku bisa mengetahui masa depan. Semacam Oracle, Clairvoyant, dsb.
Tapi bagaimana jika orang itu adalah orang yang menyukaimu?
“Hayden, loe sakit ya?” tanyaku dalam telepon.
“Ngga.”
“Mana mungkin loe bisa tahu gw akan jatuh dari tangga sebentar lagi? Gw turun pun karena menerima telepon dari loe.”
“Eh, kamar loe di atas ya?”
Aku segera menutup telepon itu dan kembali ke kamarku. Dan ternyata, Hayden benar. Aku terguling tujuha nak tangga dan mampir di depan telepon lagi. Rasanya memang sakit, tapi aku pernah jatuh dari ramp skateboard dan rasanya lebih sakit.
Aku meraih telepon dan mendial nomor Hayden segera.
“Halo.”
“Tell me how did you do that.”
Tidak hanya terjadi satu kali. Aku ingat ketika menyaksikan pertandingan basket bersama teman-teman dania termasuk. Di ronde kedua ia mengajakku bertaruh bahwa skornya akan berakhir 81-79. Aku mengikuti taruhannya, dan yang kalah harus membelikan untuk perjalanan pulang.
Dan skornya tepat 81-79. Aku menduga itu hanya tebakan beruntung saja. Tapi bila dipikir-pikir, itu keberuntungan yang amat sangat karena kemungkinannya sangat kecil. Memang sih, skor basket selalu berakhir di skor antara 75 sampai 110, tapi kemungkinannya tetap saja 35 kuadrat.
“I don’t say I have future sight. I just know,” jawabnya.
Sejak kasus basket itu, gw dan Hayden seperti anjing dan kucing yang selalu mengejek jika bertemu tapi tetap sahabat.
“Eh, jelek. Berapa skor Juventus nanti malam?” Seringkali itulah sapaanku ketika bertemu dengannya.
“Ga tahu, jelek. Ga sering kelihatan. Mau taruhan lagi ya?”
“Persiapan aja, soalnya ada indikasi uang gw akan habis menipis akhir bulan ini.”
“Bilang aja loe mau mengecat baru skateboard loe di Creative Shop.”
“Kok tahu?”
“Kok nanya?”
Ya, mengapa aku menanyakannnya. Ia bisa melihat masa depan. Bila ia mengatakan itu, berarti memang benar aku akan mengecat skateboradku nantinya bagaimanapun kondisi finansialku.
Aku dan Hayden memang sering bersama. Hal itu berawal dari kasus kursi kosong yang terisi olehnya yang datang sebagai murid baru dari sekolah yang hanya sedikit yang mengetahuinya. Ia orangnya unik, cerewet, dan lucu. Terkadang memang ngeselin sih. Aku berteman dengannya bukan karena kemampuan spesialnya. Tanpa itupun ia sudah spesial, sudah aneh.
Tapi mendadak ia berubah sikap. Entah apa yang aku lakukan, aku hanya meberi gambar baru pada skateboardku, berkenalan dengan perempuan cantik penjaga counter skateboard, aku semakin kurus, nilai fisikaku meningkat, membeli gitar baru dari uang hasil taruhan bola berkat bantuannya, dapat team basket baru, dan orang tuaku datang dari semarang untuk kunjungan bulanannya. Apa yang mungkin membuatnya demikian?
“Jelek, berapa nilai fisika loe?”
“Ngga terlalu bagus,” jawabnya simpel. Biasanya jika aku tanya demikian, ia selalu menjawab, “Jelek, seperti loe, Jelek.”
“Loe kurang makan, ya?” dugaku, karena kulihat ia semakin kurus. Sepertinya dunia semakin kurus, tidak hanya aku. Tapi dugaan itu aku tepais setelah temannya, Dena, menyapanya dan mengajaknya bermain basket. Ia menyambutnya dengan semangat.
Memang ada yang salah, tapi apa?
Sementara beberapa hari sudah berlalu, orang tuaku kembali ke Semarang, nilai fisikaku tetap tinggi, team basketku menantang team kampus, dan aku semakin sering jalan dengan Sherly, gadis penjaga counter skateboard itu.
“Haydee,” sapaku dengan nama kecilnya.
“Gw sedang tidak ingin makan es krim,” jawabnya.
“Apa yang loe mau sekarang? Tapi jangan mahal-mahal ya, uang gw tinggal sedikit.”
“Yang gw mau ngga mahal kok. Gw ingin malam ini loe diem aja di kamar dan tidak pergi.”
Aku tidak mengerti kenapa, tapi itu mudah dilakukan. Apapun akan aku lakukan asalkan bisa membuatnya kembali seperti dulu, dan juga asalkan tidak aneh-aneh. Mungkin ada maksudnya, tapi sebaiknya aku tidak bertanya. “OK, tapi makan bakso dulu ya? Gw laper.”
