“Kathy, di mana file klien yang terakhir!?” seru seorang temanku, Sandra.
“Aku lupa, San.”
“Mana mungkin bisa lupa? Baru satu jam yang lalu kamu berhadapan dengannya.”
Aku berdiri di depan komputerku dan berusaha mengingat dengan melihat seluruh ruangan yang terlihat berantakan itu. Dari sepuluh meja itu, mejakulah yang paling berantakan. Dan aku masih tidak bisa mengingatnya.
“Di mana ya?” tanyaku pada diriku sendiri, sementara Sandra masih menunggu kembalinya ingatanku.
“Mungkin kamu mau sedikit curhat?” tanyanya.
“Untuk apa?”
“Orang bodoh pun tahu kamu sedang bermasalah. Pakaian kamu ngga matching, rambut kamu ngga rapi, dan kamu menjadi pelupa. Syukur deh kamu tetap on fire ketika berhadapan dengan klien tadi.”
“Aku ngga ada masalah kok, swear.”
“Yakin?”
“Iya. File klien itu masih di depan mesin fotokopi. Sekalian kopikan, ya? Mungkin aku lupa tadi,” kata-kataku tadi bisa meyakinkannya bahwa aku sedang tidak bermasalah. Aku sedang tidak cukup bermasalah dengan putusnya aku dan Andrei. Aku sedang tidak cukup bermasalah bila Andrei kembali ke mantannya. Aku sedang tidak cukup bermasalah dengan naiknya tagihan listrikku. Aku sedang tidak cukup bermasalah dengan hadirnya klien yang memiliki masalah finansial yang sangat parah. Bila dipikir-pikir, klien itu lebih bermasalah.
“Kathy, kamu pasti bermasalah deh,” katanya sambil memebrikan kopian file klienku beserta beberapa file aslinya.
“Kenapa?”
“Begitu aku sampai, file itu sudah terkopi. Apa mungkin orang yang tidak tahu hal ini mengkopinya?”
Tapi Sandra enggan melanjutkan pembicaraan, karena ia tahu aku tidak akan bicara. Aku hanya bicara banyak pada klien yang sedang mengalami masalah finansial dan memberi solusi, karena itulah pekerjaan konsultan.
Tapi aku sedang terganggu oleh sesuatu, entah apa itu. Gangguannya makin terasa ketika aku melihat foto besar wajah Andrei, yang aku harap mau mencukur dagunya lebih rajin. Kenapa setengah tahun perasaan yang dibangun dengan indah menuju suatu kesempurnaan bisa runtuh dalam beberapa detik saja oleh kata-katanya. Aku memang sedang bermasalah. Entah sampai berapa lama aku akan terus menyangkalnya.
Hidup memang tak adil. Sudah cukup aku mengetahui keistimewaan Andrei, seorang pemilik perusahaan alat tulis terkenal, yang memulai segalanya dari nol sampai angkasa dalam waktu singkat, orang kaya yang selalu memberikan setengah pendapatannya untuk amal, dan aku tak ingin mengetahui keistimewaan Lucia, pengacara terhebat yang selalu berpihak pada orang miskin dan selalu memenangkan kasus. Mereka berdua sungguh serasi. Berbeda sekali dengan aku yang selalu membantu orang-orang yang terlanjur bangkrut karena sikap boros mereka.
Tidak adil, karena Andrei sendirilah yang mengatakan tentang Lucia kepadaku ketika aku sedang minum kopi di kafe dan ia tidak sengaja menemukanku, seperti pertemuan pertama kami. Dan etnah mengapa pembicaraan menuju ke arah itu. Ketidaksengajaan juga?
“Kenapa kamu mengatakan itu kepadaku?” tanyaku.
“Aku hanya ingin kamu tahu, dia membosankan,” jawabnya.
“Menolong orang tidaklah membosankan. Itu sikap yang mulia.”
“Seperti yang kamu lakukan? Lama kelamaan kamu juga merasa bosan.”
“Aku menolong orang yang sudah terlanjur berdosa. Apa yang aku lakukan tidaklah sebanding dengan apa yang ia lakukan. Perbuatanku terlihat mulia, padahal tidak.”
