Tengah malam ia datang.
Membawa black forest dengan 17 buah lilin berwarna pink terang.
Tepat di malam Sabtu. Ia rela datang dari jauh hanya untuk merayakan ultahku. Dia tampan sekali malam ini. Dan kami merayakan pesta saat itu juga, berdua, dengan pengawasan mommy tentunya.
Ronny bukan orang asing buat mommy. Justru aku yang merasa mommy mengenalnya lebih dulu dari pada aku. Keluarga kami memang cukup dekat. Wajar bila aku merasa bahwa aku dijodohkan, apalagi setelah pengalamanku yang pertama ketahuan mommy.
Whatever has happened, I love him anyway.
“Happy birthday, hani,” katanya sambil menciumku. Mencium pipiku tentunya, bukan bibir. Seandainya ngga ada mommy.
“Thanks, beib,” jawabku sambil tersenyum. Aku tahu senyumanku adalah baterai untuk nyawanya. Ia pernah bilang, senyumanku amat manis.
Tepat setelah aku meniup semua lilin yang lucu dan menggoda itu, aku mendengar bel berbunyi. Dia datang, masa laluku. Tengah malam ini ia berusaha untuk menemuiku. Aku tahu itu sangat berat untuknya.
Ia tidak berbuat apa-apa, tapi ia seperti sedang menghalangi bayangan masa depanku dan berusaha menarikku untuk mengalami masa itu lagi. Syukurlah aku masih bisa menyadari apa yang sedang terjadi meski ku akui, itu sangat rumit. Sesaat pandanganku buyar oleh masa lalu.
Itulah Indra, masa laluku. Dia datang tidak sendiri. Bersama Dimas , ia datang membawa sebuah kado. Kado berukuran gede banget, yang membuatku penasaran apa isinya.
“Happy birthday, Eska,” katanya sambil memberi kado. Suaranya begitu lemah. Aku tak merasakan semangat cintanya. Bila saja ia masih milikku, mengecupku tak akan menjadi hal yang luar biasa baginya. Tapi sekarang baginya itu adalah hal yang mustahil. Saat itu aku hanya bisa memberi senyuman manisku, yang seolah seperti permintaan maaf. Aku mengerti itu tidak cukup untuknya. Ditambah lagi ia telah melihat Ronny, masa kini dan masa depanku.
Memikirkan itu, tiba-tiba pikiranku melayang ke masa lalu.
Oktober 4 tahun lalu. Sebelumnya bagiku ia hanyalah atlet basket sekolah yang dekil dan sering berantem. Tidak terlalu ganteng. Tapi entah kenapa aku menukar kata-kata cintanya dengan ‘iya’-ku.
Aku percaya saat itu ada sesuatu yang membuatku mengatakan iya, tapi aku tak tahu apa. Semakin lama aku bersamanya aku semakin penasaran. Dan kulalui itu semua melawan ejekan teman-temanku mengenai hubunganku dengannya.
“Eska, loe pantas mendapatkan yang lebih baik.”
“Eska, kenapa dia?”
“Eska, putusin dia gih. Cari yang lain. Mau gw kenalin?”
Masih banyak deh rentetan penolakan teman-temanku mengenai hubunganku dengannya. Semakin lama itu semakin mempengaruhiku, hingga akhirnya aku berani selingkuh setelah 6 bulan bersamanya.
Dan itu ketahuan olehnya. Aku masih bisa mengingat dengan jelas momen itu.
“Eska, gw tahu gw bukan apa-apa dibandingkan semua cowok yang loe kenal. Kalau loe ngga mencintai gw lagi, cukup bilang aja. Gw bisa terima walau gw harus merasakan pedih. Gw tulus mencintai loe.“
Air mataku keluar. Mataku sudah berkaca-kaca mendengarnya memohon seperti itu. Mungkin aku hampir menangis. Tapi sesungguhnya, aku tahu, hatinya menangis lebih deras dariku. Seolah saat itu aku merasakan setitik pedihnya. Aku tak tahu kenapa aku tega.
Aku seperti ingin memarahi diri sendiri. Dia tulus mencintaiku. Dia setia. Mungkin hanya sedikit yang seperti dia.
Mungkin itu yang membuatku memilihnya.
Dan kuputuskan untuk tetap bersamanya.
Tapi itu tak berlangsung selamanya. Beberapa bulan yang lalu, mommy mengetahui hubunganku dengannya, dan mommy tidak menyetujuinya. Masalah utama adalah perbedaan agama. Masalah ini satu-satunya yang ku punya dan tak bisa dipersalahkan. Why mom? Why?