Hingga sore hari aku tidak bertanya-tanya mengapa ia meminta demikian, hingga Sherly menghubungiku dan mengajakku pergi malam-malam. Aku tak bisa begitu saja meminta pembatalan perjanjian kepada Hayden, tapi aku juga tidak ingin menolak Sherly. Entah apa yang harus aku lakukan.
Maka akupun pergi diam-diam dengan harapan Hayden tidak mengetahuinya. Tapi terlambat, Hayden sudah menungguku di depan gerbang dan sepertinya belum lama.
“Gw tahu loe akhirnya akan pergi,” katanya sambil memangku dirinya seolah kedinginan karena malam. Tapi malam tidak terasa dingin bagiku.
“Boleh gw tahu alasan mengapa gw ngga boleh pergi malam ini?”
“Gw ngga ingin loe pergi dengan Sherly,” jawabnya sambil berdiri lalu menatapku dengan tatapan yang belum pernah aku lihat.
“Kenapa?”
“Karena gw sayang sama loe.”
Ini membuka mataku. Ternyata itu penyebab berubahnya sikapnya terhadapku. Entah apa yang harus aku lakukan, dengan siapa aku pergi sebenarnya adalah hakku. Tapi seharusnya aku menghargai seseorang yang mencintaiku. Seharusnya aku mengerti. Sherly belum tentu menyukaiku sebesar rasa sayang Hayden terhadapku.
Aku segera menghampiri dan memeluknya. Entah apa yang ia pikirkan hingga ia berbuat demikian. Rasanya sulit membayangkan jika itu karena cinta, karena Hayden adalah Hayden. Tapi aku juga merasakan hal yangs ama terhadapnya, jika ada seorang pria yang mendekatinya, aku tidak akan membiarkannya. Yang aku lakukan pada Sherly hanya ketertarikan fisik saja, tidak seperti rasa tertarikku pada Hayden.
“Gw hanya main-main dengan Sherly, gw tetap milik loe. Loe bisa melihatnya kan?”
Dalam pelukanku, aku bisa merasakan ia menggeleng.
“Someday you will. Trust me.”
Hayden lalu menatapku. Air matanya jatuh bagai butiran jagung kecil menggelinding di atas kulit wajahnya yang halus. Tapi lalu ia mengusap air matanya sendiri sambil tertawa, “Apa yang gw lakukan? Memeluk loe? Gw pasti sudah gila.”
Aku langsung tersenyum. Aku suka sikapnya yang seperti anak-anak. Tidak akan bisa aku dapatkan seseorang sepertinya, yang bisa mengisi hari-hariku dengan luar biasa.
Tapi bagaimana jika orang itu adalah orang yang menyukaimu?
“Hayden, loe sakit ya?” tanyaku dalam telepon.
“Ngga.”
“Mana mungkin loe bisa tahu gw akan jatuh dari tangga sebentar lagi? Gw turun pun karena menerima telepon dari loe.”
“Eh, kamar loe di atas ya?”
Aku segera menutup telepon itu dan kembali ke kamarku. Dan ternyata, Hayden benar. Aku terguling tujuha nak tangga dan mampir di depan telepon lagi. Rasanya memang sakit, tapi aku pernah jatuh dari ramp skateboard dan rasanya lebih sakit.
Aku meraih telepon dan mendial nomor Hayden segera.
“Halo.”
“Tell me how did you do that.”
Tidak hanya terjadi satu kali. Aku ingat ketika menyaksikan pertandingan basket bersama teman-teman dania termasuk. Di ronde kedua ia mengajakku bertaruh bahwa skornya akan berakhir 81-79. Aku mengikuti taruhannya, dan yang kalah harus membelikan untuk perjalanan pulang.
Dan skornya tepat 81-79. Aku menduga itu hanya tebakan beruntung saja. Tapi bila dipikir-pikir, itu keberuntungan yang amat sangat karena kemungkinannya sangat kecil. Memang sih, skor basket selalu berakhir di skor antara 75 sampai 110, tapi kemungkinannya tetap saja 35 kuadrat.
“I don’t say I have future sight. I just know,” jawabnya.
Sejak kasus basket itu, gw dan Hayden seperti anjing dan kucing yang selalu mengejek jika bertemu tapi tetap sahabat.
“Eh, jelek. Berapa skor Juventus nanti malam?” Seringkali itulah sapaanku ketika bertemu dengannya.
“Ga tahu, jelek. Ga sering kelihatan. Mau taruhan lagi ya?”
“Persiapan aja, soalnya ada indikasi uang gw akan habis menipis akhir bulan ini.”
“Bilang aja loe mau mengecat baru skateboard loe di Creative Shop.”
“Kok tahu?”
“Kok nanya?”
Ya, mengapa aku menanyakannnya. Ia bisa melihat masa depan. Bila ia mengatakan itu, berarti memang benar aku akan mengecat skateboradku nantinya bagaimanapun kondisi finansialku.