“Begitu juga denganku. Ketika aku beramal, aku tidak tahu ke mana uang itu pergi. Kios rokok? Penjual minuman? Penyalur narkoba?”
“Orang miskin punya hal yang lebih penting dari itu semua.”
“Kamu tidak tahu apa-apa. Karena miskin mereka bodoh dan tidak tahu cara hidup yang benar.”
“Lalu apa yang salah dengan Lucia?”
“Kamu tahu dia pengacara.”
“Yang berpihak pada orang miskin.”
“Semua pengacara sama saja. Mereka memutarbalikkan kebenaran. Siapapun yang mereka bela, mereka selalu ingin menang. Mungkin mereka tahu siapa yang sebenarnya benar, tapi mereka tidak peduli. Orang miskin pun bsia berbuat salah.”
Aku menghela napas, membenarkan perkataannya. Tapi aku masih belum mengerti. “Kenapa kamu mengatakan ini?”
“Aku hanya ingin kamu tahu, semua yang terlihat baik di luar, belum tentu di dalamnya demikian. Aku pernah mengatakan kepada kamu bahwa perempuan itu, ...”
“Makhluk yang luar biasa, aku tahu,” dan membuatku jadi teringat pada Lucia yang berambut coklat dengan mata kebiruan yang selalu aku impikan. Begitu juga dengan tubuhnya yang selalu terlihat sempurna dan ia selalu tahu kapan waktu yang tepat untuk tersenyum manis.
“Aku hanya ingin bilang, kamu luar biasa.”
“Tapi kamu tetap tidak ingin meninggalkannya?”
“Jika ada pilihan yang lebih mudah, aku tidak akan melepaskanmu.”
Aku masih ingin bicara, tapi hari harus berakhir. Aku akan sangat merindukannya. Aku menyesal tidak berlama-lama bicara padanya ketika masih sempat. Dan perasaan itu semakin terasa ketika aku bertemu bosku. Dan ia mengatakan sesuatu yang tidak ingin didengar sebagian besar kaum pekerja.
Aku akan dimutasi, tidak lama lagi.
“Please tell me it’s not true,” kataku ketika menghadapi kenyataan itu. “Apa ini karena penurunan kemampuan saya dalam bekerja? Karena saya menjadi pelupa akhir-akhir ini, atau yang lainnya?” tanyaku pada bosku yang merupakan perempuan paling bergaya dalam gedung tempatku bekerja.
“Yang lainnya. Aku memutasi kamu karena di tempat itu memang butuh seorang yang berpengalaman. Aku tidak bohong.”
Ya, dia memang tidak bohong. Bahkan ketika ia mengatakan bahwa Andrei adalah investor baru di tempatku bekerja, aku kembali berkata, “Please tell me it’s not true.”
Kenapa? Kenapa ini bisa terjadi? Menajdi investor baru dengan saham mayoritas akan menjadi bos.
“Kamu kenapa lagi, Kat?” tanya Sandra, memahami kesedihanku.
“Andrei akan menjadi bos di tempat ini.”
“Bukankah itu bagus?”
“Tapi aku akan dimuatsi sebelum ia menjadi bos di tempat ini.”
Mungkin ia akan menjadi bos, tapi ia tak bisa begitu saja menghentikan mutasiku dan beberapa orang lainnya, karena itu adalah keputusan rapat pemegang saham.
“Tapi kamu masih bisa bertemu dengannya.”
Tepat setelah ia mengatakan itu, Andrei sudah berada di belakangku. Ketika aku berpaling, Sandra pergi meninggalkan kami berdua.
“Aku sudah dengar gosipnya,” kata Andrei.
Aku tak bisa berkata-kata. Ia bisa membaca semua pikiran dan kesedihanku. Ia tahu, ia mengerti aku.
“Padahal aku berinvestasi agar bsai dekat denganmu,” katanya, dan aku tahu ia bohong. Keputusannya berinvestasi bukan karena itu. Ia tidak pernah berbuat bodoh seperti itu. Berapa banyak uang dan usaha keras yang harus ia keluarkan untuk mendapatkan saham mayoritas?