However, she’s my mommy.
“Dra, sorry. Ini perintah mami gw,” kataku melalui hubungan seluler.
“Gw mencintai loe, Ka. Gw ngga mau putus”
“Gw ngga mau melawan mami gw”
“Apa loe ngga mencintai gw?”
“Bukan begitu.”
“Kita bisa backstreet. Mami loe ngga perlu tahu.”
Aku bisa merasakan dia begitu serius. Aku setuju backstreet, tapi aku tahu ini tak akan berjalan mulus. Mungkin ia serius mencintai ku, tapi karena backstreet, cintaku tak sebesar dulu. Memang aku yang salah, tapi kan tak mungkin Indra melakukan sesuatu yang lebih ekstrim? Kawin lari misalnya, atau membuatku hamil. Hell no way!
Ini tak bertahan lama. Segera setelah mommy menyuruhku putus aku bertemu dengan cowok lain yang lebih ganteng, ialah Ronny. Aku bertemu dengannya saat mengikuti suatu kegiatan di gereja. Awalnya sih kami hanya belajar bareng, dll. Tapi kenyataan berjalan terlalu jauh.
Bagaikan terulang lagi, aku selingkuh dengannya. Keberadaan Ronny membuatku melupakan Indra. Aku tak tahu kenapa aku seperti ini. Mungkin memang sudah menjadi sifat alamiku untuk tidak ingin mengalami kekosongan cinta walau cuma sesaat.
Dan beralas pada kenyataan bahwa keluarga Ronny dekat dengan keluargaku, aku jadi tidak heran bahwa tidak perlu waktu lama bagiku dan dia untuk jadian. Terkesan dijodohkan? Aku tahu. Tapi perjodohan tidak pernah seindah ini. Jujur aku bahagia bersamanya.
Back to the present time, aku sedang memotong black forest itu dengan disaksikan oleh my mommy, my dear Ronny, my ex darling Indra, and the friend of my ex darling Dimas. Potongan kue pertama sudah tentu untuk my mommy, kedua untuk my dear Ronny, ketiga untuk my ex Indra, dan keempat untuk Dimas. Sisanya untukku! Rakus amat sih aku ini.
Sayangnya, di pesta ini hanya ada satu kado, yang dari Indra. Kado gede ini, aku hampir melupakannya karena aku sudah tertelan dalam suasana birthday party ku. Jadi tidak enak dengan Indra.
Kado gede itu, isinya sebuah boneka anjing berwarna biru yang gede banget! Dan yang paling penting, lucu. Aku senang Indra masih ingat dengan benda favoritku, warna kesukaanku, dan binatang kesayanganku.
Diam-diam aku merasakan ketegangan di antara Indra dan Ronny. Ronny berusaha menunjukkan bahwa aku ini miliknya. Dan Indra mengerti mengenai hal itu. Tak masalah baginya, meski hatinya teramat panas ketika Ronny menyuapiku.
Tak lama kemudian Indra dan Dimas mohon pamit. Aku rasa ia memintanya di waktu yang tepat. Aku tak tega membiarkannya merasakan sakit yang lebih parah. Mungkin setelah ini, namaku akan menjadi jarum di hatinya, yang membuatnya sakit saat mengingatnya. Sementara aku hanya akan tertelan dalam rasa bahagia bersama Ronny yang mungkin akan membuatku lupa padanya.
Aku mengantar mereka berdua ke pintu gerbang. Ini adalah saat-saat terakhirnya aku melihatnya memandangku begitu intens dan dalam. Aku sudah bisa mengira-ngira apa yang akan dikatakannya.
“Sekali lagi, happy birthday. Semoga loe bahagia.”
Semoga bahagia? Ia masih memikirkanku di tengah sakit hatinya? Padahal aku yang membuatnya begini.
Mungkin ia mengira Ronny lah penyebabnya. Mungkin ia sudah melupakan semua kesalahanku. Mungkin sakit hatinya tak sebesar yang aku kira. Atau mungkin, ia benar-benar hanya memikirkanku? Hanya ada aku di hatinya?
Oh ya, aku baru tersadar. Mungkin ia melupakan sepatah kata dari harapannya tentangku. ‘Semoga loe bahagia bersamanya’ mungkin itu maksudnya.
However, he’s gone, forever, from my life. I just hate it when someone’s leaving.