Aku dan Hayden memang sering bersama. Hal itu berawal dari kasus kursi kosong yang terisi olehnya yang datang sebagai murid baru dari sekolah yang hanya sedikit yang mengetahuinya. Ia orangnya unik, cerewet, dan lucu. Terkadang memang ngeselin sih. Aku berteman dengannya bukan karena kemampuan spesialnya. Tanpa itupun ia sudah spesial, sudah aneh.
Tapi mendadak ia berubah sikap. Entah apa yang aku lakukan, aku hanya meberi gambar baru pada skateboardku, berkenalan dengan perempuan cantik penjaga counter skateboard, aku semakin kurus, nilai fisikaku meningkat, membeli gitar baru dari uang hasil taruhan bola berkat bantuannya, dapat team basket baru, dan orang tuaku datang dari semarang untuk kunjungan bulanannya. Apa yang mungkin membuatnya demikian?
“Jelek, berapa nilai fisika loe?”
“Ngga terlalu bagus,” jawabnya simpel. Biasanya jika aku tanya demikian, ia selalu menjawab, “Jelek, seperti loe, Jelek.”
“Loe kurang makan, ya?” dugaku, karena kulihat ia semakin kurus. Sepertinya dunia semakin kurus, tidak hanya aku. Tapi dugaan itu aku tepais setelah temannya, Dena, menyapanya dan mengajaknya bermain basket. Ia menyambutnya dengan semangat.
Memang ada yang salah, tapi apa?
Sementara beberapa hari sudah berlalu, orang tuaku kembali ke Semarang, nilai fisikaku tetap tinggi, team basketku menantang team kampus, dan aku semakin sering jalan dengan Sherly, gadis penjaga counter skateboard itu.
“Haydee,” sapaku dengan nama kecilnya.
“Gw sedang tidak ingin makan es krim,” jawabnya.
“Apa yang loe mau sekarang? Tapi jangan mahal-mahal ya, uang gw tinggal sedikit.”
“Yang gw mau ngga mahal kok. Gw ingin malam ini loe diem aja di kamar dan tidak pergi.”
Aku tidak mengerti kenapa, tapi itu mudah dilakukan. Apapun akan aku lakukan asalkan bisa membuatnya kembali seperti dulu, dan juga asalkan tidak aneh-aneh. Mungkin ada maksudnya, tapi sebaiknya aku tidak bertanya. “OK, tapi makan bakso dulu ya? Gw laper.”
Hingga sore hari aku tidak bertanya-tanya mengapa ia meminta demikian, hingga Sherly menghubungiku dan mengajakku pergi malam-malam. Aku tak bisa begitu saja meminta pembatalan perjanjian kepada Hayden, tapi aku juga tidak ingin menolak Sherly. Entah apa yang harus aku lakukan.
Maka akupun pergi diam-diam dengan harapan Hayden tidak mengetahuinya. Tapi terlambat, Hayden sudah menungguku di depan gerbang dan sepertinya belum lama.
“Gw tahu loe akhirnya akan pergi,” katanya sambil memangku dirinya seolah kedinginan karena malam. Tapi malam tidak terasa dingin bagiku.
“Boleh gw tahu alasan mengapa gw ngga boleh pergi malam ini?”
“Gw ngga ingin loe pergi dengan Sherly,” jawabnya sambil berdiri lalu menatapku dengan tatapan yang belum pernah aku lihat.
“Kenapa?”
“Karena gw sayang sama loe.”
Ini membuka mataku. Ternyata itu penyebab berubahnya sikapnya terhadapku. Entah apa yang harus aku lakukan, dengan siapa aku pergi sebenarnya adalah hakku. Tapi seharusnya aku menghargai seseorang yang mencintaiku. Seharusnya aku mengerti. Sherly belum tentu menyukaiku sebesar rasa sayang Hayden terhadapku.
Aku segera menghampiri dan memeluknya. Entah apa yang ia pikirkan hingga ia berbuat demikian. Rasanya sulit membayangkan jika itu karena cinta, karena Hayden adalah Hayden. Tapi aku juga merasakan hal yangs ama terhadapnya, jika ada seorang pria yang mendekatinya, aku tidak akan membiarkannya. Yang aku lakukan pada Sherly hanya ketertarikan fisik saja, tidak seperti rasa tertarikku pada Hayden.
“Gw hanya main-main dengan Sherly, gw tetap milik loe. Loe bisa melihatnya kan?”
Dalam pelukanku, aku bisa merasakan ia menggeleng.
“Someday you will. Trust me.”
Hayden lalu menatapku. Air matanya jatuh bagai butiran jagung kecil menggelinding di atas kulit wajahnya yang halus. Tapi lalu ia mengusap air matanya sendiri sambil tertawa, “Apa yang gw lakukan? Memeluk loe? Gw pasti sudah gila.”
Aku langsung tersenyum. Aku suka sikapnya yang seperti anak-anak. Tidak akan bisa aku dapatkan seseorang sepertinya, yang bisa mengisi hari-hariku dengan luar biasa.