“Begitu? Bagaimana dengan Lucia?”
Aku bisa melihat wajah kecewanya. “Baiklah,” jawabnya sambil berpaling dan pergi melangkah meninggalkanku.
“Tunggu!” Aku tentu saja tidak bsia membiarkanya pergi. Aku memanggilnya kembali setelah ia melangkah beberapa kaki.
Ia berbalik menghadapku, tapi ia membuatku kesulitan berkata-kata.
“Aku tak bisa mengingatnya,” kataku.
Ia tidak mengerti. Tentu saja, aku kesulitan berkata-kata.
“Aku tidak bisa mengingat, kapan terakhir kali kamu memelukku. Aku akan dimutasi, dan hal terakhir yang ingin aku lakukan di sini adalah mengingat saat terindah dalam hidupku. Dan aku tidak bisa.”
Ia hanya tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya yang tadi tertunda, menjauhiku.
Aku kecewa. Aku langsung duduk di kursiku. Aku tidak tahan, ingin rasanya menangis. Tapi sebuah suara menghentikan hal itu.
“Waktu itu hari Rabu. Malam itu hujan deras dan kita sedang berteduh di rumahmu setelah kita berwisata di kapal feri. Kamu memakai pakaian berwarna biru. Dan setelah kita berciuman, aku memberimu anting mutiara. Dan aku lihat kamu masih memakainya.”
Aku berbalik memandangannya. Ternyata ia masih di sana.
“Aku juga ingat, aku merasakan manisnya buah peach di bibirmu.”
“Itu buah strawberry.”
“Apa?”
“Lipstikku rasa strawberry.”
Ia terdiam sebentar. Aku rasa ia sedang berusaha mengingat momen itu, mengingat bagaimana rasanya. Aku juga sedang mengenang momen itu.
“Baiklah.”
“Ya,” jawabku.
Lalu ia pergi dari hadapanku. Ia benar-benar mengerti aku, yang tidak ingin meninggalkannya dengan beban begitu berat. Sudah cukup bagiku untuk tahu bahwa Andrei bukanlah milikku.
“Aku lupa, San.”
“Mana mungkin bisa lupa? Baru satu jam yang lalu kamu berhadapan dengannya.”
Aku berdiri di depan komputerku dan berusaha mengingat dengan melihat seluruh ruangan yang terlihat berantakan itu. Dari sepuluh meja itu, mejakulah yang paling berantakan. Dan aku masih tidak bisa mengingatnya.
“Di mana ya?” tanyaku pada diriku sendiri, sementara Sandra masih menunggu kembalinya ingatanku.
“Mungkin kamu mau sedikit curhat?” tanyanya.
“Untuk apa?”
“Orang bodoh pun tahu kamu sedang bermasalah. Pakaian kamu ngga matching, rambut kamu ngga rapi, dan kamu menjadi pelupa. Syukur deh kamu tetap on fire ketika berhadapan dengan klien tadi.”
“Aku ngga ada masalah kok, swear.”
“Yakin?”
“Iya. File klien itu masih di depan mesin fotokopi. Sekalian kopikan, ya? Mungkin aku lupa tadi,” kata-kataku tadi bisa meyakinkannya bahwa aku sedang tidak bermasalah. Aku sedang tidak cukup bermasalah dengan putusnya aku dan Andrei. Aku sedang tidak cukup bermasalah bila Andrei kembali ke mantannya. Aku sedang tidak cukup bermasalah dengan naiknya tagihan listrikku. Aku sedang tidak cukup bermasalah dengan hadirnya klien yang memiliki masalah finansial yang sangat parah. Bila dipikir-pikir, klien itu lebih bermasalah.
“Kathy, kamu pasti bermasalah deh,” katanya sambil memebrikan kopian file klienku beserta beberapa file aslinya.
“Kenapa?”
“Begitu aku sampai, file itu sudah terkopi. Apa mungkin orang yang tidak tahu hal ini mengkopinya?”
Tapi Sandra enggan melanjutkan pembicaraan, karena ia tahu aku tidak akan bicara. Aku hanya bicara banyak pada klien yang sedang mengalami masalah finansial dan memberi solusi, karena itulah pekerjaan konsultan.