Membawa black forest dengan 17 buah lilin berwarna pink terang.
Tepat di malam Sabtu. Ia rela datang dari jauh hanya untuk merayakan ultahku. Dia tampan sekali malam ini. Dan kami merayakan pesta saat itu juga, berdua, dengan pengawasan mommy tentunya.
Ronny bukan orang asing buat mommy. Justru aku yang merasa mommy mengenalnya lebih dulu dari pada aku. Keluarga kami memang cukup dekat. Wajar bila aku merasa bahwa aku dijodohkan, apalagi setelah pengalamanku yang pertama ketahuan mommy.
Whatever has happened, I love him anyway.
“Happy birthday, hani,” katanya sambil menciumku. Mencium pipiku tentunya, bukan bibir. Seandainya ngga ada mommy.
“Thanks, beib,” jawabku sambil tersenyum. Aku tahu senyumanku adalah baterai untuk nyawanya. Ia pernah bilang, senyumanku amat manis.
Tepat setelah aku meniup semua lilin yang lucu dan menggoda itu, aku mendengar bel berbunyi. Dia datang, masa laluku. Tengah malam ini ia berusaha untuk menemuiku. Aku tahu itu sangat berat untuknya.
Ia tidak berbuat apa-apa, tapi ia seperti sedang menghalangi bayangan masa depanku dan berusaha menarikku untuk mengalami masa itu lagi. Syukurlah aku masih bisa menyadari apa yang sedang terjadi meski ku akui, itu sangat rumit. Sesaat pandanganku buyar oleh masa lalu.
Itulah Indra, masa laluku. Dia datang tidak sendiri. Bersama Dimas , ia datang membawa sebuah kado. Kado berukuran gede banget, yang membuatku penasaran apa isinya.
“Happy birthday, Eska,” katanya sambil memberi kado. Suaranya begitu lemah. Aku tak merasakan semangat cintanya. Bila saja ia masih milikku, mengecupku tak akan menjadi hal yang luar biasa baginya. Tapi sekarang baginya itu adalah hal yang mustahil. Saat itu aku hanya bisa memberi senyuman manisku, yang seolah seperti permintaan maaf. Aku mengerti itu tidak cukup untuknya. Ditambah lagi ia telah melihat Ronny, masa kini dan masa depanku.
Memikirkan itu, tiba-tiba pikiranku melayang ke masa lalu.
Oktober 4 tahun lalu. Sebelumnya bagiku ia hanyalah atlet basket sekolah yang dekil dan sering berantem. Tidak terlalu ganteng. Tapi entah kenapa aku menukar kata-kata cintanya dengan ‘iya’-ku.
Aku percaya saat itu ada sesuatu yang membuatku mengatakan iya, tapi aku tak tahu apa. Semakin lama aku bersamanya aku semakin penasaran. Dan kulalui itu semua melawan ejekan teman-temanku mengenai hubunganku dengannya.
“Eska, loe pantas mendapatkan yang lebih baik.”
“Eska, kenapa dia?”
“Eska, putusin dia gih. Cari yang lain. Mau gw kenalin?”
Masih banyak deh rentetan penolakan teman-temanku mengenai hubunganku dengannya. Semakin lama itu semakin mempengaruhiku, hingga akhirnya aku berani selingkuh setelah 6 bulan bersamanya.
Dan itu ketahuan olehnya. Aku masih bisa mengingat dengan jelas momen itu.
“Eska, gw tahu gw bukan apa-apa dibandingkan semua cowok yang loe kenal. Kalau loe ngga mencintai gw lagi, cukup bilang aja. Gw bisa terima walau gw harus merasakan pedih. Gw tulus mencintai loe.“
Air mataku keluar. Mataku sudah berkaca-kaca mendengarnya memohon seperti itu. Mungkin aku hampir menangis. Tapi sesungguhnya, aku tahu, hatinya menangis lebih deras dariku. Seolah saat itu aku merasakan setitik pedihnya. Aku tak tahu kenapa aku tega.
Aku seperti ingin memarahi diri sendiri. Dia tulus mencintaiku. Dia setia. Mungkin hanya sedikit yang seperti dia.
Mungkin itu yang membuatku memilihnya.
Dan kuputuskan untuk tetap bersamanya.
Tapi itu tak berlangsung selamanya. Beberapa bulan yang lalu, mommy mengetahui hubunganku dengannya, dan mommy tidak menyetujuinya. Masalah utama adalah perbedaan agama. Masalah ini satu-satunya yang ku punya dan tak bisa dipersalahkan. Why mom? Why?
However, she’s my mommy.
“Dra, sorry. Ini perintah mami gw,” kataku melalui hubungan seluler.
“Gw mencintai loe, Ka. Gw ngga mau putus”
“Gw ngga mau melawan mami gw”
“Apa loe ngga mencintai gw?”
“Bukan begitu.”
“Kita bisa backstreet. Mami loe ngga perlu tahu.”
Aku bisa merasakan dia begitu serius. Aku setuju backstreet, tapi aku tahu ini tak akan berjalan mulus. Mungkin ia serius mencintai ku, tapi karena backstreet, cintaku tak sebesar dulu. Memang aku yang salah, tapi kan tak mungkin Indra melakukan sesuatu yang lebih ekstrim? Kawin lari misalnya, atau membuatku hamil. Hell no way!
Ini tak bertahan lama. Segera setelah mommy menyuruhku putus aku bertemu dengan cowok lain yang lebih ganteng, ialah Ronny. Aku bertemu dengannya saat mengikuti suatu kegiatan di gereja. Awalnya sih kami hanya belajar bareng, dll. Tapi kenyataan berjalan terlalu jauh.
Bagaikan terulang lagi, aku selingkuh dengannya. Keberadaan Ronny membuatku melupakan Indra. Aku tak tahu kenapa aku seperti ini. Mungkin memang sudah menjadi sifat alamiku untuk tidak ingin mengalami kekosongan cinta walau cuma sesaat.
Dan beralas pada kenyataan bahwa keluarga Ronny dekat dengan keluargaku, aku jadi tidak heran bahwa tidak perlu waktu lama bagiku dan dia untuk jadian. Terkesan dijodohkan? Aku tahu. Tapi perjodohan tidak pernah seindah ini. Jujur aku bahagia bersamanya.
Back to the present time, aku sedang memotong black forest itu dengan disaksikan oleh my mommy, my dear Ronny, my ex darling Indra, and the friend of my ex darling Dimas. Potongan kue pertama sudah tentu untuk my mommy, kedua untuk my dear Ronny, ketiga untuk my ex Indra, dan keempat untuk Dimas. Sisanya untukku! Rakus amat sih aku ini.
Sayangnya, di pesta ini hanya ada satu kado, yang dari Indra. Kado gede ini, aku hampir melupakannya karena aku sudah tertelan dalam suasana birthday party ku. Jadi tidak enak dengan Indra.
Kado gede itu, isinya sebuah boneka anjing berwarna biru yang gede banget! Dan yang paling penting, lucu. Aku senang Indra masih ingat dengan benda favoritku, warna kesukaanku, dan binatang kesayanganku.
Diam-diam aku merasakan ketegangan di antara Indra dan Ronny. Ronny berusaha menunjukkan bahwa aku ini miliknya. Dan Indra mengerti mengenai hal itu. Tak masalah baginya, meski hatinya teramat panas ketika Ronny menyuapiku.
Tak lama kemudian Indra dan Dimas mohon pamit. Aku rasa ia memintanya di waktu yang tepat. Aku tak tega membiarkannya merasakan sakit yang lebih parah. Mungkin setelah ini, namaku akan menjadi jarum di hatinya, yang membuatnya sakit saat mengingatnya. Sementara aku hanya akan tertelan dalam rasa bahagia bersama Ronny yang mungkin akan membuatku lupa padanya.
Aku mengantar mereka berdua ke pintu gerbang. Ini adalah saat-saat terakhirnya aku melihatnya memandangku begitu intens dan dalam. Aku sudah bisa mengira-ngira apa yang akan dikatakannya.
“Sekali lagi, happy birthday. Semoga loe bahagia.”
Semoga bahagia? Ia masih memikirkanku di tengah sakit hatinya? Padahal aku yang membuatnya begini.
Mungkin ia mengira Ronny lah penyebabnya. Mungkin ia sudah melupakan semua kesalahanku. Mungkin sakit hatinya tak sebesar yang aku kira. Atau mungkin, ia benar-benar hanya memikirkanku? Hanya ada aku di hatinya?
Oh ya, aku baru tersadar. Mungkin ia melupakan sepatah kata dari harapannya tentangku. ‘Semoga loe bahagia bersamanya’ mungkin itu maksudnya.
However, he’s gone, forever, from my life. I just hate it when someone’s leaving.