Tapi aku sedang terganggu oleh sesuatu, entah apa itu. Gangguannya makin terasa ketika aku melihat foto besar wajah Andrei, yang aku harap mau mencukur dagunya lebih rajin. Kenapa setengah tahun perasaan yang dibangun dengan indah menuju suatu kesempurnaan bisa runtuh dalam beberapa detik saja oleh kata-katanya. Aku memang sedang bermasalah. Entah sampai berapa lama aku akan terus menyangkalnya.
Hidup memang tak adil. Sudah cukup aku mengetahui keistimewaan Andrei, seorang pemilik perusahaan alat tulis terkenal, yang memulai segalanya dari nol sampai angkasa dalam waktu singkat, orang kaya yang selalu memberikan setengah pendapatannya untuk amal, dan aku tak ingin mengetahui keistimewaan Lucia, pengacara terhebat yang selalu berpihak pada orang miskin dan selalu memenangkan kasus. Mereka berdua sungguh serasi. Berbeda sekali dengan aku yang selalu membantu orang-orang yang terlanjur bangkrut karena sikap boros mereka.
Tidak adil, karena Andrei sendirilah yang mengatakan tentang Lucia kepadaku ketika aku sedang minum kopi di kafe dan ia tidak sengaja menemukanku, seperti pertemuan pertama kami. Dan etnah mengapa pembicaraan menuju ke arah itu. Ketidaksengajaan juga?
“Kenapa kamu mengatakan itu kepadaku?” tanyaku.
“Aku hanya ingin kamu tahu, dia membosankan,” jawabnya.
“Menolong orang tidaklah membosankan. Itu sikap yang mulia.”
“Seperti yang kamu lakukan? Lama kelamaan kamu juga merasa bosan.”
“Aku menolong orang yang sudah terlanjur berdosa. Apa yang aku lakukan tidaklah sebanding dengan apa yang ia lakukan. Perbuatanku terlihat mulia, padahal tidak.”
“Begitu juga denganku. Ketika aku beramal, aku tidak tahu ke mana uang itu pergi. Kios rokok? Penjual minuman? Penyalur narkoba?”
“Orang miskin punya hal yang lebih penting dari itu semua.”
“Kamu tidak tahu apa-apa. Karena miskin mereka bodoh dan tidak tahu cara hidup yang benar.”
“Lalu apa yang salah dengan Lucia?”
“Kamu tahu dia pengacara.”
“Yang berpihak pada orang miskin.”
“Semua pengacara sama saja. Mereka memutarbalikkan kebenaran. Siapapun yang mereka bela, mereka selalu ingin menang. Mungkin mereka tahu siapa yang sebenarnya benar, tapi mereka tidak peduli. Orang miskin pun bsia berbuat salah.”
Aku menghela napas, membenarkan perkataannya. Tapi aku masih belum mengerti. “Kenapa kamu mengatakan ini?”
“Aku hanya ingin kamu tahu, semua yang terlihat baik di luar, belum tentu di dalamnya demikian. Aku pernah mengatakan kepada kamu bahwa perempuan itu, ...”
“Makhluk yang luar biasa, aku tahu,” dan membuatku jadi teringat pada Lucia yang berambut coklat dengan mata kebiruan yang selalu aku impikan. Begitu juga dengan tubuhnya yang selalu terlihat sempurna dan ia selalu tahu kapan waktu yang tepat untuk tersenyum manis.
“Aku hanya ingin bilang, kamu luar biasa.”
“Tapi kamu tetap tidak ingin meninggalkannya?”
“Jika ada pilihan yang lebih mudah, aku tidak akan melepaskanmu.”
Aku masih ingin bicara, tapi hari harus berakhir. Aku akan sangat merindukannya. Aku menyesal tidak berlama-lama bicara padanya ketika masih sempat. Dan perasaan itu semakin terasa ketika aku bertemu bosku. Dan ia mengatakan sesuatu yang tidak ingin didengar sebagian besar kaum pekerja.
Aku akan dimutasi, tidak lama lagi.
“Please tell me it’s not true,” kataku ketika menghadapi kenyataan itu. “Apa ini karena penurunan kemampuan saya dalam bekerja? Karena saya menjadi pelupa akhir-akhir ini, atau yang lainnya?” tanyaku pada bosku yang merupakan perempuan paling bergaya dalam gedung tempatku bekerja.
“Yang lainnya. Aku memutasi kamu karena di tempat itu memang butuh seorang yang berpengalaman. Aku tidak bohong.”
Ya, dia memang tidak bohong. Bahkan ketika ia mengatakan bahwa Andrei adalah investor baru di tempatku bekerja, aku kembali berkata, “Please tell me it’s not true.”
Kenapa? Kenapa ini bisa terjadi? Menajdi investor baru dengan saham mayoritas akan menjadi bos.
“Kamu kenapa lagi, Kat?” tanya Sandra, memahami kesedihanku.
“Andrei akan menjadi bos di tempat ini.”
“Bukankah itu bagus?”
“Tapi aku akan dimuatsi sebelum ia menjadi bos di tempat ini.”
Mungkin ia akan menjadi bos, tapi ia tak bisa begitu saja menghentikan mutasiku dan beberapa orang lainnya, karena itu adalah keputusan rapat pemegang saham.
“Tapi kamu masih bisa bertemu dengannya.”
Tepat setelah ia mengatakan itu, Andrei sudah berada di belakangku. Ketika aku berpaling, Sandra pergi meninggalkan kami berdua.
“Aku sudah dengar gosipnya,” kata Andrei.
Aku tak bisa berkata-kata. Ia bisa membaca semua pikiran dan kesedihanku. Ia tahu, ia mengerti aku.
“Padahal aku berinvestasi agar bsai dekat denganmu,” katanya, dan aku tahu ia bohong. Keputusannya berinvestasi bukan karena itu. Ia tidak pernah berbuat bodoh seperti itu. Berapa banyak uang dan usaha keras yang harus ia keluarkan untuk mendapatkan saham mayoritas?
“Begitu? Bagaimana dengan Lucia?”
Aku bisa melihat wajah kecewanya. “Baiklah,” jawabnya sambil berpaling dan pergi melangkah meninggalkanku.
“Tunggu!” Aku tentu saja tidak bsia membiarkanya pergi. Aku memanggilnya kembali setelah ia melangkah beberapa kaki.
Ia berbalik menghadapku, tapi ia membuatku kesulitan berkata-kata.
“Aku tak bisa mengingatnya,” kataku.
Ia tidak mengerti. Tentu saja, aku kesulitan berkata-kata.
“Aku tidak bisa mengingat, kapan terakhir kali kamu memelukku. Aku akan dimutasi, dan hal terakhir yang ingin aku lakukan di sini adalah mengingat saat terindah dalam hidupku. Dan aku tidak bisa.”
Ia hanya tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya yang tadi tertunda, menjauhiku.
Aku kecewa. Aku langsung duduk di kursiku. Aku tidak tahan, ingin rasanya menangis. Tapi sebuah suara menghentikan hal itu.
“Waktu itu hari Rabu. Malam itu hujan deras dan kita sedang berteduh di rumahmu setelah kita berwisata di kapal feri. Kamu memakai pakaian berwarna biru. Dan setelah kita berciuman, aku memberimu anting mutiara. Dan aku lihat kamu masih memakainya.”
Aku berbalik memandangannya. Ternyata ia masih di sana.
“Aku juga ingat, aku merasakan manisnya buah peach di bibirmu.”
“Itu buah strawberry.”
“Apa?”
“Lipstikku rasa strawberry.”
Ia terdiam sebentar. Aku rasa ia sedang berusaha mengingat momen itu, mengingat bagaimana rasanya. Aku juga sedang mengenang momen itu.
“Baiklah.”
“Ya,” jawabku.
Lalu ia pergi dari hadapanku. Ia benar-benar mengerti aku, yang tidak ingin meninggalkannya dengan beban begitu berat. Sudah cukup bagiku untuk tahu bahwa Andrei bukanlah milikku.